Angka Rp. 500 K (ribu) membuat pusing tujuh keliling O -sebut saja nama teman yang satu ini. Angka itu disodorkan oleh pengurus sekolah kejuruan swasta dimana anaknya sekolah, agar anaknya bisa ikut ujian. Sudah dua bulan dirinya belum bisa memenuhi uang bulanan yang harus disetorkan ke sekolah. Ujungnya, angka itu harus segera dilunasi agar anaknya bisa ikut ujian.
O warga biasa. Tak paham kebijakan subsidi pemerintah untuk semua manusia Indonesia yang bersekolah mulai usia dini hingga menengah atas. Konon ada BOS (bantuan operasional sekolah) dan BOP (bantuan operasioal Pendidikan) untuk anaknya. Totalnya Rp, 1,6 juta yang dikelola sekolah kejuruan persiswa pertahun. Anaknya juga menerima Kartu Indonesia Pintar (KIP). Tapi hanya menerima Rp. 500 ribu. Padahal sesuai Peraturan Sekjen Kemendikbudristek No 14 tahun 2022 tentang petunjuk pelaksanaan Program Indonesia Pintar Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 2022, kelas XI bisa mendapatkan PIP/KIP Rp 1 juta yang diterima langsung siswa pertahun.
Karena nasibnya tak dapat negeri, terpaksa, demi pendidikan anak, O menyekolahkan anaknya di sekolah kejuruan swasta yang dekat dengan rumah. Dan O harus mengikuti persyaratan yang ada di sekolah swasta tersebut. Termasuk membayar uang bulanan yang harus dibayar tepat waktu. Seperti tepatnya jam masuk, istirahat dan jam pulang pabrik disekitar rumah O. Mangkir sedetik saja, bisa kena tegur.
O pusing tujuh keliling. Hasil usaha jualan gorengan tak akan sanggup menanggung tuntutan dari sekolah anaknya, dalam sehari. Angka itu harus dikumpulkan dengan menyisihkan untung jualan gorengan dalam seminggu. Itu pun jika konstan penjualan dan untungnya.
Mungkin O, segelintir dari sekian banyak warga bangsa dan negara Indonesia yang masih tertatih-tatih dalam menyekolahkan anaknya. Kebijakan dana BOS dan BOP, hanya angin lalu yang dirasakan sejuknya. Tapi tak berwujud. Entah kemana, wujudnya menghilang.
O tak berani protes ke sekolah. O bukan politisi, pejabat apalagi penguasa. O tak tahu dan tak bisa mengadukan nasib biaya pendidikan anaknya. Entah kepada siapa?
O tak paham bahwa anggaran pendidikan telah 20%. Dari angka itu, anaknya yang sekolah kejuruan, punya hak Rp 1,6 juta setahun dari BOP/BOS -dikelola sekolah, dan Rp 1 juta dari PIP/KIP yang diterima langsung anaknya. Tapi O hanya tahu menerima Rp. 500 K dana PIP. Katanya, itupun langsung disampaikan ke sekolah dari bank penampung. O pusing, memenuhi Rp 500 K dari dua bulan uang bulanan yang belum dibayarnya.
Pengalaman O ini menjadi bukti, mahalnya biaya pendidikan. Nasib O mempertegas segregasi perbedaan kelas menang atas dan bawah. Anaknya O terancam tidak bisa ikut ujian. Tak ikut ujian, tak mendapat ijazah. Tak punya ijazah, akses terhadap pekerjaan semakin terbatas. Anaknya O akan mewarisi kemiskinan baru dan ketimpangan sosial.
O hanya warga biasa, yang tak menentu penghasilannya. O tak mungkin menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah bermutu dan mahal. Karena pasti tak mampu bayar biaya pendidikannya.
O tak mudeng dengan istilah kapitalisasi pendidikan. Pantas focus group discussion yang diadakan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) menyatakan pendidikan yang seharusnya menjadi akar peradaban bangsa, direduksi nilai-nilai kapitalis, liberalis dan terjadi privatisasi di sektor Pendidikan.
Tengok saja UU BHP (Undang-undang Badan Hukum Pendidikan) yang bermetamorfosis -setelah dicabuk MK (Mahkamah Konstitusi), menjadi PTNBH (perguruan tinggi negeri badan hukum). Tak cukup sampai disitu, Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka investasi, pendidikan masuk ke dalam sektor investasi yang terbuka bagi penanaman modal asing.
O tak mengerti itu semua. Jadi O hanya bisa menunduk lesu. Demi pendidikan anak, O tetap berjuang agar Rp 500 K terlunasi. Walau mendung akan menggayuti O lagi, ketika harus bayar biaya PKL (Praktek Kerja Lapangan) anaknya. (Kang Marbawi, 220924)