Membangun Generasi Mental Merdeka: Kesehatan Mental sebagai Fokus Generasi Z
(Oleh: Deanira Attila Zahrani)
“Life without liberty is like a body without spirit.” – Kahlil Gibran. Kutipan tersebut dipopulerkan oleh seorang penyair berkebangsaan Amerika, Kahlil Gibran. Dalam kutipannya, ia mengungkapkan bahwasannya, dalam hidup, nilai kebebasan (freedom) yang dimiliki oleh setiap jiwa adalah hak hidup yang patut untuk dipenuhi.
Karena jiwa yang hidup adalah jiwa yang memiliki kendali penuh atas dirinya sendiri, tanpa terkekang oleh faktor tekanan eksternal yang dapat merusak kebebasan jiwa nya.
Begitu pun dengan hakikat seseorang untuk merdeka secara mentalitas.
Hak seseorang untuk memperoleh kemerdekaan secara mental di sini berarti, bagaimana kondisi mental seseorang secara internal mampu akan kontrol penuh atas dirinya sendiri, terlepas dari tekanan mental yang ia alami. Dengan demikian, seseorang bisa dikatakan merdeka secara mental apabila ia benar-benar memiliki mental yang sehat. (Pengenalan mengenai kesehatan mental).
Lantas, seberapa pentingkah kesehatan mental seseorang itu? Dewasa ini, isu mengenai kesehatan mental (mental health issues) telah menjadi suatu topik yang cukup serius di kalangan masyarakat, khususnya generasi Z atau gen Z. Hal ini dapat dibuktikan dari tingginya lonjakan kasus yang dialami oleh remaja gen Z.
Survei yang dilakukan oleh I-NAMHS (Indonesia National Adolescent Mental Health Survey) pada tahun 2022 menunjukkan, sekitar 1 dari 20 atau 5,5 persen remaja usia 10-17 tahun didiagnosis memiliki gangguan mental dalam setahun terakhir, biasa disebut orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Sementara, sekitar sepertiga atau 34,9 persen memiliki setidaknya satu masalah kesehatan mental atau tergolong orang dengan masalah kejiwaan (ODMK). Mirisnya lagi, fakta bahwa generasi Z ini adalah generasi yang paling banyak melaporkan keluhan gangguan psikologis mereka.
Berdasarkan hasil survei Mckinsey Health Institute terhadap 41.960 orang di 26 negara, ada 18% responden kelahiran tahun 1997-2012 atau gen Z yang merasa kesehatan mental nya buruk. Persentase ini melampaui 13% generasi milenial yang menganggap kesehatan mental nya buruk.
Sementara, persentase generasi X dan baby boomers yang menganggap kesehatan mental nya buruk masing-masing sebesar 11% dan 4%. Angka tersebut menyoroti fakta bahwa generasi Z memiliki kondisi kesehatan mental terburuk dibandingkan dengan generasi lainnya.
Krisis kesehatan mental yang dialami gen Z tentu akan menimbulkan dampak yang cukup serius bagi keberlangsungan masa depan suatu bangsa dalam kehidupan sosial ekonomi, mengingat kesehatan mental seseorang juga sama pentingnya dengan kesehatan fisik, karena keduanya akan saling mempengaruhi bagaimana tingkat produktivitas seseorang.
Terlebih lagi generasi Z yang lahir pada tahun 1997 – 2012 ini digadang-gadang akan menjadi ujung tombak lahirnya Indonesia emas 2045. Oleh sebab itu, masyarakat sedari dini perlu meningkatkan tingkat kewaspadaan mereka terhadap adanya isu kesehatan mental ini demi menciptakan generasi cemerlang di masa depan.
(Terfokus pada data mengenai kesehatan mental pada beberapa generasi, seperti generasi X, Baby Boomers, dan generasi Z. Isi paragraf ini menjelaskan mengenai perbandingan hasil dari data kesehatan mental yang diderita oleh beberapa generasi).
Dampak negatif dari gangguan mental merupakan tantangan yang besar, terutama di zaman modern saat ini. Apabila hal tersebut tidak ditangani secara serius, maka akan berpengaruh terhadap masa depan bangsa Indonesia ke depannya.
Terlebih lagi, di era yang serba digital ini, generasi Z dan generasi alpha sangat rentan mengalami gangguan kesehatan mental. Hal ini dipengaruhi oleh faktor penggunaan media sosial yang dinilai kurang bijak.
Dikutip dari situs resmi UNAIR, Prof. Dr. Nurul Hartini, S.Psi., M.Kes., mengungkapkan, salah satu penyebab gen Z memiliki tingkat kebahagiaan yang rendah adalah penggunaan sosial media yang kurang tepat.
Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Seseorang yang menghabiskan waktu lebih banyak untuk membuka sosial media, memiliki kepribadian anti-sosial serta kemampuan sosialisasi yang kurang. Di samping itu pun, remaja cenderung membandingkan diri mereka dengan kehidupan orang lain yang seakan terlihat sempurna di media sosial sehingga menimbulkan turunnya kepercayaan diri.
Mereka dituntut untuk selalu tampil sempurna, serta selalu berusaha keras untuk memenuhi standar media yang tidak realistis tanpa peduli akan kesehatan mental mereka. Hal inilah yang kemudian dapat berisiko menimbulkan depresi serta turunnya self-esteem yang dimiliki seseorang sehingga dapat berujung pada keinginan untuk melukai diri sendiri (self-harm) dan melakukan bunuh diri.
WHO menyatakan, angka bunuh diri akibat depresi bisa mencapai angka sekitar satu juta pertahun di seluruh dunia. Jika tidak ditangani dengan baik, tentu akan berpengaruh terhadap populasi dunia. (Paragraf ini menjelaskan mengenai penyebab kesehatan mental yang rusak dari generasi Z dan generasi Alpha. Kemudian, membahas akibat yang didapat oleh kedua generasi tersebut).
Isu mengenai kesehatan mental kerap kali digaungkan para kaum gen Z melalui platform media online, gen Z dianggap lebih peka terhadap berbagai isu kesehatan mental, yang di mana hal ini menimbulkan stigma masyarakat terhadap gen Z yang dinilai “lebih lemah” secara mentalitas. Tak sedikit dari mereka yang menutup mata akan isu kesehatan mental ini, terutama generasi sebelum gen Z.
Anggapan tersebut yang kemudian mempengaruhi bagaimana masyarakat terutama gen Z dalam menyikapi adanya gangguan psikologis, seperti stres, depresi serta gangguan kecemasan yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari. Sayangnya, banyak dari mereka yang menganggap sepele hal ini.
Lingkungan yang kurang mendukung serta pemikiran yang kurang terbuka mengenai isu kesehatan mental generasi terdahulu yang sering kali menganggap hal tersebut semata hanyalah “kurang iman”. Sehingga, banyak generasi Z yang tidak langsung mencari pertolongan ahli akibat adanya stigma tersebut.
Padahal, gangguan psikologis ini terbukti dapat menyebabkan penurunan sistem imunitas tubuh. American Psychological Association (APA) melakukan penelitian selama 10 tahun terakhir, hasilnya menunjukkan bahwa depresi dapat meningkatkan kadar hormon stres kortisol.
Selain itu juga dapat secara signifikan melemahkan sistem kekebalan tubuh, sehingga tubuh akan lebih mudah terkena penyakit. (Paragraf ini berisikan isu mengenai sulitnya generasi sebelum generasi Z mengakui bahwa kesehatan mental bisa terjadi pada generasi Z. Kemudian, membahas mengenai penyebab generasi Z tidak segera mencari pertolongan ahli)
Kesejahteraan mental merupakan hak setiap manusia, setiap makhluk bernyawa berhak secara penuh untuk memperoleh kebebasan, kedamaian, dan kemerdekaan atas diri nya, terlepas dari kalangan generasi mana ia berasal.
Setiap generasi bertanggung jawab penuh atas kondisi kesehatan mental diri serta lingkungan terdekat nya. Setiap generasi memiliki kekuatan nya sendiri dalam mengahadapi masifnya perkembangan zaman.
Tak terkecuali gen Z, mereka adalah generasi yang memiliki potensi besar untuk menciptakan dunia yang berkembang lebih pesat, mereka adalah generasi masa depan bangsa yang harus didukung, dengan langkah bersama untuk menciptakan masa depan dunia yang lebih baik, di mana kesehatan mental diprioritaskan dan dihargai.
Karena mental yang sehat adalah pondasi untuk mencapai aktualisasi diri. Saatnya kita membuka mata akan pentingnya isu kesehatan mental ini, demi tercapainya generasi emas Indonesia 2045.
Mereka, gen Z perlu ruang untuk bersuara, kesehatan mental bukanlah aib untuk ditutupi, tak perlu ragu untuk sekadar berbagi keluh kesah terhadap sesama, terkadang mereka hanya perlu ruang untuk didengar dan didukung, sebagaimana kita ingat kutipan fenomenal dari selebritas k-pop, RM BTS dalam sidang PBB, “We have learned to love ourselves, so now I urge you to ‘speak yourself’”.