Opini

Mengenal Tahap Perkembangan Psikososial dan Penerapannya Dalam Pendidikan Anak

Pendidikan Anak

Oleh: Muhamad Asep Ridwan (2308301)

 

S2 Pendidikan Matematika

 

Universitas Pendidikan Indonesia

Dalam proses perkembangan manusia banyak sekali faktor yang mempengaruhi sifat, kepribadian, dan karakter setiap orang. Itulah mengapa setiap orang itu unik, karena mereka memiliki proses perkembangan yang berbeda-beda dalam hidupnya. Pada akhirnya setiap orang akan memiliki karakter yang khas dan memiliki perannya masing-masing dalam masyarakat. Para ahli psikologi meneliti tentang perkembangan manusia tersebut. Kemudian muncul lah berbagai teori perkembangan, salah satunya adalah yang dikemukakan oleh Erikson (1902-1994) tentang Teori Psikososial, yaitu teori yang membahas tahap perkembangan kepribadian manusia dari mulai 0 tahun sampai dengan usia lanjut. 

Dalam teori psikososialnya Erikson, ada delapan tahap perkembangan kepribadian manusia yang dijelaskan. Yaitu sebagai berikut:

Tahap pertama, yaitu dimulai dari usia 0-1 tahun. Pada tahap ini manusia yang masih bayi itu akan belajar untuk percaya atau tidak percaya pada orang lain. Oleh karena itu terkadang seorang bayi mau digendong oleh ibunya, namun akan menangis ketika digendong oleh orang lain. Hal ini menandakan bahwa bayi tersebut memiliki kepercayaan dan ketidakpercayaan terhadap seseorang. 

Tahap kedua, yaitu dimulai pada usia 1-3 tahun. Pada tahap ini anak akan belajar melakukan berbagai hal secara mandiri dengan penuh percaya diri. Sehingga sangat penting bagi orang tua untuk membiarkan anak melakukan apa saja dan jangan melarangnya, cukup mengawasinya agar tidak terjadi sesuatu yang berbahaya. Sebab jika pada tahap ini anak banyak dilarang, maka akan membuat kepribadiannya nanti cenderung bergantung pada orang lain. Selain itu juga bisa menyebabkan anak menjadi pribadi yang ragu-ragu dan malu-malu dalam melakukan berbagai hal.

Tahap ketiga, yaitu pada saat usia 3-6 tahun. Pada tahap ini anak akan semakin inisiatif melakukan sesuatu berdasarkan pemikirannya sendiri yang dipengaruhi oleh interaksi sosial. Namun jika pada tahap ini anak tidak diberi kesempatan untuk berinteraksi, maka akibatnya anak akan memiliki pribadi yang mudah merasa bersalah dan ragu terhadap kemampuannya sendiri. Sehingga yang harus dilakukan orang tua terhadap anaknya pada tahap ini adalah sering mengajaknya berinteraksi dan beraktivitas bersama.

Tahap keempat, yaitu ketika usia 6-12 tahun. Pada tahap ini anak harus mulai mempelajari keterampilan khusus karena pada tahap ini anak mulai membandingkan dirinya dengan orang lain. Sehingga mereka harus memiliki sesuatu kompetensi yang bisa membuat mereka tetap percaya diri dengan dirinya sendiri karena memiliki suatu kemampuan. Biarkan mereka mengeksplorasi berbagai kemampuan dirinya dan jangan dibatasi. Jika pada tahap ini orang tua sering membatasi kegiatan anaknya, maka bisa menimbulkan rasa rendah diri (inferior).

Tahap kelima, yaitu saat usia 12-18 tahun. Pada tahap ini anak akan mulai mencari identitas dan perannya dalam kehidupan. Mereka akan mulai mencari tahu apa yang menjadi hobi dan keahlian mereka. Apa yang mereka sukai dan tidak sukai, apa yang mereka bisa dan tidak bisa, dll. Namun jika pada tahap ini mereka gagal menemukan jati diri, maka akibatnya mereka akan mengalami quarter life crisis dikemudian hari. Sehingga pada tahap ini penting bagi orang tua untuk mengarahkan anaknya sesuai bakat yang mereka miliki, agar anak jadi lebih mudah dalam menemukan jati dirinya.

Tahap keenam, yaitu saat usia 18-30 tahun. Pada tahap ini, konflik kepribadian seseorang akan lebih berfokus pada hubungan sosial dengan pihak selain keluarga dalam membangun sebuah komitmen jangka panjang. Saat seseorang gagal dalam menjalin hubungan di masa usia tersebut, maka bisa menimbulkan perasaan terisolasi, kesepian, dan juga depresi. Sehingga sangat penting di tahap ini untuk terus mencoba membangun hubungan dengan siapapun. Mencari teman sebanyak-banyaknya dan menjaga pertemanan tersebut dengan sebaik-baiknya.

Tahap ketujuh, yaitu saat usia 30-64 tahun. Pada tahap ini seseorang akan cenderung memiliki keinginan untuk bisa berkontribusi terhadap lingkungannya dan juga masyarakat luas. Tapi ketika keinginan itu tidak tersalurkan, maka bisa berdampak pribadinya akan merasa stagnan dan tidak produktif dalam menjalani kehidupan. Sehingga bisa menimbulkan semangat berjuang hidup yang rendah. Bahkan bisa menimbulkan rasa ingin mengakhiri kehidupan. Makannya sangat penting untuk kita tetap bisa merasa berguna dan penting untuk tetap hidup.

Tahap kedelapan atau tahap terakhir, yaitu saat usia 65 tahun keatas. Pada tahap ini individu akan mulai merenungi kehidupannya selama ini. Jika mereka merasa telah menjalani kehidupan dengan baik, maka mereka akan menghadapi masa tua dengan penuh perasaan bangga dan puas. Namun ketika mereka merasa banyak melakukan hal buruk dalam hidupnya, maka mereka akan menghadapi masa tua dengan penuh penyesalan dan keputusasaan. Sehingga tahap ini sangat dipengaruhi oleh tahap-tahap sebelumnya. Oleh sebab itu penting sekali untuk bisa memaksimalkan dan menjalani tahap-tahap sebelumnya dengan sangat baik.

Itulah tahapan perkembangan kepribadian menurut teori psikososial yang dikemukakan oleh Erikson. Selanjutnya kita akan coba hubungkan teori tersebut dengan pendidikan agar bisa memaksimalkan proses pembelajaran dan mencapai tujuan pembelajaran dengan efektif.

Dalam dunia pendidikan khusus sekolah, ada begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembelajaran. Namun yang paling berpengaruh adalah faktor dari dalam diri peserta didik. Jika peserta didik nya memiliki tekad dan kesungguhan untuk belajar, maka apapun hambatan yang dialami pasti akan bisa teratasi dan tujuan pembelajaran bisa terpenuhi. Oleh karena itu dengan menerapkan teori psikososial, maka ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh guru untuk mengatasi kepribadian peserta didik agar bisa memiliki keinginan dan tekad yang kuat untuk belajar. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa dilakukan oleh guru:

1. Guru lewat teori psikososial bisa mengidentifikasi hambatan dalam diri peserta didik yang mengganggu proses pembelajaran

2. Kemudian setelah mengidentifikasi pribadi setiap peserta didik, maka guru bisa mencoba berbaur dan mendekatkan diri dengan

        peserta  didik

3. Setelah peserta didik jadi lebih terbuka pada guru, maka guru bisa perlahan mengarahkan peserta didik untuk sadar pentingnya belajar

        sehingga menimbulkan tekad untuk belajar

4. Lalu guru bisa mencoba menyusun pembelajaran yang memicu keinginan setiap peserta didik untuk suka belajar

5. Jika peserta didik sudah suka belajar, maka guru hanya tinggal mengkondisikan keadaan kelas yang mendukung proses pembelajaran.

Jika langkah-langkah diatas bisa di implementasikan guru dengan baik, maka kemungkinan besar akan membuat proses pembelajaran yang lebih efektif. Sehingga tujuan pembelajaran bisa tercapai dan pendidikan di Indonesia bisa menghasilkan gnerasi emas penerus bangsa.

 

 

 

Berita Terkait