Monster rasisme dan diskriminasi selalu meminta korban. Monster itu menjelma gagah dalam lindungan regulasi penguasa atau mayoritas.
Tengok saja Jim Crow Laws yang diberlakukan sejak tahun 1877 hingga 1960-an, berisi aturan pemisahan kelas berdasarkan ras. Atau politik Apartheid di Afrika Selatan 1948 – 1990. Masih banyak - monster regulasi yang diskriminatif, dipelbagai belahan dunia, juga di Indonesia.
Hukum Jim Crow memicu masa kelam dalam sejarah Amerika. Melahirkan monster berbentuk manusia yang mendiskriminasi dan laku biadab lynching (memukuli orang hingga mati dengan kebencian, kebiadaban dan pembakaran) kepada golongan berkulit hitam, di Amerika.
Hingga mereka tega menggantung tubuh orang kulit hitam dengan darah yang mengalir di daun dan di akar. Menjadi pemandangan aneh pada sebuah pohon poplar. Pemandangan memuakan ini meresahkan seorang guru, Abel Meeropol. Dia menuliskannya dalam sebuah puisi berjudul strange fruits. Puisi yang kemudian digubah menjadi sebuah lagu dan dipopulerkan oleh Billie Holliday. Dinyanyikan disebuah café Society tahun 1939.
Strange Fruit, menjadi peringatan bagi para korban kebencian yang tidak disebutkan namanya dan tidak bersuara: pria dan wanita dipukuli, ditelanjangi, dicambuk, dimutilasi, dibakar, dihujani peluru, dan dibiarkan "tergantung di pohon poplar."
Monster -rasis dan diskriminasi ini, selalu ada di setiap peradaban dan budaya. Dan akan selalu ada pada pikiran yang “merasa paling” benar, unggul, hebat, otoritatif dan segala yang menyentuh super egonya. Melahirkan segregasi dan persekusi; merendahkan, menyalahkan, membenci, mengucilkan dan mengabaikan nurani kemanusiaan yang welas asih. Titan itu sudah ada sejak dahulu dan telah tertanam sejak dalam pikiran orang-orang yang “merasa paling”.
Perilaku tak manusiawi monster itu, kadang dipicu regulasi yang ditelorkan lembaga keagamaan dan sekali tempo didukung pemerintah. Regulasi itu menjadi pembenaran bagi kelompok vigilante -penghakiman dengan kekerasan kepada yang berbeda dengan paham yang diyakininya tanpa proses dialog (main hakim sendiri), untuk melakukan persekusi dan pengusiran kepada kelompok yang dianggap berbeda. Berbeda dalam pemahaman, tafsir, cara bahkan teologi.
Seolah Tuhan tak berkenan dengan paham yang bersebrangan dengan paham mainstream. Sesuatu yang ganjil dengan paham mainstream dianggap sesat. Dan yang sesat harus dilenyapkan. Label sesat - yang dilegalkan, menjadi minyak untuk melakukan persekusi. Menjadi amunisi bagi pembenaran tindakan kekerasan penganut sumbu pendek- vigilante, atas nama membela Mu. Padahal mereka masih satu rumpun; agama, bangsa dan bahkan satu keluarga.
Tuhan, Engkau Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tapi kenapa ada banyak manusia yang berbuat nista dan biadab kepada sesama atas nama Mu. Hanya karena berbeda cara menyembah Mu. Seolah hanya jalannya sajalah, yang paling benar untuk sampai kepada Mu. Membenci hingga kerak pada yang berbeda dengan pahamnya.
Tuhan, Engkau Maha Perkasa dan Kuasa. Tapi kenapa banyak orang menghabisi sesamanya atas nama membela Mu. Padahal Engkau penguasa segala. Apakah Engkau memang perlu pertolongan dari mahkluk yang Kau ciptakan? Tentu tidak! Jadi apanya yang dibela? Ego nya kah?, kepentingannya kah? Atau membela kebenaran versinya, dan tak ada kebenaran selain versi dan ceritanya!
Betul, kepercayaan kepada Mu adalah sesuatu yang harus dijaga tanpa kompromi. Tapi tidak dengan menistakan nilai kemanusiaan pada kepercayaan yang berbeda,- bahkan yang dianggap sesat.
Gusti, Kau ciptakan manusia berbeda, untuk saling melengkapi. Namun kenapa ada manusia yang menganggap dirinya lebih dari yang lain. Entah karena warna kulit, agama, paham dan keyakinan. Mewujud pada tindakan diskriminasi dan persekusi. Korbannya, hingga hari ini selalu dan terus berjatuhan.
Pada korban persekusi ini, negara belum hadir nyata untuk melindungi segenap rakyatnya tanpa melihat paham, agama, suku atau warna kulit. Selama mereka warga negara Indonesia, mereka punya hak dilindungi negara.
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam praktiknya adalah beragama dengan tetap menghargai perbedaan, nilai-nilai kemanusiaan, menjunjung keadaban dan budaya yang selaras dengan ajaran agama.
Tuhan, bukankah Ahmadiyah, Syiah, Sunni, bahkan agama-agama besar lainnya adalah berasal dari satu rumpun? Namun mengapa mereka masih dianggap tak sama sebagai sesama? Kalaupun memang tak sama, mereka punya hak yang sama untuk hidup di bumi pertiwi ini. Bukan justru terusir dan diusir dari bumi mereka sendiri. Paling tidak, pandanglah mereka sebagai sesama manusia, walau berbeda dalam keyakinan. (Kang Marbawi, 100325)