Pesantren dan Masjid dalam Pusaran Kekuasaan

Muhammad Awod Faraz Bajri Dosen Sosiologi Agama/Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Muhajirin Purwakarta
Masjid yang merupakan tempat ibadah, memohon ampunan kepada Allah, tempat yang sangat suci, berzikir dengan khusyuk, membaca Alquran sudah dijadikan tempat memprogandakan ujaran kebencian.
Yakni, dengan memiliki agenda politik pihak-pihak terkait sehingga, umat terbawa emosi dan membenci saudaranya yang berbeda pandangan politik serta dengan mudah menebarkan berita hoax yang belum tentu kebenarannya.
Persaingan politik memang keras, tetapi harus mengedepankan kewarasan serta nalar sehat supaya terus digelorakan dalam perhelatan demokrasi lima tahunan.
Meminjam teori Mus'a Asyari dalam buku"Revolusi kebudayaan Tanpa Kekerasaan" Absurditas politik bisa dikalahkan oleh hawa nafsu berkuasa sehingga nalar sehat tidak berjalan dengan baik.
Logika kekuasaan yang sempit akan mengakibatkan perpecahaan diantara kelompok masyarakat yang akhirnya polarisasi sudah tidak bisa dihindarkan lagi akibat kepentingan politik.
Saya teringat ungkapan Pernyataan Muhammad Natsir "The Loyalty to the Party end when the loyalty to the state begins." Politik saling mengerti adalah rujukan dialogis antara-antara kepentingan-kepentingan politik untuk mencari kesepahaman dalam membangun negara bangsa-bangsa sejahtera, adil dan makmur.
Mungkinkah politik saling mengerti bisa terjadi pada pilkada serentak 2024? Politik saling mengerti seperti diungkapkan Habermas akan tercipta bila kelompok-kelompok kepentingan elite politik menyadari bahwa debat tak akan kunjung usai tentang parsialitas kepentingan harus segera diakhiri.
Pemimpin yang berkarakter dan amanah akan menjadi mata air yang terus mampu memompa spirit pencerahan dan komitmen bagi seluruh warga. Ruh seperti itu sangat dibutuhkan oleh negara dan bangsa kita manakala pemimpin berada dalam gejolak dan ketidakpastiaan.
Lingkaran kekuasaan adalah tembok besar yang sangat sulit ditembus oleh nilai agama. Kolaborasi antara otoritas keagamaan dan otoritas negara dikhawatirkan akan melahirkan tafsir- tafsir palsu develomentalis yang akan menindas masyarakat.
Secara normatif agama adalah The Quarium of Society yang memiliki tugas untuk mengkritisi struktur kekuasaan, karena ketika agama tersubordinasi oĺeh struktruk kekuasaan maka agama akan kehilangan fungsinya.
Proses mistifikasi dalam dunia politik itu hal yang biasa dalam rangka mengkonstruksi realitas sosial dalam mencari dukungan seluas-luasnya. Bahkan Geerz mengungkapkan tidak ada satu pun dalam dunia politik yang tidak ada proses mistifikasi politiknya di negara mana pun juga termasuk indonesia yang penuh dengan mitos dan mistik.
Ketika kelompok agamawan masuk dalam lingkaran kekuasaan. Pertanyaannya adalah apakah ada jaminan kuasa moral bisa mengalahkan amoral realitas politik sekarang? Belum lagi oknum-oknum politik yang mengunakan agama untuk kepentingan politik jangka pendek dan sesaat.
Harus diakui bahwa agama adalah entry point yang paling empuk dimanfaatkan oleh para petualang politik. Masyarakat masih memiliki keyakinan bahwa ada banyak ulama yang berpolitik bertujuan untuk memberikan dialektika pencerahan dan berkontribusi penuh dalam mencerdaskan bangsa indonesia serta menjaga jarak dengan lingkaran kekuasaan serta mengontrol jalannya kekuasaan.
Termasuk saya masih memiliki keyakinan masih banyak kyai pesantren dan masjid yang mampu mempertahankan eksistensinya dari godaan politik sesaat serta menjaga umat dari perpecahaan.(*)