Ah, memang enak menjadi pemenang itu. Semua orang memuji, mengelu-elukan, dan mengutamakan. Pemenang punya privilege (hak Istimewa). Apapun yang dimau oleh pemenang, bisa dan boleh. Bahkan bisa jadi aturan pun disesuaikan dengan keinginan pemenang.
Abba, group musik asal Swedia, menyitir pemenang ini dengan judul lagu “The Winner Takes it All” tahun 1974. Lagu ini berhubungan dengan perceraian vokalisnya, Agnetha Faltskog. Sindiran group musik yang digawangi Agnetha, Bjorn Ulvaeus, Benny Andersson dan Anni-Frid Lyngstad, rasanya pas.
Tak mudah untuk jadi pemenang. Perlu persyaratan khusus dan latihan yang cukup lama. Apalagi dalam persoalan ekonomi dan politik. Ada persyaratan istimewa yang harus dimiliki. Sebut saja, harus punya passion, ketabahan, keuletan, jaringan, modal sosial dan kapital yang kuat.
Pembaca boleh menambahkan sesuai dengan pikirannya masing-masing. Termasuk menghalalkan segala cara untuk menjadi pemenang, boleh saja. Ini kan soal tambahan yang mungkin ada dalam pikiran pembaca. Syarat lain jadi pemenang itu harus punya modal, patron atau asobiah. Yang terakhir ini, biasanya yang paling menentukan.
Soal privilege ini memang tak semua orang bisa mendapatkannya. Seolah privilege ini macam wahyu yang tidak sembarang orang bisa dapat. Sebab jika setiap manusia bisa dengan mudah mendapat privilege, apa bedanya, pemenang dengan pecundang.
Seperti peribahasa “ada gula ada semut”, pemenang selalu dikerumuni. Tentu dengan berbagai kepentingan. Sang jawara pun membutuhkan pengikut. Jawara tanpa pengekor, ronin namanya.
Tidak lucu, kalau pemenang, tanpa ada pengiring. Sebab saat ini bukan jaman sahabat nabi. Dimana sahabat yang menjadi khalifah, biasa berjalan kesana kemari, sendiri dan tidak dilayani.
Ada macam-macam pendompleng penguasa. Ada yang sekedar mencari manisnya ceceran kekuasaan. Biasanya model ini pandai menjilat dengan modal asal penguasa senang. Ada model tawar menawar pembagian kekuasaan dengan penguasa, agar semua bisa berjalan tanpa diriwuki. Model pengiring professional pun pasti ada, karena dibutuhkan keahliannya.
Termasuk katagori semut yang mengerubungi gula, adalah para pengusaha. Justru mereka ini, sutrada pembuat dan pencetak para pemenang. Mereka tak membutuhkan kekuasaan secara kasat mata.
Tapi justru, mereka yang memiliki kekuasaan mutlak atas para pemenang. Orang menyebutnya oligarkhi. Ada juga oligarkhi intelektual yang membantu argument para pemenang, untuk berkelit atau membela kebijakan.
Bermacam tujuan pengerubung pemenang ini, salah satu sasarannya adalah mendapatkan privilege turunan dari para pemenang. Privilege dalam berbagai bentuk; kekuasaan turunan, kebijakan yang menguntungkan kelompok, kemudahan dan segala fasilitas lainnya.
Ada juga yang memang murni pengabdian. Entahlah, bergantung kepada laku lampah mereka sendiri dalam melayani rakyat.
Konteks privilege ini kadang bertentangan dengan prinsip pelayanan publik. Sebab pemenang bukan untuk “takes it all”, mengambil semua tanpa kendali. Tetapi justru mewujudkan kepercayaan publik untuk menunjukkan kesetiaan kepada konstitusi, hukum dan prinsip-prinsip etika di atas kepentingan pribadi.
Bisa saja pemenang dan para dayangnya mendapat privilege, asal sesuai ketentuan dan norma yang disepakati. Tidak berlebihan dan tetap sederhana. Privilege ini berkaitan dengan etika.
Dalam bahasa sederhana, soal kepantasan (etik) berbuat, mendapat atau memberi sesuatu yang dilakukan oleh para pemenang/penguasa, juga dayang-dayangnya belum menjadi perhatian etik.
Jadi sudah saatnya, penguasa membuat aturan soal etika pejabat pemerintah atau the office of government ethic (OGE). Agar tak ada pejabatnya yang semena-mena membuat kebijakan, menggunakan fasilitas negara, menginjak harkat kemanusiaan, dan tidak melayani rakyat yang seharusnya dilayani.
Pada dasarnya, penguasa adalah pelayan rakyat. Sudah pasti penguasa dan para pejabat berhadapan dengan konflik kepentingan. Entah kepentingan apa, kapan, dimana dan siapa? Pembaca dan penulis pun punya kepentingan. (Oleh: Kang Marbawi, 221224)