Opini

Mendefinisikan Pengetahuan

opini

Oleh: Muhammad Sazali, Akhmad Syukur Ramadhan, Efraim Jesse

Magister Pendidikan Matematika Universitas Pendidikan Indonesia

Siapapun yang ingin mendefinisikan apa itu pengetahuan atau ingin mengklaim sesuatu sebagai sebuah pengetahuan, maka pertanyaan besarnya adalah bagaimana untuk memulainya ? Dalam sebuah kasus, seorang dokter bisa mendiagnosa penyakit pada pasien setelah melakukan beberapa pemeriksaan. Atau contoh lain, misalnya Jesse menjadi saksi dalam sebuah persidangan atas kasus pembunuhan yang kebetulan saat itu dia sedang berada di lokasi kejadian. Jesse dapat mendukung atau membantah keputusan Hakim yang diberikan kepada terdakwa setelah menyaksikan kejadian tersebut secara jelas.

Paradigma yang terbentuk adalah kita menentukan hal-hal umum yang terdapat pada kasus tersebut untuk memahami apa itu pengetahuan. Namun, masalahnya adalah jika kita belum tau apa itu pengetahuan lalu bagaimana kita dapat menentukan kasus-kasus pengetahuan dengan benar ? Bagaimana karakteristik atau kriteria penentunya ? Apakah seseorang bisa dengan mudah mengetahui kriteria pengetahuan tanpa mendefinisikan terlebih dahulu apa itu pengetahuan ?. Di sisi lain muncul pula pertanyaan apakah seseorang benar-benar dapat mendefinisikan pengetahuan dengan jelas tanpa memberikan kasus-kasus relevan ? Kita seakan dihadapi dengan lingkaran masalah yang disebut sebagai masalah kriteria dalam mendefinisikan pengetahuan.

Dalam mendefinisikan pengetahuan, secara umum para filsuf menyatakan bahwa setidaknya kita sudah mengetahui atau setidaknya mampu mengidentifikasi apa itu kriteria pengetahuan kemudian memeriksa apakah kita memiliki pengetahuan atau tidak. Sikap seperti ini disebut sebagai Methodism. Salah satu filsuf terkenal dalam pandangan Methodism adalah Rene Descartes (1596-1650) yang berasal dari Perancis. Di sisi lain, seorang filsuf Amerika bernama Roderick Chisholm (1916–1999) berpendapat bahwa ketika seseorang ingin mendefinsikan pengetahuan, maka setidaknya ia harus mampu mengidentifikasi contoh-contoh relevan dengan benar kemudian dari dasar tersebut menentukan kriteria dari pengetahuan. 

Cara pandang ini disebut sebagai Particularism. Kita bisa mendukung atau menentang kedua pendekatan ini karna tentunya mereka memiliki cara yang berbeda dalam membantu kita untuk mendefinisikan pengetahuan. Salah satunya adalah dengan memilih Particularism maka setidaknya lebih masuk akal bahwa kita terlebih dahulu mengidentifikasi kasus-kasus yang dianggap relevan dan kemudian menentukan kriteria dari pengetahuan.

Sedangkan dengan menganut pada Methodism artinya kita telah menghindari sebuah kekhawatiran bahwa kita tidak mengetahui apapun sama sekali. 
Sesuatu yang kita yakini benar dan memang benar belum cukup dikatakan bahwa itu sebagai pengetahuan.

Ada bagian yang menguatkan sesuatu itu untuk dapat dikatakan sebagai pengetahuan, yakni pembenaran dari sesuatu yang diyakini benar tersebut. Sebagai contoh, misalkan ada suatu kompetisi cabang olahraga atletik nomor lari sprint. Kompetisi tersebut dimenangkan oleh seorang pelari bernama Untung. 

Misalkan ada dua orang yang mengamati jalannya kompetisi tersebut, sebut saja si A dan si B. Si A meyakini bahwa seseorang bernama Untung tersebut akan memenangkan perlombaan tersebut dikarenakan namanya. Di sisi lain, si B mengatakan bahwa Untung memenangkan perlombaan tersebut karena si B mengetahui betapa kerasnya si Untung berlatih dalam mempersiapkan kompetisi tersebut. Sesuatu yang lebih dari si B adalah bagaimana dia dalam memberikan alasan yang baik untuk keyakinannya, dan inilah yang disebut sebagai pembenaran. Oleh karena itu, pengetahuan itu adalah sesuatu yang benar, diyakini dan dapat dibenarkan, namun bukan sekedar kebetulan.

Bagaimana bila pembenaran yang kita miliki tampak begitu nyata tanpa menyadari bahwa itu hanyalah kebetulan? Contohnya, bila suatu saat kita ingin mengetahui pukul berapakah saat ini, kemudian kita melihat ke jam yang berada di dinding. Tampak jam tersebut telah menunjukkan waktu yang tepat, misal jam 08.00. Namun, tanpa sadar bahwa jam tersebut telah mati tepat 24 jam yang lalu. Ini mengindikasikan bahwa jam yang digunakan sebagai pembenaran atas keyakinan yang benar bahwa saat ini pukul 08.00 ternyata hanya kebetulan belaka.

Kasus serupa semacam ini lah yang diutarakan oleh tokoh filsuf bernama Edmund Gettier, yang pada akhirnya kasus semacam ini disebut dengan Gettier Cases atau kasus Gettier.

Tidak ada cara yang mudah untuk menjawab kasus Gettier, dan sejak makalahnya diterbitkan pada tahun 1963, berbagai teori pengetahuan telah dikembangkan untuk memberikan penjelasan tentang pengetahuan yang tidak dapat dibuktikan oleh Edmund Gettier. Dalam definisi tradisional, pengetahuan dianggap sebagai keyakinan yang benar dan dapat dibenarkan.

Namun Gettier menekankan bahwa meskipun seseorang memiliki keyakinan yang benar dan dapat dibenarkan, hal itu tidak berarti mereka memiliki pengetahuan. Hal ini serupa dengan kasus orang yang melihat jam yang berhenti dan kebetulan melihat waktu yang “benar”, atau kasus seorang petani yang membentuk keyakinan bahwa ada seekor domba di ladang dengan melihat seekor anjing berbulu lebat yang kebetulan terlihat seperti domba. Namun, ternyata pada saat itu memang ada seekor domba di ladang yang berdiri di belakang anjing tersebut dan karenanya keyakinan sang petani dikatakan benar.

Para filsuf pada masa itu menyadari bahwa kasus Gettier tidak akan mudah untuk dipecahkan, sehingga perlombaan dibuat untuk memecahkan masalah tersebut. Usaha orang-orang untuk menyelesaikan kasus Gettier pada akhirnya memunculkan banyak teori baru. Sebagian besar teori-teori ini berpendapat bahwa untuk benar-benar disebut pengetahuan, suatu keyakinan  tidak hanya harus benar dan dapat dibenarkan, melainkan juga harus dihasilkan dari proses yang “benar” atau bebas dari keanehan dunia yang menyesatkan . Seperti halnya kasus sebelumnya tentang seseorang yang melihat jam dinding dan membentuk keyakinan tentang waktu, tapi ternyata jam itu telah berhenti 24 jam sebelumnya, maka orang itu tidak dapat dikatakan bahwa dia mempunyai pengetahuan, karena semua itu hanyalah sesuatu yang diperoleh dengan kebetulan, dan bukan dengan cara yang memang benar-benar dapat diandalkan.

Jika sekilas membaca studi kasusnya, memang tampaknya kasus Gettier ini membingungkan, ditambah lagi dengan pertanyaan-pertanyaan yang muncul. Jadi, apa yang bisa kita peroleh dari kasus Gettier ini? Pemahaman tentang pengetahuan itu sendiri jauh lebih rumit daripada sekadar keyakinan yang benar dan dibenarkan. Kita tidak bisa hanya bergantung saja pada keyakinan yang kita anggap benar, melainkan dunia juga harus bekerja "dengan cara yang benar" agar keyakinan tersebut layak disebut sebagai pengetahuan. 

Masalah utama yang kita hadapi adalah bahwa kriteria untuk menentukan apa itu pengetahuan jauh dari sederhana dan jelas, dan oleh karena itu kita bergantung pada kriteria yang mengacu pada contoh-contoh pengetahuan yang sebenarnya. Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa standar-standar tersebut dapat ditetapkan tanpa pengetahuan. Namun kesimpulan ini bermata dua. Sebab, jika pengetahuan memang merupakan sebuah konsep yang kompleks, bagaimana kita dapat mengidentifikasi contoh-contoh pengetahuan dengan benar tanpa mengetahui terlebih dahulu apa kriteria pengetahuan tersebut? Sejak awal proyek epistemologis, kita dihadapkan dengan teka-teki yang dalam dan tampaknya sulit dipecahkan, yang tampaknya merusak prospek kita untuk membuat kemajuan apa pun di bidang ini.(*)

Tag :
Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua