Makan malam lesehan bersama di ruang keluarga, menjadi waktu keramat keluarga. Walau meja makan enggan mampir, melihat luas ruangan yang terbatas. Waktu ketemu yang terbatas, karena tugas, sehingga tak tuntas membahas apa yang menjadi prioritas. Akhirnya whats app group (WAG) keluarga menjadi kanal diskusi, memecahkan berbagai persoalan. Ditimpali dengan obrolan offline.
Isu yang didiskusikan di WAG keluarga kami, tak seribet bin jlimet seperti yang dibahas di ruang-ruang Komisi DPR RI (Dewan Perwakilan Rakyat). Soal gas melon, efisiensi anggaran hingga memunculkan demo “Indonesia Gelap” dan tagar “#Kaburajadulu” tentu tak masuk dalam menu topik WAG kami.
Urusan efisiensi anggaran dapur, tabungan yang selalu tergerus kebutuhan ini-itu, FSR (family social respobsibility), foto-foto aktivitas si bungsu menjadi menu utama dari WAG. WAG kami tentu tak dibumbui sumpah serapah dan hate speech seperti sering terjadi di media sosial lainnya.
FSR dan isu rencana membuka usaha dari hasil efisiensi pendapatan yang impossible menyaingi Danantara, menjadi isu hangat kami. Awalnya rencana FSR ini disampaikan secara lisan kepada anggota keluarga. Dengan PD (percaya diri) saya menyampaikan gagasan untuk memberikan FSR kepada pihak yang dianggap membutuhkan.
Sudah bulat hati saya akan melaksanakannya. “Ibu negara”-istri, tidak memberikan tanggapan yang signifikan. Entah karena tak setuju, tapi tak mengeluarkan hak vetonya. Jarang sekali ibu negara mengeluarkan senjata pamungkasnya ini. Sehingga ketetapan hati semakin besar untuk meluncurkan proposal bantuan FSR.
Tak disangka, putri sulung mengirimkan pesan langsung ke WA saya. Isinya tentang pandangannya jika FSR dilakukan akan menimbulkan persepsi yang berbeda. Sebab penerima FSR yang dimaksud, berstatus single parents dengan empat anak. Walau niatnya baik, bisa saja menimbulkan persepsi yang salah, dalam pandangan orang. Si sulung pun menekankan, FSR ini bisa menyinggung perasaan ibundanya.
“Belum tentu apa yang diniatkan kita, diterima baik oleh orang lain. Bisa jadi orang punya persepsi lain dengan kebaikan FSR ini,” tulisnya di WA, seolah begawan mewejangi para candrik.
Pada kasus rencana membuka usaha, putri nomor dua pun memberikan pandangan kehati-hatian. Menurutnya, berinvestasi dengan teman, jika tidak pas akan menjadi penyebab putusnya silaturahmi.
Dua WA dari putri-putri tercintaku ini, sejatinya menyentuh ego sebagai seorang ayah, yang bisa saja memutuskan sesuatu untuk dijalankan/diterima tanpa kompromi. Saya mendapatkan insight yang jujur dari srikandiku. Dengan menurunkan ego, saya menerima “tuntutan” dari mereka soal dua hal tadi. Seperti halnya menurunkan kecepatan pada turunan yang tajam. Bisa fatal jika terus injak gas alias “gas pool”.
Bagi saya, pandangan mereka mencerminkan kepedulian dan maslahat yang lebih besar untuk kebaikan di masa yang akan datang. Dan terpenting, menolak kerusakan yang mungkin saja terjadi. Butuh hati yang lapang untuk mau mendengarkan mereka.
Tentu tuntutan WA putri saya ini, tak bisa direplikasi dan disimplifikasi (disederhanakan) dengan 13 tuntutan pada demo “Indonesia Gelap” BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) seluruh Indonesia 20 Februari 2025 lalu. Sebab pemerintah bukan saya dan saya bukan pemerintah. Pun mahasiswa, mereka bukan anak pemerintah, dan pemerintah tak punya anak mahasiswa.
Tapi mereka punya hubungan darah. Mahasiswa menuntut kucuran anggaran pendidikan tetap seperti gemericik pancuran dari pegunungan yang tak pernah berhenti. Jangan dikecikan debitnya seperti kran yang mampet, akrena efisiensi. Itu salah satu diantara 13 tuntutan mereka. Entah dari mana angka 13 itu muncul di benak para calon penerus bangsa. Padahal di beberapa hotel dan lift, angka 13 ditiadakan, entah karena dianggap horor atau sial. Pembaca bisa tanya kepada ahli Feng Shui.
Urusan negara, tak sesimple urusan keluarga. Negara cq pemerintah berusaha memobilisasi kekayaan dan semua potensi negara untuk sebesar-besarnya mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya. Kemampuan untuk mandiri, tanpa terlalu bergantung pada pihak luar. Mungkin itu, maksud dari pemerintah dengan efisiensi.
Tuntutan itu bisa jadi tak diabakan semua. Yang pasti Indonesia jangan gelap karena kebijakan yang tak pro rakyat. Indonesi gelap jika kleptokrasi (korupsi merajalela-negeri maling) dan oligarkhi mendominasi. Indonesia akan gelap jika pemimpinnya typokrasi, lupa janji manis waktu kampanye dan selalu menutupi kesalahan sendiri. Atau kandasnya 13 tuntutan keramat itu, Indonesia akan menjadi gelap? Entahlah! (Kang Marbawi230225)