PasundanEkspres - Pada bulan lalu, Nvidia sempat menjadi perusahaan paling bernilai di dunia, mengalahkan Microsoft dan Apple. Lonjakan nilai Nvidia dalam setahun terakhir ini didorong oleh tren AI yang sedang ramai. Tapi, apakah tren ini bakal bertahan lama?
Nvidia dan Microsoft telah terjun ke dunia AI jauh sebelum AI generatif menjadi populer. Microsoft mulai berinvestasi di OpenAI sejak tahun 2019, sementara CEO Nvidia, Jensen Huang, telah lama mendorong pengembangan chip AI.
Hanya beberapa hari setelah Nvidia menjadi perusahaan terbesar di dunia, valuasi mereka turun hingga USD 500 miliar. Saat ini, Nvidia telah turun ke posisi kedua dengan valuasi USD 3 triliun, namun posisi mereka masih di atas Apple. Microsoft kembali menduduki posisi puncak dengan valuasi USD 3,4 triliun.
Sejumlah analis menyamakan tren AI dengan gelembung dot.com pada awal tahun 2000. Analis teknologi Paolo Pescatore menyatakan gelembung AI bakal pecah ketika salah satu perusahaan raksasa gagal menunjukkan pertumbuhan yang berarti. Tapi, ia meyakini hal tersebut tidak akan terjadi dalam waktu dekat.
"Semua orang masih memperebutkan posisi dan semua perusahaan mempertaruhkan strategi mereka pada AI," kata Pescatore, seperti dikutip dari BBC, Rabu (3/7/2024). "Semua pemain meningkatkan aktivitas mereka, meningkatkan pembelanjaan, dan mengklaim kesuksesan awal," tambahnya.
Namun, beberapa investor mulai berhati-hati dalam mendekati perusahaan AI. Apalagi produk AI generatif yang ada pada saat ini banyak diterpa masalah seperti memberikan informasi yang tak akurat, misinformasi, bias, pelanggaran hak cipta, dan yang lainnya.
Ada satu faktor besar yang bisa membuat gelembung AI pecah, yaitu faktor lingkungan dan energi. Studi yang dirilis tahun lalu memprediksi industri AI akan mengonsumsi energi setara dengan negara seukuran Belanda pada tahun 2027 jika pertumbuhannya terus berlanjut seperti sekarang.
Kate Crawford, seorang profesor dari University of Southern California, mengatakan ia sering susah tidur karena mengkhawatirkan jumlah listrik, air, dan energi lainnya yang dibutuhkan untuk menggerakkan AI. Dr. Sasha Luccioni dari perusahaan AI Hugging Face pun mempunyai kekhawatiran yang sama.
"Saat ini, energi terbarukan untuk menggerakkan AI tidak mencukupi - sebagian besar gelembung (AI) tersebut ditenagai minyak dan gas," kata Luccioni. "Sistem AI memberikan tekanan yang besar pada jaringan listrik yang sudah mengalami tekanan yang sangat besar," tambahnya.