Opini

Etos Kerja Dalam Pandangan Islam

Etos Kerja Dalam Pandangan Islam

Oleh ;

Karyono Hafidzahullah, S.Si, M.Si,

Alumni Fak Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta, 

S2 Ilmu Lingkungan UNS, Konsultan, Researcher, Trainer dan 

Pimpinan PPTQ LAUHUL MAHFUZH di Wonosari, Klaten, Jawa Tengah

Islam menempatkan bekerja sebagai ibadah untuk mencari rezeki dari Allah guna mencukupi kebutuhan hidupnya. Bekerja untuk mendapatkan rezeki yang halalan thayiban termasuk jihad di jalan Allah SWT yang nilainya sejajar dengan melaksanakan rukun Islam. Berdasarkan kamus Al-Ma'ani, halal berarti sah menurut hukum, yang dibolehkan. Sedangkan thayyiban berasal dari kata thayyib yang artinya baik. Artinya: "Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan”. Pada dasarnya, manusia harus berjuang dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. manusia tidak akan mampu mencapai apa yang dia inginkan atau bahkan tidak akan mampu bertahan hidup tanpa adanya usaha dan kerja keras. Bekerja keras merupakan perkara mendasar yang telah disyariatkan di dalam islam. Bekerja keras hukumnya wajib bagi setiap muslim. Bekerja keras sendiri artinya mengusahakan suatu pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan optimal diiringi dengan sikap Tawakal kepada Allah Ta’ala karena pada hakikatnya kerja keras merupakan fitrah yang sudah ditanamkan kepada setiap makhluk hidup. Sebagaimana yang disabdakan oleh Baginda Muhammad Nabi Shallallahu alaihi wasallam:

“Seandainya kalian bersungguh-sungguh bertawakal kepada Allah, sungguh Allah akan memberi kalian rezeki sebagaimana Allah memberi rezeki kepada seekor burung yang pergi dalam keadaan lapar dan kembali dalam keadaan kenyang “.

 

Menurut fatwa Majelis Ulama Indonesia bahwa etos kerja menurut Islam diartikan sebagai tingkah laku, kepribadian yang menumbuhkan keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal saleh. Sehingga seseorang bekerja dengan didasari pada prinsip-prinsip keimanan bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim, melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang didera kerinduan untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya, menampilkan dirinya sebagai manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian kepada Allah SWT. Seorang muslim yang memiliki etos kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang pekerjaan merupakan bagian amanah dari Allah. Sehingga dalam Islam, semangat kerja tidak hanya untuk meraih harta tetapi juga meraih ridha Allah SWT.

Menurut Nurcholish Madjid, etos kerja dalam pandangan Islam, yakni niat (komitmen) sebagai dasar nilai kerja; konsep ihsān dalam kerja; kerja sebagai bentuk keberadaan manusia; dan seorang Muslim yang kuat lebih disukai Allah SWT. Niat (komitmen) sebagai dasar nilai kerja. Berangkat dari kata niat ini seperti yang telah disabdakan oleh Rasulullah saw, yang intinya adalah nilai dari setiap pekerjaan itu bergantung pada niat si pekerja atau pelaku karena niat merupakan ranah pribadi. Jika tujuan dari niat tersebut baik misalnya demi mendapatkan ridhā Allah SWT, maka hasilnya juga akan ikut baik. Selain bergantung pada niat dan komitmen yang baik, maka sebisa mungkin untuk menghindari hal-hal yang dapat membatalkan niat baik tersebut, misalnya dengan menghindar dari perbuatan yang tercela seperti mengumpat, sikap/perilaku yang menyakitkan hati dan lain sebagainya. Hal-hal demikian dapat menyebabkan terkikisnya nilai-nilai kebaikan yang telah diusahakan oleh niat baik tadi karena kurangnya motivasi si pekerja. Konsep ihsān dalam kerja ; mengarah kepada optimalisasi nilai dan hasil kerja.

Demi mendapatkan ridhā Allah SWT. tentunya pekerjaan yang dilakukan tidak boleh “sembrono” atau acuh tak acuh, sebab tanpa ketulusan atau keikhlasan niat tadi menjadi absurd. Karena makna ihsān sendiri ialah perbuatan itu selalu dilihat oleh Allah ataupun kita dalam bekerja merasakan kehadiran Allah. Kerja sebagai bentuk keberadaan manusia ; maksudnya ialah segala hal yang berkaitan dengan bekerja, amal perbuatan dan sikap kita merupakan bentuk dari keberadaan (mode of existence) manusia. Artinya, manusia ada karena kerja, dan kerja itulah yang membuat atau mengisi eksistensi kemanusiaan. Seorang Muslim yang kuat lebih disukai Allah SWT ; maksudnya ialah sebagai seorang yang beragama Islam dan beriman kepada Allah SWT, manusia tidak hanya dituntut untuk mengejar kebaikan akhirat yang hakiki, tetapi juga dituntut untuk aktif bekerja ketika hidup di dunia ini. Jadi intinya ialah selain berfokus mengejar kebahagiaan di akhirat, kita juga harus bekerja dan mencari rezeki demi menghdiupi kebutuhan kita di dunia.

Etos kerja islami adalah praktek bersikap dan berperilaku yang mencontoh Rasulullah SAW yaitu bersifat : Siddiq (Nabi muhammad SAW selalu berkata dan berbuat jujur), Amanah (Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang sangat dapat dipercaya dalam segala hal apapun yang beliau sampaikan), Tabligh Nabi Muhammad SAW menyampaikan hal baik dan buruk (peringatan) agar umatnya senantiasa berbuat kebaikan dan menjauhi larangan-larangan-Nya, dan Fathonah (Nabi Muhammad SAW sangatlah luar biasa dan cerdas dalam segala hal. Dalam Alquran dan hadis, tidak hanya ditekankan kerja keras, tapi juga diminta untuk cerdas dalam bekerja. Sebagaimana dalam firman-Nya QS Al Qoshsas (77):

وَٱبْتَغِ فِيمَآ ءَاتَىٰكَ ٱللَّهُ ٱلدَّارَ ٱلْءَاخِرَةَ ۖ وَلَا تَنسَ نَصِيبَكَ مِنَ ٱلدُّنْيَا ۖ وَأَحْسِن كَمَآ أَحْسَنَ ٱللَّهُ إِلَيْكَ ۖ وَلَا تَبْغِ ٱلْفَسَادَ فِى ٱلْأَرْضِ ۖ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يُحِبُّ ٱلْمُفْسِدِينَ

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”

Dalam tafsir Al Muyasyar diuraikan bahwa ; carilah pahala negeri akhirat pada apa yang Allah berikan kepadamu berupa harta benda, dengan mengamalkan ketaatan kepada Allah melalui harta itu di dunia ini. Dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia dengan jalan bersenang-senang di dunia ini dengan hal-hal yang halal, tanpa berlebihan. Dan berbuat baiklah kepada orang-orang dengan memberikan sedekah, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu dengan (memberikan) harta yang banyak. Dan janganlah kamu mencari apa yang diharamkan oleh Allah berupa tindakan berbuat kerusakan di muka bumi dan penganiayaan terhadap kaummu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan dan Dia akan membalas mereka atas amal perbuatan buruk mereka.” Dalam Islam, kerja keras dan cerdas juga harus dilandasi oleh niat yang ikhlas karena Allah. Segala aktivitas yang kita lakukan di dunia ini akan menjadi bekal di akhirat. Oleh karena itu, kerja keras dan cerdas harus dilakukan dengan niat yang ikhlas, yaitu untuk mencari rida Allah SWT dan memperoleh keberkahan-Nya

Wujud dari etos kerja yang bersandarkan kepada 4 (empat) sifat suri tauladan Rasulullah SAW adalah syahid. “Sesungguhnya Allah suka kepada hamba yang berkarya dan terampil dan siapa yang bersusah payah mencari nafkah untuk keluarga maka dia serupa dengan seorang mujahid di jalan Allah Azza Wajalla (H.R. Ahmad). Allah juga telah menjanjikan kita mempunyai peluang memperoleh rezeki yang luas asalkan bekerja profesional dan cerdas melalui etos kerja yang tinggi. Islam telah mengajarkan bagaimana mempraktekan etos kerja yang tinggi.

Ada 4 (empat) prinsip etos kerja cerdas yang diajarkan Rasulullah seperti diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam “syu’bul Iman”. Pertama, bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan). Halal dari segi jenis pekerjaan sekaligus cara menjalankannya. Antitesa dari halal adalah haram, yang dalam terminologi fiqih terbagi menjadi ‘haram lighairihi’ dan ‘haram lidzatihi’ (Haram lidzatihi maksudnya hukum asal makanan itu sendiri sudah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadits seperti babi, sedangkan haram lighairihi maksudnya subtansi bendanya halal (tidak haram) namun cara penanganan atau memperolehnya tidak dibenarkan oleh ajaran Islam). Kedua, bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah). Kaum beriman dilarang menjadi benalu bagi orang lain. Rasulullah pernah menegur seorang sahabat yang muda dan kuat tetapi pekerjaannya mengemis. Beliau kemudian bersabda, “Sungguh orang yang mau membawa tali atau kapak kemudian mengambil kayu bakar dan memikulnya di atas punggung lebih baik dari orang yang mengemis kepada orang kaya, diberi atau ditolak” (HR Bukhari dan Muslim). Dengan demikian, setiap pekerjaan asal halal adalah mulia dan terhormat dalam Islam. Lucu jika masih ada orang yang merendahkan jenis pekerjaan tertentu karena dipandang remeh dan hina. Padahal pekerjaan demikian justru lebih mulia dan terhormat di mata Allah ketimbang meminta-minta. Ketiga, bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi). Mencukupi kebutuhan keluarga hukumnya fardlu ain. Tidak dapat diwakilkan, dan menunaikannya termasuk kategori jihad.

Hadis Rasulullah yang cukup populer, “Tidaklah seseorang memperoleh hasil terbaik melebihi yang dihasilkan tangannya. Dan tidaklah sesuatu yang dinafkahkan seseorang kepada diri, keluarga, anak, dan pembantunya kecuali dihitung sebagai sedekah” (HR Ibnu Majah). Tegasnya, seseorang yang memerah keringat dan membanting tulang demi keluarga akan dicintai Allah dan Rasulullah. Ketika berjabat tangan dengan Muadz bin Jabal, Rasulullah bertanya soal tangan Muadz yang kasar. Setelah dijawab bahwa itu akibat setiap hari dipakai bekerja untuk keluarga, Rasulullah memuji tangan Muadz seraya bersabda, “Tangan seperti inilah yang dicintai Allah dan Rasul-Nya”. Keempat, bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi). Islam mendorong kerja keras untuk kebutuhan diri dan keluarga, tetapi Islam melarang kaum beriman bersikap egois. Islam menganjurkan solidaritas sosial, dan mengecam keras sikap tutup mata dan telinga dari jerit tangis lingkungan sekitar. “Hendaklah kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian harta yang Allah telah menjadikanmu berkuasa atasnya.” (Qs Al-Hadid: 7).

Prinsip dari etos kerja adalah ibadah, kerja adalah bagian dari amanah, kerja adalah bagian dari amal saleh dan pekerjaan yang dikerjakan haruslah pekerjaan yang halalan thayiban. Setiap Muslim diharuskan untuk memiliki etos kerja sebagaimana 4 (empat) sifat suri tauladan Rasulullah SAW yaitu Siddiq (selalu berkata dan berbuat jujur), Amanah (dapat dipercaya dalam segala hal apapun), Tabligh (menyampaikan hal baik dan buruk) dan Fathonah (sangatlah luar biasa dan cerdas dalam segala hal). Sehingga karakter etos kerja seorang Muslim harus berprinsip bahwa ; bekerja secara halal (thalaba ad-dunya halalan), bekerja demi menjaga diri supaya tidak menjadi beban hidup orang lain (ta’affufan an al-mas’alah), (fastabiqūl khairāt), bekerja demi mencukupi kebutuhan keluarga (sa’yan ala iyalihi), bekerja untuk meringankan beban hidup tetangga (ta’aththufan ala jarihi) . Wallahu A'lam Bishawab 

Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua