Opini

Tuhan itu Asyik

Kang Marbawi.
Kang Marbawi.

Pagi itu aku membuka pesan video di aplikasi whatsapps (WA) dari temanku yang sedangumroh di tanah suci, Makkah Al-Mukarromah. Handphone (HP) temanku merekam suasanaMasjidil Haram yang dipenuhi jamaah menunaikan shalat sunnah.  Setelah menyampaikansolawat dan hamdalah dalam doanya, -untuk ukuran orang awam, pembuka doa dalam bahasaArab, sahabatku cukup lumayan lah, dilanjut doa dengan bahasa Indonesia. Begini redaksidoa sahabatku untuk ku:

“….Ya Allah Ya Robbi, ditempat yang mulia ini, di Ka’bah di Masjidil Haram ini, karenasahabatku, sodaraku (…. menyebut namaku), orangnya REWEL, orangnya BUDEK, yaAllah, SUDAH KABULKAN saja ya Allah, Ya Robbana….” Dan video pun berhenti.

Mendengar narasi doa sahabatku ini sontak aku tertawa senang dan sekaligus haru. Bagiku, doa itu begitu indah, sederhana namun to the point. Tanpa tedeng aling-aling. Doa kawankusangat lugas, tegas dan memaksa! Saya yakin dia dan saya, tak banyak hafal doa-doa indahkarangan para habib, gus, kiai, ulama  yang biasanya panjang, indah, sopan, beradab dengansyair pujian kepada Tuhan yang teramat besar, mendalam dan agung. Tapi aku suka (redaksi) doanya.

Saya mendapatkan moment “wow” ketika mendengar doa sahibku ini. Saya memangmeminta didoakan berkali-kali kepadanya ketika tahu dia sedang umrah. Dalam doanya, Dia-sahabatku, menempatkan dirinya dengan Tuhan begitu dekat seperti seorang sahabat yang sedang mengobrol santai. Dia tidak berjarak dengan Tuhan.

Dia menyampaikan keinginanku seperti menyampaikan bahwa peminta doa ini sangat tidaksabaran, selalu merajuk dan tak tahu diri, sehingga membuat pusing dan merepotkan yang dimintai doa. Maka Tuhan dipaksanya untuk segera mengabulkan.

“…..karena sahabatku, sodaraku (…. menyebut namaku), orangnya REWEL, orangnyaBUDEK...,SUDAH KABULKAN saja Ya Allah…Yarobbana…”, begitu redaksinya.

Saya dan temanku bukan penganut tarekat, apalagi sufi. Kami pun tak memahami ajaranwahdatul wujudnya Ibnu Al Arabi atau Hamzah Fansyuri. Gelap-gulita bin buta, denganajaran mahabbahnya Rabiah al-Adawiyah. Tak mungkin juga mengalami Syatohatnya -ucapan ganjil para sufi, ketika sedang ekstase/kontemplasi menyatu dirinya dengan sang Khalik.

Kami pun tak paham tafsir dari arti ayat… “…Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya” (Qaaf : 16). Atau sabda Nabi yang diriwayatkan Abu Hurairah  yang mensabdakan, “Allah Ta’ala berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku……(Muttafaqunalaih), yang dinukil dari Bukhari, no. 6970 dan Muslim, no. 2675.

Kami tak paham itu semua. Kami orang awam, yang sudah merasa beruntung bisamenunaikan kewajiban solat lima waktu dan rukun Islam lainnya. Dengan cara sederhanaserta sebisanya.

Bagiku, ini (doa) keren sekali, berkaitan relasi antara hamba dengan Tuhan. Sebuah relasiyang dekat, tanpa sekat, hampir setara, jujur, konyol dan memaksa. Namun membuat aku gelidan haru.

Redaksi doa karibku itu, tak seperti para penjilat kekuasaan yang selalu memuji-memujipenuh muslihat, kepentingan dan kadang tanpa bukti. Menyampaikan sesuatu -asal bapaksenang (ABS). Melahirkan praktek KKN (Kolusi, Korupsi, Neporisme) dan suap. Relasipejabat dan para penjilat, didekati atau mendekat, dengan sengaja dibuat jarak dan berjarak.

Sementara dimata temanku-Tuhan diposisikan begitu dekat. Tak berjarak. Seperti obralanringan diwarung kopi bersama teman yang statusnya satu tingkat lebih tinggi. Permintaanserius dijadikan candaan yang dibawakan santai, apa adanya, urakan dan memaksa. Doadalam obrolan temanku begitu sederhana tapi elegan. “..SUFAH KABULKAN saja yaAllah…”. Kepasrahan total atas semua titipan doa yang disampaikan kepada-Nya.

Bagi Tuhan, soal bagaimana CARA Dia didekati, dimintai, disembahi, oleh sobatku, bahkanoleh sesiapapun, sepertinya tidak masalah dan tak berjarak. Hatta ketika caranya mungkindianggap tidak sopan oleh para gus, ulama, sufi atau siapapun yang merasa dekat denganTuhan. Tuhan tak ambil pusing. Justru manusia yang sering pusing dan repot untukmenunjukkan dirinya paling dekat dengan Tuhan, dimata lainnya.

Bagi temanku -aku juga terinspirasi olehnya, relasi dengan Tuhan relative lebih mudah, enakdan santai. Dibanding menjaga relasi dengan manusia apalagi pejabat. Penuh dengan kepura-puraan, ketidakjujuran dan kepentingan. Untuk melahirkan dan menjadi patron. Patron yang gila dan menggilai hormat dari semua.

Ternyata Tuhan itu asyik. Bisa diajak berdialog dan ngobrol. Terimakasih dan Amin untukdoanya sobat. (Kang Marbawi, 150225)

Terkini Lainnya

Lihat Semua