Opini

Eksistensi Budaya Batak Perantauan

Eksistensi Budaya Batak Perantauan

(Studi Kasus Masyarakat Batak Perantauan di Kota Bandung)

Oleh: Damra Ali Sitanggang

Tugas Mata Kuliah: Filsafat Ilmu

 

Merantau, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sebuah kata kerja yang menggambarkan tindakan pergi ke negeri lain, meninggalkan kampung halaman, atau berlayar melalui sungai dan sejenisnya. Menurut Gusti Asnan (2005), merantau dipahami sebagai tindakan meninggalkan kampung halaman untuk berbagai keperluan yang dipengaruhi oleh beragam faktor, termasuk perubahan atau transformasi pemikiran dari satu kondisi ke kondisi lainnya. Banyak hal yang mendorong seseorang untuk meninggalkan tempat asalnya dan berpindah ke tempat lain, seperti faktor tradisi atau budaya suatu kelompok etnis, alasan ekonomi, pendidikan, atau sekadar untuk memperoleh pengalaman yang lebih luas. 

Merantau adalah sebuah tradisi yang telah berlangsung sejak lama di masyarakat Indonesia. Aktivitas merantau hingga kini masih dipercaya oleh banyak orang untuk membentuk karakter seseorang menjadi dewasa. Tradisi ini juga melibatkan berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia. Istilah “suku” mengacu pada kelompok orang dalam keluarga yang memiliki keturunan yang sama atau sebagai bagian dari suatu bangsa. Keanekaragaman budaya dan tradisi Indonesia mencakup seluruh wilayah dari Sabang hingga Merauke. Budaya berkembang dari kelompok-kelompok yang terorganisir dengan tujuan, keyakinan, dan nilai-nilai bersama. Kebudayaan muncul karena kelompok-kelompok ini menetapkan batasan atau norma-norma yang mengarahkan kehidupan mereka. Salah satu daerah yang mencerminkan keberagaman suku bangsa di Indonesia adalah suku Batak, yang mendiami sebagian besar wilayah Provinsi Sumatera Utara. 

Budaya Batak memiliki banyak keunikan mulai dari bahasa, sistem perkawinan dan kekerabatan, hingga falsafah hidup mereka yang sangat dijunjung tinggi, yaitu Dalihan Na Tolu. Masyarakat Batak selalu dapat menyesuaikan diri meskipun berada jauh dari kampung halaman dengan budaya dan tradisi yang berbeda. Masyarakat Batak tetap mempertahankan tradisi mereka dan menggunakan simbol-simbol yang menunjukkan keberadaan (eksistensi) mereka dalam setiap aktivitas.

Bagi mereka, memahami eksistensi budaya Batak di perantauan sangatlah penting karena hal ini dapat membantu masyarakat Batak menghargai dan memahami keragaman budaya Indonesia. Selain itu, pemahaman ini juga penting bagi masyarakat Batak itu sendiri karena membantu mereka untuk menjaga dan melestarikan budaya mereka meskipun lingkungan atau daerah yang mereka tempati sekarang berbeda dengan lingkungan saat berada di kampung halaman sendiri. 

Di daerah perantauan seperti di Bandung, masyarakat Batak sangat mempertahankan tradisi mereka termasuk tradisi perkawinan dan kematian, struktur kekerabatan, dan filosofi hidup mereka. Meskipun mereka berada di perantauan yang berbeda dari kampung halaman, mereka tetap menghargai budaya lokal setempat. Untuk mempertahankan eksistensinya masyarakat Batak terus mengadakan perkumpulan (punguan), melakukan tradisi yang masih menggunakan elemen Dalihan Na Tolu, dan tetap memprioritaskan tujuan hidup mereka saat berada di perantauan. Masyarakat Batak hidup rukun dan memiliki keragaman tersendiri ketika tinggal di suatu tempat.

Batak, sebagai suku yang sebagian besar tinggal di wilayah Sumatera Utara, diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai petualang atau pengembara. Hal ini tercermin dalam kebiasaan suku Batak yang sering berpindah dari tempat kelahiran mereka (merantau) ke daerah-daerah lain. Batak juga merujuk pada kelompok atau keturunan nenek moyang yang menetap di Sumatera Utara dan memiliki kecenderungan untuk menjelajah. Nama "suku Batak" bukan hanya diberikan karena tradisi menjelajah mereka, tetapi juga karena orang Batak dikenal sebagai individu yang penuh ambisi dan pantang menyerah.

Pram (2013), dalam bukunya "Suku Bangsa Dunia dan Kebudayaannya", menyatakan bahwa suku Batak memiliki beberapa keunikan dan ciri khas budaya. Pertama, tradisi Mangulosi, yaitu mengalungkan kain ulos ke pundak seseorang, memiliki makna filosofis sebagai pemberian perlindungan dari segala gangguan. Kedua, marga atau keluarga besar berfungsi sebagai identitas asal-usul atau keturunan seseorang. Ashmarita (2022) menjelaskan bahwa marga adalah tanda pengenal bagi Orang Batak, tanpa marga seseorang tidak dapat dianggap sebagai Orang Batak. Vergouwen dalam Ashmarita (2004) menambahkan bahwa sistem kekerabatan Batak bersifat patrilineal, mengikuti garis keturunan ayah, dan terdiri dari turunan-turunan marga menurut garis laki-laki yang membentuk suatu kelompok kekerabatan. Suku Batak terdiri dari enam sub-suku atau puak, yaitu Batak Karo, Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Pakpak, Batak Angkola, dan Batak Simalungun.

Orang Batak merupakan suku ketiga terbesar di Kota Bandung. Mereka selalu menjaga dan memelihara tradisi budaya mereka, tidak peduli di mana mereka tinggal. Mereka percaya bahwa adat dan budaya Batak memiliki nilai-nilai sakral, yang membuat setiap aktivitas mereka tampak unik. Berikut adalah bagaimana mereka mempertahankan identitas etnik mereka. 

Motivasi Merantau 

Merantau merupakan salah satu cara bagi Orang Batak untuk mengembangkan kemandirian dan keberanian. Aktivitas ini memerlukan tekad yang kuat, motivasi, dan dukungan yang cukup. Dengan merantau, mereka harus berada jauh dari orang tua dan keluarga, menghadapi lingkungan yang baru, dan berusaha melakukan segala sesuatu secara mandiri. Namun, tekad untuk meraih kesuksesan dan membahagiakan kelurga akan meguatkan hati setiap Orang Batak yang berada di perantauan. Inilah yang menjadikan Orang Batak perantauan seringkali memiliki mental yang kuat dan kemandirian tinggi. Bagi Orang Batak, merantau bukan hanya tentang berusaha meningkatkan kualitas hidup mereka, tetapi juga tentang suatu proses perkembangan psikologis dan mengubah persefektif dalam memandang kehidupan. Selama merantau Orang Batak akan berinteraksi dengan beragam dari berbagai daerah yang berbeda. Melalui pengalaman-pengalaman yang diperoleh, Orang Batak perantauan akan mendapatkan banyak pelajaran hidup yang berharga untuk menjalani kehidupan.

Marga sebagai Identitas Utamanya

Marga adalah elemen penting dalam identitas Orang Batak. Suku ini mengadopsi sistem kekerabatan patrilineal, di mana garis keturunan diturunkan melalui laki-laki. Sistem ini tetap berlaku di mana pun mereka berada, dan tidak berubah meskipun ada pengaruh dari budaya lain. Bagi Orang Batak, marga hanya diberikan kepada anak laki-laki dan dijaga sepanjang hidup. Marga ini diwariskan oleh leluhur Orang Batak dan harus dipertahankan oleh generasi berikutnya agar tidak punah. 

Salah satu tujuan hidup Orang Batak adalah "anak ki do hamoraon di au" yang berarti anak merupakan harta berharga yang tak ternilai. Dalam budaya Batak, anak-anak dianggap sebagai berkah utama, terutama dalam konteks pewarisan garis keturunan. Oleh karena itu, konsep "semakin banyak anak, semakin banyak rejeki" sangat populer, terutama bagi keluarga dengan banyak anak laki-laki. Namun, bagi masyarakat Batak yang tinggal di Bandung, jumlah dan jenis kelamin anak bukan lagi menjadi tolak ukur. Yang lebih diutamakan adalah keberhasilan anak-anak mereka dalam pendidikan dan karir. Hal ini menunjukkan bahwa nilai dan prioritas dapat berubah sesuai dengan lingkungan dan kondisi sosial. Setiap Orang Batak harus memahami tarombo mereka, yaitu silsilah marga Batak. Semua keturunan Batak, terutama yang tinggal di Bandung, harus mengetahui tarombo mereka karena ini memberikan pemahaman tentang sistem kekerabatan mereka. Berbeda dengan suku lain, sangat penting bagi Orang Batak untuk mengetahui tarombo marga mereka dan leluhur mereka. Mereka harus mengingat asal-usul marga mereka.

Memperaktekkan Dalihan Na Tolu disetiap Aktivitasnya

Orang Batak yang tinggal di Bandung selalu menjadikan dalihan na tolu sebagai pedoman hidup mereka. Dalihan na tolu memegang peran penting dalam kehidupan masyarakat Batak, terutama yang berada di Bandung. Hak dan tanggung jawab individu atau kelompok ditetapkan melalui dalihan na tolu. Mengingat jumlah Orang Batak yang cukup besar di Bandung, hal ini membuat ikatan kekeluargaan mereka menjadi sangat erat, terutama bagi mereka yang tergabung dalam suatu komunitas.

Elemen-elemen dalam dalihan na tolu meliputi hula-hula (keluarga dari pihak istri), dongan tubu (keluarga se-marga), dan boru (keluarga dari anak perempuan). Ketiga elemen ini harus berfungsi secara bersamaan dan tidak boleh terpisah. Orang Batak meyakini bahwa kehidupan mereka akan sejahtera jika ketiga elemen dalam dalihan na tolu ini bersatu. 

Pungguan Marga dan Dongan Sabutuha

Pungguan Marga dan Dongan Sabutuha merupakan elemen yang penting dalam sistem sosial Orang Batak di Bandung. Pungguan marga, yang telah ada sejak lama dan diatur dalam dalihan na tolu, mengarahkan Orang Batak di Bandung untuk mengidentifikasi diri mereka berdasarkan marga mereka. Pungguan ini dianggap sebagai komunitas tempat mereka bisa berkumpul untuk mempererat hubungan kekerabatan. Namun, setiap anggota harus patuh pada aturan yang telah ditetapkan dalam pungguan. Semua marga telah diorganisir berdasarkan garis keturunan dan diatur dalam pungguan marga untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang solid. Semua anggota marga dan saudara se-marga dikumpulkan dalam satu pungguan marga.

Forum Batak Intelektual Provinsi Jawa Barat

Forum Batak Intelektual Provinsi Jawa Barat (FBI) berfungsi sebagai tempat bagi seluruh komunitas Batak untuk berkumpul dan mengekspresikan identitas mereka di Bandung. FBI berkomitmen untuk memadukan dua budaya dalam konteks budaya Sunda, serta bekerja sama untuk memperkuat Jawa Barat sebagai entitas yang utuh dan terpadu, tidak hanya di wilayah Jawa Barat tetapi juga di seluruh Indonesia. Sebagai bukti kelangsungan kegiatan forum ini dalam memelihara harmoni antar suku, mereka baru-baru ini mengangkat ketua umum FBI yang baru pada tahun 2021. Dengan kehadiran forum ini, diharapkan generasi Batak di Bandung tetap menghargai akar budaya dan identitas asli mereka.

 

Referensi:

 

Gusti Asnan, Adat Minangkabau dan Merantau, (Jakarta, Balai Pustaka, 2005).

Pram, Suku Bangsa Dunia & Kebudayaannya, (Jakarta, Cerdas Interaktif, 2013).

Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, (Samarinda, LKiS, 2004).

Ashmarita, Orang Batak Mempertahankan Identitas Etnisnya, (Indonesia Annual Conference, Vol. 1, 2022).

Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua