Pojokan 260 Sedekah laut

Pojokan 260 Sedekah laut

Kang Marbawi.

Kapal kayu berkekuatan 3 Gros Ton (3 GT) itu, sarat dengan penumpang. Diantaranya ada para pejabat pusat hingga bupati. Tak ketinggalan para dayang masing-masing. Memang sebuah keharusan jika pejabat hadir atau kemanapun, harus ada abdi yang mengiringi. Seolah pengasuh yang setia menemani dan memenuhi segala kebutuhan sang pejabat.

Biasanya, kapal itu berisi berbagai peralatan nelayan; jaring ikan, pancing dan berbagai keperluan lainnya. Namun hari itu (13/7) kapal itu mendapat berkah dinaiki para pejabat. Kapal itu bersama puluhan kapal nelayan lainnya melaksanakan ritual sedekah laut yang dilaksanakan di Carita, Pandeglang-Banten.

Tak hanya pejabat, ikut dalam rombongan para pengawal pejabat, pemangku adat, beberapa nayaga (pemain gamelan wayang golek) bersama beberapa orang yang memainkan wayang golek, awak kapal dan tak lupa anak kecil pemandu sorak macam Rayyan Arkhan Dikha, penari pacu jalur di Riau yang sedang viral karena tariannya diikuti selebriti olahraga dunia. Anak kecil itu nangkring di atas tiang layer belakang sambil menyemangati awak kapal lainnya.

Yang Istimewa di kapal penuh pejabat itu, ada kepala kerbau, sebagai sajian utama sedekah laut.

BACA JUGA: Mengelola Sumber Daya Alam untuk Masa Depan Berkelanjutan: Nature-Based vs Human-Based ?

Hari itu memang digelar “sedekah laut”, sebuah ritual tahunan yang biasa dilakukan masyarakat nelayan di Indonesia. Diberbagai daerah pesisir, ritual sedekah laut biasa dilakukan nelayan sebagai bentuk rasa syukur atas melimpahnya tangkapan laut. Ritual ini dilakukan dengan melarung kepala kerbau. Sebelum melarung kepala kerbau, masyarakat secara bergotong royong mengadakan pesta rakyat dengan menampilkan berbagai kesenian tradisional selama tiga hari tiga malam.

Sesampainya dititik larung sedekah laut, puluhan kapal mengerubungi kapal utama, pembawa kepala kerbau. Bagai semut mengerubungi gula. Aroma wangi bunga tercium, kala larung kepala kerbau dan segala macam pelaralatan dapur, wajan, dandang, centong, panci, bantal dan berbagai alat daput lainnya, diceburkan.

Mereka percaya, titik air laut yang bercampur dengan sesaji yang dilarungan itu, diyakini memberi keberkahan terhadap penghidupan mereka di laut. Air laut dibasuhkan, diguyurkan ke seluruh badan kapal khususnya di lunas dan kemudi. Tak lupa mengguyur penumpang yang lain.

Sedekah laut adalah ucapan Syukur kepada sang Asin. Bahwa tak pernah mereka menebar benih ikan dan segala hal yang berharga di laut. Tapi samudera memberikan itu semua, tak hingga. Dari dulu hingga akhir hayat.

BACA JUGA: Bayang-Bayang Ketimpangan Jabar (Bagian II), Lahan Hilang, Rakyat Terpinggir

Nelayan dipesisir dan tradisi sedekah laut itu berpikir sederhana. Sederhana dalam segala hal, teknologi tangkap laut, kapal kayu yang digunakan, cara berpikir, dan juga hasil tangkapannya. Sesederhana cara mereka menghargai laut.

Kekayaan lautnya yang kian terkikis oleh keserakahan para taipan dan kebijakan yang kurang memihak mereka-para nelayan.

Mereka bukan Pramodya Ananta Toer yang menuturkan protes lewat Novel “Gadis Pantai”. Bukan juga Laila Chudori yang bercerita seorang gadis bernama “Biru Laut” melawan rezim otoriter dalam novel “Laut Bercerita”.

Kesederhanaan para nelayan sederhana itu, tak sesederhana isi dari laut itu sendiri. Deburan ombak hanya menjadi pengantar sauh kapal nelayan menjemput rizqi dari samudra. Hanya secukup hari itu. Bukan mengeruk pasir, mutiara dan seisi laut yang dirampas para serakah. Laut sebagai kitab purba selalu dikuras, hingga yang di dalam dasar laut pun ditandaskan. Walau laut tak perna kehabisan harta karun, sang Asin merana, tandasnya harta bukan oleh nelayan. Tapi oleh kerakusan.

Menyisakan borok kerusakan lingkungan.

Para nelayan itu hanya mengkeramati pasir pesisir, ombak dan asinnya air laut. Sebab di dalamnya ada mitos dan keyakinan yang menghidupi kehidupan yang harus dihargai, dijagai dan disyukuri. Tidak dengan kerakusan untuk mengambil semua hingga tandas. Sedekah laut bagi mereka adalah cara melanggengkan mitos dan kebersyukuran atas limpahan karunia laut yang tak pernah habis.

Sedekah laut adalah tarikan nafas kehidupan nelayan dengan sang asin. Dibayang- bayangi pagar laut dan serakahnya para taipan. Konglomerasi yang menguras Sang Asin. Juga apa yang ada di dalamnya. Konon para taipan itu ada yang mendukung. Sang Nelayan hanya didukung Sang Asin yang tulus. (Kang Marbawi, 160725)


Berita Terkini