Putusan MK Diabaikan! Apakah Jokowi Berpihak pada Kepentingan Politik?

Putusan MK Diabaikan! Apakah Jokowi Berpihak pada Kepentingan Politik?
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebelumnya telah menetapkan bahwa usia minimum calon kepala daerah harus dihitung saat penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah keputusan yang bersifat final dan mengikat. Namun, langkah Baleg DPR yang lebih memilih untuk mengikuti putusan Mahkamah Agung (MA), yang menyatakan bahwa usia minimum calon dihitung sejak tanggal pelantikan, justru menimbulkan kecurigaan bahwa ada kepentingan politik tertentu yang sedang diakomodasi.
Banyak yang menilai bahwa pernyataan Presiden Jokowi tentang "menghormati kewenangan dan keputusan dari masing-masing lembaga negara" adalah bentuk penghindaran dari keterlibatan langsung dalam polemik ini. Kritik muncul bahwa presiden seharusnya mengambil sikap tegas dalam menjaga supremasi hukum, terutama ketika keputusan lembaga yudikatif seperti MK dipertaruhkan. Ketika pemerintah bersikap pasif, hal ini dapat dianggap sebagai sinyal bahwa pemerintah mendukung upaya-upaya yang melemahkan keputusan final MK.
Dan di balik pernyataan yang terkesan netral ini, banyak pihak menilai bahwa ada kepentingan politik yang lebih besar yang sedang dimainkan. Perdebatan tentang syarat usia pencalonan dalam Pilkada seolah menjadi ajang pertarungan kekuasaan antara lembaga yudikatif dan legislatif, di mana DPR melalui Badan Legislasi (Baleg) tampak lebih memilih untuk mengesampingkan putusan MK.
Kepentingan Kaesang Pangarep di Balik Putusan
Keputusan Baleg DPR untuk menolak putusan MK ini dianggap memberikan keuntungan langsung bagi beberapa pihakpihak.
Salah satu contoh yang paling disorot adalah putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, yang mulai disebut-sebut akan maju dalam Pilkada 2024. Dengan mengikuti putusan MK, Kaesang yang berusia 29 tahun saat penetapan calon oleh KPU pada September 2024 tidak memenuhi syarat untuk maju. Namun, jika mengikuti putusan MA, yang menghitung usia minimal calon sejak tanggal pelantikan pada 2025, Kaesang dapat memenuhi syarat dan maju dalam kontestasi tersebut.
Situasi ini menimbulkan kecurigaan bahwa keputusan DPR untuk menolak putusan MK lebih didorong oleh kepentingan politik tertentu daripada kepentingan umum. Fraksi PDI-P, yang dipimpin oleh tokoh-tokoh seperti Putra Nababan dan Arteria Dahlan, telah secara tegas menyatakan ketidaksetujuannya terhadap keputusan Baleg DPR. Mereka menegaskan bahwa putusan MK tidak boleh dianulir oleh lembaga manapun karena sifatnya yang final dan mengikat. Namun, mayoritas fraksi di DPR memilih untuk mengikuti putusan MA, meskipun secara hierarki, putusan MK seharusnya lebih tinggi.
Akankah Demokrasi Tercederai?
Dalam konteks ini, banyak yang mempertanyakan apakah demokrasi Indonesia sedang berada di persimpangan jalan. Ketika lembaga yudikatif seperti MK, yang seharusnya menjadi penjaga konstitusi, mulai diabaikan oleh lembaga legislatif, apakah ini menandakan bahwa hukum dan aturan bisa diubah sesuai dengan kepentingan politik yang berkuasa?
Masyarakat yang peduli pada kelangsungan demokrasi di Indonesia perlu terus mengawasi perkembangan ini. Jika putusan yang telah dijamin oleh konstitusi dapat diabaikan begitu saja, maka hal ini bisa menjadi preseden buruk bagi proses demokrasi di masa depan. Apakah kita sedang menuju ke arah di mana kehendak politik bisa mengesampingkan supremasi hukum?