Soal lupa itu manusiawi, wajar dan lumrah. Nabi pun menyatakan soal sifat lupa manusia dalam sabdanya. Walau manusiawi, jangan sekali-kali kita lupa diri. Sebab jika keseringan lupa diri, apalagi ketika memegang kekuasaan, akan melahirkan keserakahan dan kerusakan. Orang menyebutnya lupa daratan. Padahal pelaut pun selalu rindu daratan. Keseringan lupa daratan, dihawatirkan jadi lupa ingatan.
Lupa itu banyak macamnya. Ada model lupa yang diulang-ulang, itu namanya melalaikan. Tipe lupa yang ini, sudah termasuk orang yang tak bertanggungjawab. Ada juga yang lupa jadi manusia. Perilakunya melebihi sifat hewani, buas dan tak manusiawi. Bahkan karena lupa jadi manusia, ada yang merasa bisa berperan menjadi tuhan.
Lupa model lain adalah lupa menjaga perasaan orang lain, gara-gara terlalu menjaga image alias jaim. Ini yang banyak terjadi. Yang paling gawat itu adalah lupa melawan. Lupa melawan untuk tidak korupsi, tidak serakah ketika punya segala fasilitas dan kemudahan. Sehingga berhenti melawan korupsi. Bahkan menjadi pelaku. Lupa melawan mementingkan sendiri dan ego.
Ada penyakit lupa yang sudah menjadi wabah, lupa membaca buku. Justru apa yang ada dimedia sosial (medsos) yang kadang tak penting-penting amat, justru seolah wajib dibaca. Pekerjaan yang paling sulit didapat oleh manusia sekarang adalah pekerjaan membaca buku. Entah kemana, pekerjaan membaca buku. Apalagi membaca naskah semesta, hampir tak pernah dilakukan dan tak ada peminat.
Karena itu, jangan sekali-kali melupakan. Terutama soal nasehat para orang tua dan sejarah. Sebab orang yang melupakan asal-usul bisa dicap kacang lupa kulitnya dan tak tahu diri. Bahkan ada adagium terkenal dari Soekarno, “Jas Merah”, jangan sekali-kali melupakan sejarah. Ada juga “Jas Hijau”nya Ahmad Basyarah, jangan sekali-kali hilangkan jasa ulama.
Soal “Jas Merah” atau “Jas Hijau” itu, soal menghadirkan kesadaran. Kesadaran akan refleksi terhadap sejarah berikut warisannya pun apa yang dilakukan saat ini dan yang akan datang. Namun sering kali, kesadaran ini, hilang. Hilang karena laku hedonism dan menghamba pada syahwat.
Sadar bukan dalam arti biologis. Namun kondisi hadirnya nurani dan pikiran jernih terhadap keadaan diri, lingkungan, masa lalu dan yang akan datang. Kesadaran yang melahirkan perilaku untuk mengambil Pelajaran/refleksi, tidak lupa diri pun penghargaan terhadap sesama. Melawan lupa adalah menghidupkan kesadaran akan nilai hidup, kehidupan dan kemanusiaan. Menghidupkan kesadaran menjadi salah satu tujuan dalam pendidikan.
Dan satu hal yang harus terus menjadi kesadaran dalam pendidikan adalah menjalankan ajaran tri-kon nya Ki Hajar Dewantoro. Kontinuitas untuk menanamkan nilai yang tak terbatas ruang dan waktu serta mewariskan budaya. Konvergen dalam menjaga identitas budaya pribadi namun tetap mampu untuk berdialog dengan budaya luar secara setara. Dan tak lupa mendorong budaya inovatif dan kreatif serta adabtif sebagai bagian konsentris pendidikan dengan perkembangan budaya.
Prinsip Konsentris ini tetap berpijak kepada dua prinsip Kontinuitas dan Konvergensi. Sebab budaya kreatif inovatif tak akan berkembang pada jiwa yang tak memiliki identitas dan budaya kuat (berkepribadian). Sekaligus tak akan berkembang pada jiwa yang tak memiliki kemampuan berdialog dengan budaya luar.
Teori trikon ini senafas dengan apa yang disampaikan Socrates, putra pasangan Sophroniscus, seorang tukang batu, dan Phaenarete, seorang bidan, yang mengatakan; "Pendidikan adalah menyalakan api, bukan mengisi wadah".
Tidak cuma “Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani”. Masih ada yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantoro. Bahwa pendidikan bersendikan “tetep-mantep-antep”, “ngandel-kendel-bandel-kandel” dan “Neng-ning-nung- nang”. Silahkan membaca lagi, agar kita tidak lupa.
Pada akhirnya, Pendidikan bertujuan melahirkan manusia Ataraxia, yakni orang yang mempunyai ketenangan jiwa dimana hidupnya terbebas dari rasa gelisah, takut dan cemas. Semoga pendidikan kita tak lupa dengan Ki Hajar Dewantoro. (Kang Marbawi, 020225)