Opini

Pojokan 223: Antri

Kang Marbawi.
Kang Marbawi.

Percis seperti setrikaan, sudah delapan (8) kali saya bulak-balik ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Dan delapan (8) kali juga saya harus bersabar mengantri di anjungan pendaftaran mandiri pasien bersama ratusan pasien lainnya -bahkan bisa jadi ribuan. Seperti pengungsi nunggu jatah makan.  

Ada ketidaksabaran dan ingin cepat-cepat sampai di anjungan. Minimal lima (5) menit untuk satu pasien baru menyelesaikan proses pendaftarannya. Bisa 60 sampai 80 menit, pasien menunggu antrian. Tak heran, kadang ada yang nyerobot antrian dan menimbulkan gangguan. Sebelum dilerai satuan petugas pengamanan (satpam).

Memang soal budaya antri ini, susah menjadi karakter kita. Pendidikan dan orang tua pun kadang tak peduli menekankan pentingnya pendidikan antri dan buang sampah yang baik dan benar. Apalagi perilaku pejabat -juga yang bisa membayar, yang selalu mendapat keistimewaan soal tak perlu antri ini.

Ada tiga-empat orang satpam yang siap membantu pasien yang gagap teknologi, di beberapa anjungan. Mereka telah berdiri sejak anjungan dibuka pagi hari, sekitar jam 06 sampai jam 12 siang, siap membantu pasien.

Ada sekitar 20 anjungan elektronik pendaftaran pasien yang tersedia di loket pendaftaran pasien. Dihadapan anjungan, seolah bertemu penguasa yang menentukan nasib ke mana harus melangkah. Antrian tak hanya di pendaftaran, di poli pun terjadi hal yang sama. Aplikasi RSCMKU menjadi salah satu persyaratan untuk bisa ngantri, nunggu giliran berada di anjungan dan pemeriksaan dokter.

Aplikasi itu cukup lengkap menunya. Paling tidak membantu untuk tidak membuat kepala petugas loket lepas dari lehernya, gara-gara setiap menit harus menoleh pasien yang menanyakan giliran masuk ke ruang pemeriksaan dokter dan antrian obat atau tindakan lainnya.

Mengantri di anjungan mandiri pasien atau dipanggil petugas loket harus dijalani 276.611.134 peserta JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Dimana pun mereka berada, jika mereka berurusan dengan RS. Sebab pemilik JKN tak memiliki previlage seperti pemilik asuransi kesehatan lainnya. Pemilik previlage mendapatkan banyak fasilitas wah sesuai premi yang dibayar atau berstatus penguasa.

Soal antrian di rumah sakit rujukan, perlu dipersiapkan kesabaran dan kekuatan fisik untuk menjalani antrian. Jadi perlu dibisiki para pasien yang penyakit kronis atau cukup serius, untuk bisa menahan sakit barang dua-tiga jam, hingga diambil tindakan.

RSCM memang menjadi RS rujukan nasional. Bisa dibayangkan RS yang berdiri 19 November 1919 itu harus menampung ribuan pasien dari seluruh Indonesia. Untuk segala penyakit pula. Akibat keterbatasan fasilitas RS di daerah yang tak memadai. Pasien berjejal seperti penumpang Kereta Api Indonesia (KAI) sebelum Ignatius Jonan masuk menangani KAI. Meluber hingga ke selasar dengan berbagai posisi.

Ada yang telentang di ranjang pasien, duduk lunglai di kursi roda, termenung, termangu-mangu memandang lalu Lalang orang dengan tatapan kosong dan mengharap belas-kasihan untuk segera ditangani. Tak sedikit yang tak sabar menyuarakan kesakitannya dengan merintih. Untung tidak berteriak seperti para pendemo di gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Suara pendemo dan rintihan pasien sama-sama punya kepentingan. Yang satu menyuarakan ketimpangan sosial-politik, dan yang lain soal protes kesehatan di tubuhnya yang dikorupsi bermacam penyakit. Karena laku hidup tak sehat.

Soal volume rintihan, bergantung penyakit dan usia. Pemilik penyakit berat, biasanya menampakkan wajah pasrah dan menahan sakit, dengan pandangan sayu dan pedih menahan sakit. Sekali terdengar nafas berat dan lenguhan menahan sakit. Yang menyayat hati, adalah mendengar jeritan anak-anak balita menahan sakit. Serta wajah sedih dan kebingungan orang tuanya.

Pandangan sayu, loyo dan kelelahan juga terlihat pada wajah pasien -dan keluarganya dari daerah di luar pulau Jawa atau Jakarta. Menempuh perjalanan jauh dan harus menginap berhari-hari dipenampungan seadanya dengan biaya sendiri, untuk bisa mendapatkan pengobatan di RSCM.

Soal jenis penyakit pun, beraneka rupa. Seperti bermacam flora dan fauna di lautan luas. Letak penyakitnya pun bisa beraneka, mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. Bahkan ada yang nangkring diujung hidung atau dipelupuk mata. Penyakit yang terlihat dan tak terlihat pun tak kurang.

Apakah sudah selesai antrian di anjungan? Oh belum. Pasien juga harus menunggu panggilan dari dokter untuk pemeriksaan atau tindakan. Untuk pengguna JKN, satu kali kedatangan untuk satu kali pemeriksaan atau tindakan. Walau dibutuhkan banyak pemeriksaan atau tindakan, tetap saja harus kembali esok dan esoknya lagi. Pun harus melalui anjungan mandiri pasien untuk daftar di RSCMKU.

Seperti saya, untuk satu kali antrian, hanya untuk satu kali pemeriksaan pada dokter spesialis untuk satu urusan penyakit yang saya derita. Delapan kali saya datang, di delapan hari yang berbeda, maka sudah delapan kali pula pemeriksaan pada dokter spesialis yang berbeda pula.

Mengantri di RSCM, memunculkan kemasygulan dan juga rasa syukur. Masygul, kapan masyarakat tak butuh lama untuk antri di RS? Kapan RS-RS lain punya fasilitas selengkap RSCM atau RS seperti di luar negeri?

Termasuk pertanyaan utopi, kapan presiden atau menteri kesehatan ikut ngantri berobat di RS? Supaya mereka pun merasakan “be’te’”nya mengantri. Sesuatu yang tak mungkin terjadi. Termasuk apakah korupsi akan hilang dimasa pemerintahan baru ini? Sehingga rakyat tak perlu antri di RS.

Pertanyaan itu dibarengi rasa syukur di hati, alhamdulillah keluargaku sehat. Jadi tak perlu mengantri di RS. (Kang Marbawi, 131024)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tag :
Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua