TOKOH agama dalam masyarakat memiliki peran penting sebagai penjaga moral, pemandu nilai-nilai dan panutan bagi banyak orang. Mereka diharapkan menjadi sumber inspirasi, terutama saat kondisi sosial penuh tantangan.
Namun, ketika masa Pilkada tiba, peran ini sering berubah. Beberapa tokoh agama tampak terlibat dalam politik secara pragmatis, di mana dukungan mereka terhadap calon kepala daerah tampaknya bukan lagi soal prinsip, melainkan karena insentif yang diterima.
Masyarakat tentu mempertanyakan, apakah tokoh agama masih menjadi penjaga moral atau kini lebih mirip "pengusaha politik"?
Max Weber pernah mengatakan bahwa modernisasi membuat kita menghitung setiap tindakan berdasarkan untung dan rugi. Bagi sebagian tokoh agama, dukungan politik mungkin sudah dipandang sebagai investasi, bukan lagi soal keyakinan atau integritas.
Ketika nilai yang semestinya mereka jaga tergantikan oleh kepentingan material, kita menyaksikan pergeseran moral yang seharusnya tidak terjadi.
Dalam karya sastra Nh. Dini, seorang tokoh perempuan pernah merenungkan, “Bila manusia sudah menanggalkan kejujuran, di mana letak harga dirinya?”
Pertanyaan ini relevan ketika kita menyaksikan tokoh agama yang seharusnya menjadi penjaga kebenaran justru terjebak dalam transaksi politik. Masyarakat bisa jadi kehilangan kepercayaan, bertanya-tanya, di mana kejujuran tokoh yang mereka hormati?
Pengingat serupa datang dari Goenawan Mohamad dalam catatan-catatan esainya, di mana ia mengungkapkan, “Kita hidup dalam dunia yang sibuk menjual dan membeli ilusi.”
Pernyataan ini seakan menggambarkan betapa dunia politik hari ini cenderung pragmatis, bahkan ketika melibatkan sosok yang kita pandang sebagai penjaga nilai.
Tokoh agama yang terjebak dalam ilusi politik uang bukan hanya kehilangan martabat, tetapi juga mencoreng peran mereka sebagai pengayom moral.
Jika kita tidak segera mengembalikan tokoh agama pada peran sejatinya, lantas, siapa lagi yang bisa kita harapkan menjadi penjaga nilai di tengah masyarakat yang semakin pragmatis? (*)