PASUNDAN EKSPRES - Polemik mengenai syarat pencalonan kepala daerah kembali memanas setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan terkait batas usia minimum calon kepala daerah. Putusan MK yang seharusnya menjadi panduan mutlak bagi proses demokrasi di Indonesia, kini mendapatkan perlawanan keras dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), khususnya melalui Badan Legislasi (Baleg).
Dalam keputusan yang disoroti banyak pihak, Panitia Kerja (Panja) revisi Undang-Undang Pilkada Baleg DPR RI menolak untuk menerapkan putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024. MK sebelumnya menegaskan bahwa usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Namun, Baleg DPR justru memutuskan untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA), yang hanya dalam tiga hari menetapkan bahwa usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak tanggal pelantikan.
Keputusan DPR yang menolak putusan MK ini bukanlah sekadar persoalan teknis, tetapi mencerminkan adanya tarik-menarik kekuasaan antara lembaga yudikatif dan legislatif. Hal ini menjadi perhatian serius mengingat DPR, yang seharusnya menjalankan fungsi legislasi dengan berpedoman pada konstitusi, justru memilih untuk mengabaikan putusan MK yang bersifat final dan mengikat.
Sikap Jokowi dan Ambivalen
Presiden Joko Widodo, dalam responsnya terhadap kontroversi ini, menyatakan bahwa menghormati kewenangan masing-masing lembaga negara adalah hal yang biasa dalam konstitusi Indonesia. Namun, pernyataan ini dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk penghindaran dari tanggung jawab untuk mengambil sikap yang tegas. Dalam sambutannya pada penutupan Musyawarah Nasional ke-11 Partai Golkar, Jokowi menyinggung soal "tukang kayu" yang dianggap sebagai pengalihan isu dari substansi persoalan.
Dalam pernyataan yang disampaikan pada penutupan Musyawarah Nasional ke-11 Partai Golkar, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa dirinya menghormati kewenangan masing-masing lembaga negara. "Sebagai lembaga eksekutif, saya ini berada di lembaga eksekutif. Sebagai presiden, saya sangat menghormati yang namanya lembaga yudikatif, yang namanya lembaga legislatif. Jadi, kami sangat menghormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara yang kita miliki," kata Jokowi (21 Agustus 2024).
Dalam kesempatan lain, sebuah pernyataan yang diunggah di kanal YouTube resmi Sekretariat Presiden pada Rabu (21 Agustus 2024) sore, Presiden Joko Widodo menyebut bahwa apa yang terjadi saat ini adalah "proses konstitusional yang biasa terjadi dalam lembaga-lembaga negara yang kita miliki." Presiden Jokowi juga menegaskan bahwa pemerintah menghormati setiap kewenangan dan keputusan yang dibuat oleh lembaga-lembaga negara. "Kita hormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara," ujarnya.
Namun, sikap yang diambil oleh Presiden Jokowi dalam pernyataan tersebut justru memunculkan kritik dari berbagai pihak yang melihat bahwa pemerintah seolah menghindari tanggung jawab dalam polemik revisi Undang-Undang Pilkada yang sedang berlangsung. Penolakan Panitia Kerja (Panja) revisi UU Pilkada dari Badan Legislasi (Baleg) DPR RI untuk mengikuti Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 menimbulkan pertanyaan besar mengenai komitmen pemerintah terhadap penegakan hukum dan penghormatan terhadap lembaga yudikatif.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya telah menetapkan bahwa usia minimum calon kepala daerah harus dihitung saat penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah keputusan yang bersifat final dan mengikat. Namun, langkah Baleg DPR yang lebih memilih untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA), yang menyatakan bahwa usia minimum calon dihitung sejak tanggal pelantikan, justru menimbulkan kecurigaan bahwa ada kepentingan politik tertentu yang sedang diakomodasi.
Banyak yang menilai bahwa pernyataan Presiden Jokowi tentang "menghormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara" adalah bentuk penghindaran dari keterlibatan langsung dalam polemik ini. Kritik muncul bahwa presiden seharusnya mengambil sikap tegas dalam menjaga supremasi hukum, terutama ketika keputusan lembaga yudikatif seperti MK dipertaruhkan. Ketika pemerintah bersikap pasif, hal ini dapat dianggap sebagai sinyal bahwa pemerintah mendukung upaya-upaya yang melemahkan keputusan final MK.
Dan di balik pernyataan yang terkesan netral ini, banyak pihak menilai bahwa ada kepentingan politik yang lebih besar yang sedang dimainkan. Perdebatan tentang syarat usia pencalonan dalam Pilkada seolah menjadi ajang pertarungan kekuasaan antara lembaga yudikatif dan legislatif, di mana DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) tampak lebih memilih untuk mengesampingkan putusan MK.
Kepentingan Kaesang Pangarep di Balik Putusan
Keputusan Baleg DPR untuk menolak putusan MK ini dianggap memberikan keuntungan langsung bagi beberapa pihakpihak.
Salah satu contoh yang paling disorot adalah putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, yang mulai disebut-sebut akan maju dalam Pilkada 2024. Dengan mengikuti putusan MK, Kaesang yang berusia 29 tahun saat penetapan calon oleh KPU pada September 2024 tidak memenuhi syarat untuk maju. Namun, jika mengikuti putusan MA, yang menghitung usia minimal calon sejak tanggal pelantikan pada 2025, Kaesang dapat memenuhi syarat dan maju dalam kontestasi tersebut.
Situasi ini menimbulkan kecurigaan bahwa keputusan DPR untuk menolak putusan MK lebih didorong oleh kepentingan politik tertentu daripada kepentingan umum. Fraksi PDI-P, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Putra Nababan dan Arteria Dahlan, telah secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keputusan Baleg DPR. Mereka menegaskan bahwa putusan MK tidak boleh dianulir oleh lembaga manapun karena sifatnya yang final dan mengikat. Namun, mayoritas fraksi di DPR memilih untuk mengikuti putusan MA, meskipun secara hierarki, putusan MK seharusnya lebih tinggi.
Akankah Demokrasi Tercederai?
Dalam konteks ini, banyak yang mempertanyakan apakah demokrasi Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Ketika lembaga yudikatif seperti MK, yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi, mulai diabaikan oleh lembaga legislatif, apakah ini menandakan bahwa hukum dan aturan bisa diubah sesuai dengan kepentingan politik yang berkuasa?
Masyarakat yang peduli pada kelangsungan demokrasi di Indonesia perlu terus mengawasi perkembangan ini. Jika putusan yang telah dijamin oleh konstitusi dapat diabaikan begitu saja, maka hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi proses demokrasi di masa depan. Apakah kita sedang menuju ke arah di mana kehendak politik bisa mengesampingkan supremasi hukum?
Perdebatan ini tidak hanya soal teknis pelaksanaan Pilkada, tetapi juga menyangkut masa depan demokrasi dan penegakan hukum di Indonesia. Kita berharap agar para pemimpin negara ini, termasuk Presiden Jokowi, bisa mengambil sikap yang lebih tegas demi menjaga konstitusi dan demokrasi yang sejati.