Opini

Sistem Zonasi PPDB Bukan Akar Solusi

Sistem Zonasi PPDB Bukan Akar Solusi
Ilustrasi PPDB.

Oleh

Dr. Dede Rubai Misbahul Alam, M.Pd.

(Dosen Sekolah Pascasarjana UNISMA Bekasi, Sekjen ICMI Kabupaten Subang)

Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun 2024 sudah dibuka dan telah resmi diumumkan oleh masing-masing pemerintah daerahnya bersama Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud). Sistem zonasi kembali disosialisasikan kepada masyarakat untuk mengatur penerimaan siswa yang akan mendaftar sekolah ditingkat lanjutannya. Zonasi PPDB adalah suatu sistem penentuan wilayah atau zona geografis yang digunakan untuk membatasi area pendaftaran dan penempatan siswa pada sekolah-sekolah. Tujuannya untuk mempercepat pemerataan pada sektor pendidikan.

Jika dilihat dari asalnya, sistem zonasi merupakan kebijakan dari sistem rayonisasi. Rayonisasi adalah sistem penerimaan siswa baru berdasarkan letak geografis kewilayahan calon peserta didik baru yang mendaftar pada satu sekolah berdasarkan pada capaian prestasi siswa di bidang akademik, sementara sistem zonasi lebih menekankan pada jarak atau radius antara rumah siswa dengan sekolah. Pelajar yang rumahnya lebih dekat dengan suatu sekolah lebih berhak mendapatkan pendidikan di sekolah (negeri) tersebut.

Dari sudut pandang sosial budaya, sistem zonasi sepertinya dapat memberikan nilai keadilan sosial yang cukup tinggi karena memiliki semangat untuk memeratakan akses pendidikan, karena dengan adanya jalur zonasi bisa membuat semua anak mendapatkan haknya untuk menerima pendidikan dengan jarak yang dekat. Mendekatkan lingkungan sekolah dengan lingkungan keluarga dan budayanya, sehingga orang tua akan lebih mudah memantau perkembangan anak dan kegiatan sekolahnya. Begitu juga semangat dalam menghapuskan eksklusivitas dan diskriminasi. 

Namun sayangnya niat baik dalam pemerataan akses pendidikan untuk semua kalangan masyarakat dalam PPDB kita ini belum bisa berjalan baik. Pasalnya segala hal menyertai kebaikannya belum cukup memenuhi syarat. Akibatnya malah menimbulkan banyak polemik hingga kemadharatan. Sebut saja Ombudsman RI sedikitnya menemukan Empat masalah dalam sistem zonasi PPDB di tahun 2023 yaitu; rentan blankspot dan ketidaksesuaian titik koordinat; adanya manipulasi dan pemalsuan dokumen kependudukan; tidak semua penyelenggara melakukan pembagian zonasi; dan belum ada mekanisme validasi dalam seleksi zonasi. Masalah lainnya adalah tentang mental dan karakter penyelenggara dari institusi yang terkait masih sangat rendah menambah runyamnya masalah. Bahkan Indraza Marzuki Rais salah satu anggota Ombudsman RI mengatakan dalam harian Kompas, “manipulasi dan pemalsuan dokumen kependudukan tidak hanya dilakukan oleh masyarakat, tetapi juga bekerja sama dengan petugas di institusi pendidikan serta dinas kependudukan setempat.” 

Luasnya wilayah geografis kita menyebabkan timbulnya ketidakmerataan pendidikan. Diantara faktor yang menjadi penyebab ketidakmerataan pendidikan kita secara umum yaitu tentang aksesibilitas. Masih banyak daerah-daerah terdalam di desa/kampung yang masih belum terjangkau oleh fasilitas pendidikan formal yang layak. Disamping itu infrastruktur serta kurangnya tenaga pendidik masih menjadi persoalan utama dalam menyediakan pendidikan berkualitas di daerah-daerah. Meskipun sekolah sudah terbangun sampai ke daerah-daerah, akan tetapi kualitas bangunan, sarana prasarana, guru dan pengajaran belum sesuai dengan standar yang diharapkan.

Perbedaan kualitas sekolah antara perkotaan dan pedesaan begitu sangat mencolok. Sekolah di perkotaan cenderung lebih banyak mendapatkan fasilitas belajar serta kualitas pengajaran yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah yang ada di daerah. Sehingga wajar jika sekolah dengan fasilitas dan jaminan pendidikan yang lebih baik menjadi rebutan bagi setiap calon peserta didik baru. Meskipun pemerintah berusaha melakukan pemerataan fasilitas di seluruh wilayah, namun kendala yang sering dihadapi adalah macetnya fasilitas pendidikan yang diberikan untuk daerah pedesaan.

Selain itu adanya ketimpangan ekonomi. Sentralisasi industri dan perekonomian yang terpusat di kota adalah diantara penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi, akibatnya berdampak terhadap pendidikan. Anak-anak yang berasal dari keluarga miskin sering kali kesulitan dalam mengakses pendidikan yang berkualitas karena kendala dalam perekonomian. Meskipun pemerintah telah menyediakan berbagai program seperti sekolah gratis, beasiswa, dan sebagainya, ketimpangan pendidikan masih saja terjadi karena belum meratanya bantuan yang diberikan bahkan sering kali terjadi salah sasaran.

Masih besarnya tingkat ketimpangan pendidikan saat ini perlu disadari oleh semua pihak. Diperlukannya upaya bersama-sama antara pemerintah, masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat untuk mengatasinya secara holistik, diantaranya dapat dilakukan langkah-langkah seperti menyediakan akses pendidikan yang merata. Ketidakmerataan pendidikan yang masih terjadi hingga saat ini bisa saja karena kurangnya dukungan satu sama lain antar sektor. Sehingga kerja sama ini hendaknya terbangun antar sektor dalam meningkatkan pendidikan kita sampai di pedesaan. 

Untuk langkah pemertaaan pendidikan, pemerintah melalui Dinas Pendidikan dan Kebudayaan serta stake holder terkait harus lebih serius lagi dalam meningkatkan kualitas pengajaran. Perbaikan dalam kualitas pengajaran menjadi kunci dalam menghasilkan siswa yang berkualitas. Pemerintah harus terus bekerja sama dengan semua sektor agar dapat menginvestasikan lebih banyak sumber daya pendidik, pengembangan kurikulum yang relevan, serta penyediaan fasilitas yang memadai. Seiring itu juga, pemerintah harus memperhatikan kesejahteraan guru. Karena hal ini sangat berdampak terhadap kualitas pengajaran yang diberikan.

Selanjutnya monitoring dan evaluasi. Setiap program yang sudah dijalankan penting untuk dilakukan monitoring serta evaluasi yang efektif. Hal ini ditujukan untuk mengukur kemajuan dan keberhasilan, serta mengidentifikasi masalah agar bisa mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketidakmerataan pendidikan. Sehingga langkah-langkah yang dilakukan, disesuaikan dengan kebutuhan.

Jauh dari semua itu, pemerintah dan seluruh stake holder terkait bahkan sampai kepada masyarakat dan orang tua siswa harus memiliki komitmen dan tanggung jawab yang sama untuk dapat membantu mengikis persoalan pendidikan kita. Pendidikan merupakan pilar yang sangat penting untuk terus kita tingkatkan dalam memajukan serta membangun Indonesia menjadi lebih baik lagi. Sehingga sistem zonasi itu bukan akar masalahnya. Masalah-masalah yang muncul di PPDB seperti praktik penipuan, praktik pemalsuan Kartu Keluarga (KK), suap dan sebagainya, itu bukan karena zonasi. Melainkan adanya ketimpangan kualitas antar sekolah.

Berita Terkait