Memperluas Pengetahuan melalui Masalah Induksi

Memperluas Pengetahuan melalui Masalah Induksi

Filsuf Karl Popper

Oleh
Ayu Nur Oktavia | Hafizah Aqilah
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika
Universitas Pendidikan Indonesia

Sangat penting untuk mampu menjelaskan keabsahan inferensi induktif karena kita menggunakannya sepanjang waktu untuk memperoleh pengetahuan. Aktivitas para ilmuan dalam melakukan percobaan, kemudian kesimpulan yang terlibat hampir secara eksklusif bersifat induktif, karena kesimpulan tersebut sering beranjak dari premis yang menyangkut sampel yang diamati, meskipun representatif ke klaim yang sepenuhnya umum yang melampaui klaim terbatas yang ditemukan dalam premis tersebut. 
Kesimpulan induktif tampak sepenuhnya sah asalkan sampel yang digunakan cukup besar dan representatif. David Hume (1711-1776) menyatakan bahwa bagaimana kita yakin bahwa keteraturan yang diamati dalam sampel representatif harus meningkatkan kemungkinan bahwa generalisasi yang tidak terbatas adalah benar. Tampaknya satu-satunya pembelaan kita dalam klaim ini adalah induktif. Seperti contoh tentang burung Emu, kita akan melihat bagaimana penarikan kesimpulan yang dapat disahkan.

1) Setiap emu yang di amati tidak bisa terbang.
Karena itu:

C) Semua emu tidak bisa terbang.

BACA JUGA: Leuit, Simbol Ketahanan Pangan dan Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan Gelar Alam

Untuk menerima sepenuhnya kesimpulan tersebut, pengamatan terhadap buru emu dilakukan dalam rentang kasus yang representatif dan terdapat jumlah pengamatan yang cukup besar. Maka perlu kita membaca 1) sebagai sesuatu seperti 1*).

1*) Banyak burung emu telah diamati selama bertahun-tahun diberbagai lingkungan, dan mereka selalu tidak bisa terbang.

Dari poin 1*) ke C) menurut Hume bermasalah kecuali jika dilengkapi dengan premis lebih lanjut, yaitu:

2) Keteraturan tertentu telah diamati pada sampel yang cukup besar dan representatif yang berarti kemungkinan besar keteraturan tersebut berlaku secara umum.

BACA JUGA: Pemerintah Daerah Jangan Hanya Audit Pemberian Dana Hibah Saja

Secara intuitif, satu-satunya cara seseorang dapat mengetahui klaim tersebut adalah melalui inferensi induktif lainnya dengan mengamati korelasi antara keteraturan yang diamati di seluruh sampel yang cukup besar dan representatif dan keteraturan yang tidak dibatasi itu sendiri. Hume menyimpulkan jika inferensi tersebut menghasilkan keyakinan yang dibenarkan dalam kesimpulan asalkan seseorang telah menggunakan inferensi induktif lebih lanjut. Akibatnya, tidak mungkin ada pembenaran induksi yang tidak melingkar. Ini di kenal sebagai masalah induksi. Berdasarkan yang sebelumnya telah dipaparkan maka terdapat respon dari masalah induksi ini dimana respon tersebut antara lain:

1.    Dengan mengklaim bahwa induksi tidak membutuhkan pembenaran dan dengan demikian kita dapat menggubakan secara sah tanpa khawatir tentang apakah pembenaran non-sirkuler tersedia atau tidak.

2.    Dengan mengklaim bahwa selama induksi berfungsi, tidak masalah jika kita memiliki alasan non-melingkar untuk berpikir bahwa itu adalah cara yang sah. 

Langkah seperti itu dapat dilakukan oleh seseorang yang berpendapat bahwa sesuatu dapat dibenarkan jika memegang suatu keyakinan, dan dengan demikian memiliki pengetahuan, meskipun tidak memiliki landasan pendukung, selama kondisi terpenuhi.

Selain itu terdapat dua teori yang membahas mengenai masalah induksi ini adalah sebagai berikut:

Hidup dengan Masalah Induksi I: Falsifikasi

Hidup dengan Induksi I ini digagas oleh Karl Popper. Karl Popper merupakan seorang filsuf ternama pada abad ke-20 dengan sebuah teori yang dikembangkannya, yaitu teori falsifikasi. Prinsip falsifikasi yang digagas oleh Popper menganut faham bahwa suatu teori hanya akan bermakna apabila telah dapat difalsifikasi (dibuktikan salah), bukan hanya melalui proses pembuktian kebenaran dengan melalui verifikasi. Popper berpendapat bahwa manusia tidak mungkin mengetahui semesta pengetahuan jika hanya mengandalkan verifikasi empirik. Sebagai contohnya adalah pada kasus angsa putih dan angsa hitam. Semua orang Eropa secara merara selama ratusan tahun percaya bahwa semua angsa berwarna putih, karena mungkin berdasarkan pengalaman mereka tidak pernah melihat angsa selain yang berwarna putih. Namun, keyakinan tersebut runtuh ketika para peloncong Eropa menemukan angsa hitam di sungai Victoria di Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan tersebut, keyakinan yang selama ini dipegang oleh orang Eropa terbukti salah. Oleh karena itu, bagi Popper teori pengetahuan selalu bersifat bergerak, opsional, hipotesis, dan konjektual.

Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah hanya bersifat hipotesis (dugaan sementara) atau tidak ada kebenaran yang mutlak. Popper mengatakan bahwa suatu hipotesis atau proposisi dikatakan ilmiah maka secara prinsip harus memiliki kemungkinan untuk disangkal atau difalsifikasikan. Contoh logisnya, Popper memberikan pandangan dalam kasus angsa. Dengan meninjau terhadap angsa-angsa putih, berapa besar pun jumlahnya, orang tidak akan sampai pada konklusi bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi dengan hanya satu kali tinjauan terhadap angsa hitam, maka konklusi mengenai angsa putih telah menerima falsifikasinya. Dengan contoh ini, hukum ilmiah yang sudah berlaku bukan hanya dapat dibenarkan tetapi juga dapat dibuktikan salah.


Berita Terkini