Selama nyawa masih di kandung badan, selama itu pula seharusnya nurani bersemayam. Namun sering kali nurani sebagai penerang jiwa itu, telah padam sejak menghamba pada ego dan syahwat.
Nyawa yang bersemayam, hanya menjadi penanda waktu-usia yang dijalani. Berbilang tahun dan berulang setiap tahun. Setiap sampai pada titi mangsa kelahiran, dirayakan atas nyawa yang masih betah tinggal di “kontrakan” badan. Sonder mengasah nurani atas laku lampah hidup dan kehidupan.
Nurani yang menjadi cahaya diri. Mewujud dalam kebeningan jiwa, menjadi cermin diri untuk berefleksi. Mentafakuri atas laku lampah dan Sejarah kehidupan yang telah lalu untuk meninjau posisi diri dalam melayani kemanusiaan. Melayani rakyat, bukan menguasainya pun tidak untuk memunggunginya.
Merayakan titi mangsa kelahiran adalah menyalakan kembali cahaya untuk diri sendiri. Sebab sebelum menerangi lian, cahaya itu harus terasa hadir oleh diri sendiri. Seperti halnya Sabda Sang Budha; “be a light unto oneself”, jadilah penerang untuk diri sendiri. Menjadi penerang untuk diri sendiri adalah tugas ideologis pertama bagi pencari cahaya. Menemukannya adalah pencerahan.
Pencerahan yang lahir dari kepekaan, perhatian, perenungan atas laku lampah diri dan lingkungan yang dicermati dengan hati. Refleksi yang melahirkan keberanian memperbaiki diri serta bertindak dan membela lian yang dipunggungi kekuasaan dan keserakahan.
“Jangan sekali-kali punggungi rakyat. Jangan hitung untung rugi kerja politik. Jangan cari keuntungan pribadi atau kelompok dari tugas ideologis ini,” demikian kata Megawati Soekarnoputri, sang Anggrek Besi.
Dawuhnya itu diinspirasi oleh pesan Bung Karno, seorang pemimpin harus benar-benar bertindak dengan hati dalam melayani masyarakat. Itulah kenapa, tak boleh sedikitpun seorang pemimpin berpikir untuk mencari laba dari kekuasaan yang dititipkan kepadanya.
Bagi megawati, kekuasaan bukan menjadi tujuan utama. Baginya, tujuan utama adalah mewujudkan secara nyata kebahagian, kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur, kebersamaan yang hakiki atas dasar kemanusiaan dan persaudaraan. Kekusaan hanyalah alat untuk mewujudkannya dan memastikan ada keadilan bagi setiap warga negara. Tak pandang bulu.
"Harus dari hati jadi pemimpin. Jangan bawa rakyatnya dalam sebuah kancah yang mengakibatkan kekerasan dan kesedihan," kata Mega menirukan pesan Bung Karno.
Menemukan cahaya-pencerahan, akan mengantarkan menjadi manusia merdeka. Manusia yang memahami arti kemanusiaan, berani memperjuangkan kemaslahatan/kesejahteraan rakyat serta teguh dalam pendirian dan tegar dalam menghadapi badai kesulitan. Itulah sejatinya manusia merdeka.
“Bukan ciri manusia berjiwa merdeka jika menyelesaikan persoalan dengan intimidasi, teror, dan senjata,” tegas Sang Bunga Anggrek Besi.
Bagi Megawati, kebahagiaan itu bukan karena berkoalisi dengan kekuasaan,tetapi kebahagiaan itu akan datang ketika kita bisa menangis dan tertawa bersama. Kebahagian itu bila terwujudnya kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur, dan tumbuh-subur nurani dan jiwa-jiwa rakyat yang merdeka. Megawati begitu mencintai Indonesia, merindukan rakyatnya bahagia sejahtera.
“Saya memohon kepada Allah Subhanahu Wataala, tetapkanlah kecintaanku kepada tanah air dan bangsa selalu menyala-nyala di dalam saya punya dada, sampai terbawa masuk ke dalam kubur saat Allah memanggilku pulang,” pesan Bung Karno untuk Megawati dan anak-anaknya. Mungkin doa itu pun terselip diulang tahunnya yang ke 78.
Panjang umur, Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri, Manusia Merdeka. Tetaplah menjadi Ibu Rakyat!!! (Kang Marbawi, 2501025)