Nasional

Putusan MA Soal Usia Kepala Daerah Dikritik Mahfud MD: Tidak Perlu Dilaksanakan

Putusan MA Soal Usia Kepala Daerah Dikritik Mahfud MD: Tidak Perlu Dilaksanakan
Putusan MA Soal Usia Kepala Daerah Dikritik Mahfud MD: Tidak Perlu Dilaksanakan

PASUNDAN EKSPRES - Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengkritik keras putusan Mahkamah Agung (MA) terkait batas usia kepala daerah. Menurut Mahfud, keputusan ini bukan hanya melanggar etika dan moral, tetapi juga cacat secara hukum.

 

"Ini bukan hanya cacat etik, cacat moral, tapi juga cacat hukum. Kalau berani lakukan saja ketentuan Pasal 17, UU Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan setiap putusan yang cacat moral saja, apalagi cacat hukum, tidak usah dilaksanakan," kata Mahfud di kanal YouTube Mahfud MD Official, Selasa (4/6).

 

Mahfud menyatakan rasa muaknya terhadap keputusan MA yang mengabulkan gugatan tersebut. Ia menilai keputusan ini mencerminkan betapa rusaknya sistem hukum di Indonesia.

 

"Saya sebenarnya sudah agak malas berkomentar. Satu, kebusukan cara kita berhukum lagi untuk dikomentari sudah membuat mual. Sehingga saya berbicara oh ya sudah lah apa yang mau dilakukan aja, merusak hukum," ujarnya.

 

Mahfud menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi MA untuk mengabulkan gugatan mengenai batas usia calon kepala daerah tersebut. Sebab, Peraturan KPU (PKPU) yang ada sudah sesuai dengan Undang-undang (UU) tentang Pilkada. Namun, MA justru menyatakan PKPU tersebut bertentangan dengan UU.

 

"Kenapa? Dia [MA] memutuskan atau membatalkan satu isu Peraturan KPU yang sudah sesuai dengan UU tetapi dinyatakan bertentangan dengan UU," kata Mahfud. "Ini tiba-tiba dibatalkan karena katanya bertentangan. Loh bertentangan dengan yang mana? Lho wong peraturan KPU sudah benar. Kalau memang itu mau diterima putusan MA berarti ia membatalkan isi UU sedangkan menurut hukum, konstitusi kita, MA tidak boleh melakukan judicial review atau membatalkan isi UU," tambahnya.

 

Mahfud menilai kecurigaan masyarakat terhadap institusi hukum adalah konsekuensi logis dari berbagai tindakan eksekutif dan yudikatif yang sering kali melanggar etika dan hukum. Hal ini menyebabkan munculnya berbagai istilah seperti "Mahkamah Kakak" (MK) dan "Mahkamah Anak" (MA) sebagai bentuk cemoohan dari publik.

 

"Sehingga, timbul Mahkamah Kakak (MK), Mahkamah Anak (MA), Menangkan Kakak (MK), Menangkan Adik (MA), muncul berbagai istilah itu, itu konsekuensi, jadi bahan cemoohan di publik, sehingga kita pun malas lah mengomentari kayak gitu-gitu, biar nanti busuk sendiri, ini sudah busuk, cara berhukum kita ini sudah busuk sekarang," ujar Mahfud.

 

Sebelumnya, MA mengabulkan gugatan Partai Garuda terkait tafsir usia calon kepala daerah. Putusan Nomor 23 P/HUM/2024 yang diumumkan pada Rabu (29/5) mengubah batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur dari 30 tahun saat penetapan pasangan calon menjadi 30 tahun saat pelantikan. MA juga memerintahkan KPU untuk mencabut aturan mengenai batas usia calon kepala daerah ini.

 

Keputusan ini memicu reaksi dari berbagai kalangan, yang mempertanyakan dasar hukum dan etika di balik perubahan tersebut. Mahfud MD mengingatkan bahwa menjaga integritas hukum adalah kunci untuk memastikan keadilan dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum di Indonesia.

Berita Terkait