Betul juga pepatah orang tua dulu (leluhur) itu. Kepleset itu bukan karena batu besar, tapi justru karena kerikil kecil yang tak diperhitungkan. Membuat badan terpelanting, dengan pantat nubruk tanah duluan, kaki yang kehilangan pijakan mengangkang ke atas, seolah menendang angin. Ditambah mulut menganga, tangan menggapai hilang kendali dan kesadaran terbang entah kemana. Untung kepala tidak nubruk batu duluan.
Baru sadar setelah rasa nyeri di pantat menyapa dengan keras. Dibarengi rasa malu yang teramat, menyergap tak sopan, ditengah orang banyak yang tertawa menonton (yang agak sopan, menyembunyikan senyum dengan kedua tangan), dan sedikit yang membantu bangkit.
Malu yang tiba-tiba hadir dari jatuhnya harga diri, ditutupi dengan sumpah serapah. Lupa membuka hati untuk berucap maaf atas kesombongan diri hingga tak melihat apa yang di bawah dan kecil.
Terjerembabnya harga diri itu, kadang bukan karena orang lain. Tapi justru dari diri yang tak bisa mawas diri dari buasnya kata-kata dari mulut sendiri. Kata yang keluar yang tak disaring dan tak mengindahkan rasa hati orang yang diajak bicara. Juga tak awas diri, karena merasa sudah merasa “paling”.
Mewujud dalam membusanya kata-kata yang tak pantas yang keluar dari mulut. Merendahkan dan melukai nurani setiap orang. Tak ada kearifan dalam mulut yang dilipstiki rasa “hebat”. Mewujud dalam kata kasar, merendahkan, tak pantas, kekerasan verbal, bullying.
Pantas hasil riset Jakpat pada Maret 2023 tentang bullying menunjukkan kekerasan verbal mendapat persentase tertinggi, mencapai 87,6%. Mengangkangi kekerasan fisik yang mencapai 27,5% dan cyber bullying sebesar 19,6%.Kekerasan verbal adalah kekerasan terhadap perasaan dengan mengeluarkan kata-kata kasar tanpa menyentuh fisik, memfitnah, mengancam, menakut-nakuti, menghina, atau membesar-besarkan kesalahan. Bahkan kekerasan verbal itu sering muncul dalam guyonan.
Walau tak sekolah setinggi orang jaman sekarang, orang tuaa kita dulu -disemua suku budaya yang ada di Indonesia, penuh dengan kebeningan hati dan kearifan. Mereka melihat hidup dan kehidupan bukan sekedar pemuas keinginan, nafsu dan serakah. Namun lebih kepada pemaknaan dan kebermanfaatan hidup dan kehidupan.
Kerifan yang lahir dari kemauan untuk memahami fenomena dari kehidupan yang dijalani. Dilakukan dengan pergulatan dan dialog batiniah untuk mengerti keadaan. Dimulai dari instrospeksi diri dan terus belajar untuk mengendalikan id, ego dan superegonya. Pun menghilangkan keserakahan, diganti dengan kebermanfaatan untuk sesama. Mewujud dalam kesederhanaan dan ketawaduan dalam laku lampah.
Soal peran kepleset lidah ini, ada baiknya menengok pepatah dari negeri sebrang, “a slip of the foot you may soon recover, a slip of the tongue you never will“. Selip kaki bisa segera disembuhkan, namun selip lidah takkan bisa disembuhkan.
Dan juga mari merenung-renungkan pepatah yang satu ini; “God gave us two ears and one mouth so that we may listen twice as much as we speak.” Tuhan memberi kita dua teliga dan satu mulut agar kita mendengarkan dua kali dan bicara satu kali.
Jika masih kurang, silahkan Simak pepatah dari Jawa seperti ini; “Ajining dhiri dumunung aneng lathi”, harga diri seseorang tergantung pada gerak bibir (ucapannya). Kita juga bisa mencarinya tanpa repot dari kearifan lokal lainnya dengan hati terbuka. Pada akhirnya kata yang paling lembut adalah kata yang keluar dari nurani yang besih. Nurani yang bersih adalah bantal yang paling lembut dalam kehidupan. (Kang Marbawi, 081224)