Lima gunukan tanah penanda kuburan itu hampir rata. Menyisakan botak akibat keseringan terinjak kaki. Sementara di kuburan lainnya, tumbuh subur rumput dan segala macam tanaman gulma.
Area pemakaman umum ini sekitar 1500 meter pesegi, berbatasan dengan tebing sungai Bekasi. 95 % kuburan lainnya sudah diplester dengan nisan dari batu alam atau keramik. Praktis tak bisa diinjak semena-mena oleh anak-anak.
Lima gunukan tanah kuburan seluas 2 x 5 meter persegi itu, menjadi arena unjuk kebolehan 4 (empat) atau 6 (enam) anak-anak bermain bola plastik. Sementara yang lainnya menonton nyaman duduk di pusara semen kuburan lainnya.
Botaknya tanah gunukan kuburan itu akibat korban kesewenangan kaki anak anak yang bermain bola. Tiang gawangnya ditandai potongan batu nisan yang patah. Tak tahu malu dan sopan santun, kaki anak-anak itu bermain bola di atas kuburan yang belum dijahul (belum diplester/dipasang nisan berikut dengan pasangan bata/keramik sekujur kuburan).
Gunukan tanah kuburan itu kemudian menjadi lebih rata, padat, juga gundul. Sementara lima batu nisa kuburan tanah yang jadi lapangan bola mini itu sendiri, sudah lari terbirit-birit entah kemana.
Bisa jadi, penghuni kuburan protes, karena mahkota kepalanya di injak-injak. Itu pun jika mereka bisa protes dan bisa mengabaikan malaikat yang sedang menghitung urusan semasa mereka hidup yang belum kelar dipertanggungjawabkan.
Mereka, anak-anak yang bermain di kuburan itu, adalah tetangga saya. Di lingkungan saya tinggal, tidak ada ruang bermain. Ruang terbuka tanpa bangunan hanya ada dilahan pekuburan. Praktis, kuburan menjadi arena bermain anak-anak di gang tempat saya tinggal, selepas sekolah.
Kebetulan saya tinggal di perkampungan padat (bukan perumahan), di bilangan pinggiran Bekasi Utara. 30 centimeter dari tembok rumah (3 x 8 meter luas rumah saya), bersebelahan kuburan. Dari jendela rumah, saya bisa menyaksikan kegembiran anak-anak usia Sekolah Dasar (SD) kelas 3 (tiga) sampai 6 (enam) itu bermain bola.
Kadang saya juga ikut menyaksikan langsung, sambil mengasuh putra balita saya, ikut bermain di kuburan.
Menyaksikan mereka bermain bola di kuburan, mengingatkan masa kecil saya. Dulu ketika di kampung, kami pun bermain bola di tengah lahan pemakaman umum di desa yang masih kosong. Saat ini, lahan pemakaman di desa kami tersebut telah terisi penuh kuburan warga.
Konon kata para pakar, usia mereka adalah usia gold age, usia emas untuk mengembangkan kreatifitas dan kecerdasan. Sarana bermain dan ruang terbuka untuk berinteraksi diantara mereka menjadi salah satu faktor pendukung perkembangan mereka.
Di kuburan yang jadi lapangan bola mini itu, anak-anak itu betul-betul menjadi diri mereka sendiri. Hidup dalam dunia anak-anak yang penuh dengan keceriaan, bermain dan bersenda gurau. Juga kadang terkena bully diantara mereka sendiri.
Di rumah, semoga mereka dipenuhi kasih sayang dan perhatian orang tua. Sebab di sekolah, mereka dibayangi hantu bullying, kekerasan seksual dan intoleransi. Mereka rawan dan rentan menjadi korban bullying. Saya tak tega dan tak sanggup melihat, jika ada kiriman tayangan di media sosial terkait perlakuan bully yang marak terjadi dilembaga pendidikan.
Laman Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA), mencatat bahwa sepanjang tahun 2024 (goodstats.id), telah terjadi 10.592 kasus kekerasan terhadap anak. Jumlah korbannya mencapai 11 ribu anak, terdiri atas 3.376 laki-laki dan 8.329 perempuan.
Jawa Barat mencatatkan jumlah kasus tertinggi, totalnya mencapai 1.065 kasus, disusul Jawa Timur dengan 902 kasus dan Jawa Tengah dengan 747 kasus. Angka tersebut mengalami tren peningkatan signifikan.
Coba saja tengok, data Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), tahun 2023 terdapat 3.547 aduan kasus kekerasan terhadap anak. Sementara menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dari Januari sampai Agustus 2023, terdapat 2.355 kasus pelanggaran terhadap pelindungan anak.
Dari jumlah tersebut, 861 kasus terjadi di lingkup satuan pendidikan. Dengan perincian, anak sebagai korban dari kasus kekerasan seksual sebanyak 487 kasus, korban kekerasan fisik dan/atau psikis 236 kasus, korban bullying 87 kasus, korban pemenuhan fasilitas pendidikan 27 kasus, korban kebijakan 24 kasus.
Sementara Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Pelindungan Anak (Kementerian PPPA) menyebutkan bahwa pada tahun 2023, telah terjadi 2.325 kasus kekerasan fisik terhadap anak.
Tiga dosa besar Pendidikan menjadi hantu yang belum betul-betul dienyahkan oleh Menteri Pendidikan era Jokowi dan sebelumnya. Pun belum menjadi perhatian serius Pak Menteri Mu’thi.
“Program deep learningnya jangan sampai melupakan pertobatan tiga dosa besar pendidikan, Pak Prof. Korbannya selalu naik signifikan, setiap tahun”. (Kang Marbawi, 141224)