Opini

Pojokan 239: Bahtera

Pojokan 239: Bahtera
Kang Marbawi

Handphone (hp) ku berdering. Dari sanak. Tersedu dalam derai suara yang serak. Menumpahkan kekesalan, kelelahan serta putus asa. Ingin mengakhiri rumah tangga. Soal anak, urusan nanti. Pokoknya sudah tidak kuat lagi, setelah belasan tahun mengarungi rumah tangga. Tak ku iyakan. Hanya mendengar tumpahan kekesalan yang telah lama terpendam. 

Ku telephon pasangannya. Begitu pun dia, berbusa dengan semua unek-unek. Seperti mortir yang menghamburkan peluru. Seolah pasangannya yang dulu betul-betul dicintai dan dijanjikan kebahagiaan, kini hanyalah sesuatu yang pantas dicampakkan. Tak ada baiknya secuilpun.

Terlilit hutang, judol (judi on line), egois, intervensi keluarga, tak ada kesalingan dalam rumah tangga, pasangan dan anak tak menjadi prioritas dan segala serapah persoalannya lainnya, tertumpah ruah. Bahtera rumah tangga itu oleng.

Saling keukeuh pada maunya sendiri, tak seirama dalam bertutur menjadi keseharian dalam rumah. Membuat retakan-retakan yang semakin lebar dan menganga. Bahtera rawan bocor dan pecah. Terancam karam di tengah gelombang kehidupan yang harus diperjuangkan dan diarungi. Menghempaskan anak-anak terombang-ambing di tengah samudera. Mereka korban dari nahkoda dan ko-nahkoda yang tak seirama. Padahal bahtera itu punya pelabuhan yang dituju. Ada keturunan yang harus terselamatkan dan diantarkan pada gerbang kehidupan mereka.
 
Cinta yang dulu diagungkan, telah musnah. Teronggok dalam urusan rutinitas keseharian pemenuhan ekonomi dan tak menyatunya dua hati dalam kesalingan. Kesalingan untuk menghargai, menghormati, memahami, menerima, memberi, menutupi serta mengisi kekosongan-kekurangan, sesuai dengan peran masing-masing. Menghilang dalam gelombang egoisme. Tak memandang pasangan sebagai partner yang menyatu dalam duka dan suka. Yang menguatkan dan ada, ketika tak ada sesiapa, pun ketika terpuruk.

Konon perkawinan adalah kontrak sosial yang berdimensi ritual dan sakral. Dalam perjalanannya yang suci dan agung itu, tak selalu mulus dilakoni. Sebab perkawinan bukan jalan tol. Dia berliku dan kadang harus berhadapan dengan onak duri. Bahkan dia adalah bahtera yang mengarungi samudra luas. Dengan badai dan gelombang yang setia, setiap saat menerpa dengan keras dan besar.  

Tak semua orang, memandang perkawinan sebagai sesuatu yang kudus. Godaan kadang menjadi penghambar rasa kasih dan cinta yang seharusnya terus dipupuk. Kejenuhan dan ketaksalingan menjadi penyubur pudarnya komitment setia dan perhatian. Mencari kepuasaan lain di luar yang sah. 

Dibalut kebohongan dan kesemuan komunikasi yang dingin. Bertopeng kesalehan di depan orang. Mewujud dalam ketakjujuran, namun mencari celah untuk menyesap syahwat tak halal dengan segala cara. Bermain hati dengan hati yang lain.Bahkan hingga hilang jabatan dan rasa malu demi memenuhi syahwat. Tertinggal sesal dan keturunan yang jadi korban. 

Sejujurnya semua yang berpasangan mengalami godaan itu. Semua, tak terkecuali! 

Aku merenung teringat nasehat orang tua. Bahwa selain usaha dan kerja kerasmu, keberhasilanmu ada di tangan dua orang perempuan. Istri/pasangan dan ibu mu, ditambah bapakmu. Aku juga berdoa. Untuk anakku untuk istriku untuk keluargaku dan untuk keluarganya. Untuk sakinah mawaddah warohmah. Dan tak tergoda. Aku tetap penganut mono. (Kang Marbawi, 090225) 

Tag :
Terkini Lainnya

Lihat Semua