Bersama STEM/STEAM, Matematika Menjadi Wahana Kreativitas dan Solusi Nyata

Bersama STEM/STEAM, Matematika Menjadi Wahana Kreativitas dan Solusi Nyata

Penulis: Pieter Z. Tupamahu

Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Matematika UPI

 

Di tengah tuntutan global yang terus berubah, kemampuan matematis abad ke-21 tidak lagi cukup dibatasi pada keterampilan menghitung atau menghafal rumus. Sebaliknya, matematika harus menjadi bagian integral dari pengembangan keterampilan berpikir kritis, pemecahan masalah, kreativitas, komunikasi, dan kolaborasi yang merupakan komponen utama dalam kerangka kerja Partnership for 21st Century Learning (P21). Dalam kerangka tersebut, matematika menjadi alat berpikir dan berinovasi, bukan sekadar konten akademik. Oleh karena itu, pendekatan STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) dan STEAM (yang menambahkan unsur seni ke dalamnya) menjadi sangat relevan dalam merancang pembelajaran yang mendorong penguasaan konsep secara mendalam dan bermakna, serta meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi (HOTS) yang dibutuhkan dalam dunia nyata.

BACA JUGA: Mengenal Musim Kemarau Basah yang Melanda Indonesia Saat Ini

Implementasi pendekatan STEM/STEAM dalam pembelajaran matematika secara kontekstual dapat dilihat pada berbagai proyek kreatif di ruang kelas. Salah satu contoh yang sangat efektif adalah proyek "Desain dan Konstruksi Jembatan Mini", di mana siswa diminta merancang struktur jembatan dari stik es krim atau bahan daur ulang dengan memperhatikan aspek kekuatan dan efisiensi bahan. Dalam proyek ini, siswa menggunakan konsep matematika seperti panjang, sudut, luas permukaan, dan prinsip rasio serta proporsi untuk menganalisis kestabilan struktur. Aktivitas ini mengembangkan kemampuan geometris dan pemikiran logis, sambil melibatkan science (sifat bahan), technology (penggunaan software desain), dan engineering (aspek konstruksi). Selain itu, proyek ini juga menstimulasi kreativitas dan keterampilan komunikasi saat siswa harus mempresentasikan desainnya. Melalui pendekatan ini, matematika menjadi hidup dan aplikatif, jauh dari kesan abstrak atau membosankan.

Proyek STEAM juga dapat diterapkan dalam konteks lingkungan, seperti pada kegiatan "Pembuatan Taman Vertikal di Sekolah". Dalam proyek ini, siswa belajar mengenai fotosintesis dan kebutuhan tumbuhan (science), mengukur volume dan menghitung luas permukaan pot (mathematics), membuat anggaran biaya pembelian material sebagai bagian dari proses perancangan teknis (engineering), serta merancang estetika taman (arts). Dengan menggunakan operasi pecahan, persentase, dan satuan ukuran, siswa mengembangkan kemampuan numerik mereka sambil membangun kesadaran ekologis. Aktivitas ini juga mengasah kemampuan kolaborasi dan komunikasi, ketika siswa bekerja dalam tim, berdiskusi, dan menyampaikan ide mereka secara visual dan lisan. Penambahan unsur seni dalam STEAM memberikan ruang bagi siswa untuk berpikir kreatif dan memvisualisasikan konsep matematika dalam bentuk nyata.

Lebih jauh lagi, pendekatan STEM/STEAM juga bisa diterapkan dalam kegiatan sederhana yang relevan dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya, pada materi statistika, guru dapat meminta siswa melakukan survei mengenai konsumsi plastik rumah tangga di lingkungan sekitar mereka. Siswa mengumpulkan data, menyusunnya dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, lalu menyajikannya dalam grafik batang, lingkaran, dan garis. Dari data tersebut, siswa diminta menyusun kesimpulan dan membuat saran yang solutif terkait pengurangan sampah plastik. Dalam proses ini, keterampilan berpikir logis, representasi data, dan komunikasi matematis berkembang secara aktif. Aktivitas ini tidak hanya melatih kemampuan numerik, tetapi juga menumbuhkan empati dan tanggung jawab sosial siswa. Dengan melihat bahwa matematika dapat digunakan untuk memecahkan masalah lingkungan, siswa menyadari bahwa matematika bukan hanya ilmu untuk ujian, melainkan alat untuk perubahan.

Pendekatan STEM/STEAM dalam pembelajaran matematika telah mendapat dukungan dari berbagai penelitian. Studi Amanova et al. (2025) menunjukkan bahwa pendekatan STEAM secara sistematis meningkatkan keterampilan pemecahan masalah dan kreativitas siswa. Sementara itu, Becker dan Park (2011) menegaskan bahwa integrasi antardisiplin dalam pendekatan STEM berkontribusi pada peningkatan hasil belajar siswa secara signifikan. Di tingkat nasional, penelitian Sappaile et al. (2023) mengungkapkan bahwa pembelajaran STEM mendorong pengembangan keterampilan berpikir kritis siswa di Indonesia, dan Hartini et al., (2023) menekankan bahwa unsur seni dalam STEAM membantu siswa dalam memvisualisasikan dan memahami konsep matematika secara lebih bermakna.

BACA JUGA: Leuit, Simbol Ketahanan Pangan dan Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan Gelar Alam

Namun, keberhasilan pendekatan ini sangat bergantung pada kesiapan guru dan ekosistem pembelajaran yang mendukung. Guru harus memiliki pemahaman yang cukup untuk merancang kegiatan lintas disiplin yang tidak hanya menggabungkan konten, tetapi juga terintegrasi secara konseptual. Pelatihan profesional yang mendalam, kurikulum yang fleksibel, serta dukungan fasilitas dan waktu pelaksanaan menjadi syarat mutlak agar pendekatan ini tidak berhenti sebagai konsep semata. Sekolah juga harus mendorong kolaborasi antar guru lintas mata pelajaran untuk merancang proyek bersama yang relevan dan bermakna.

Pada akhirnya, integrasi STEM/STEAM dalam pembelajaran matematika adalah jawaban atas tantangan pendidikan abad ke-21. Siswa tidak lagi hanya belajar bagaimana menghitung, tetapi juga bagaimana merancang, berinovasi, dan mengambil keputusan berdasarkan data dan logika. Mereka menjadi pembelajar aktif yang mampu menghubungkan antara ilmu dan realitas, serta melihat matematika sebagai bahasa yang dapat digunakan untuk memahami dan memperbaiki dunia. Dengan demikian, pembelajaran matematika tidak hanya menjadi lebih menarik, tetapi juga lebih relevan dan transformatif.(*)


Berita Terkini