Oleh : Aziz Akbar Mukasyaf, S.Hut., M.Sc., Ph.D.
Fakultas Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Di tengah dinamika alam yang terus berubah, kita dapat menyaksikan berbagai fenomena sebagai bagian dari siklus ciptaan Allah SWT, salah satunya yang baru-baru ini terjadi yaitu bencana banjir. Banjir, yang terjadi akibat volume air hujan yang turun ke permukaan bumi melebihi kapasitas tanah untuk menyerapnya, sebenarnya mengandung pelajaran mendalam tentang rahmat dan ujian dari Sang Pencipta. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Baqarah:22, “Dia-lah yang menurunkan air hujan dari langit, kemudian dengan air itu Kami tumbuhkan kebun-kebun yang indah untukmu…” Ayat ini mengingatkan bahwa air hujan merupakan salah satu nikmat Allah yang dianugerahkan untuk menghidupkan bumi dan segala isinya. Namun, bila air tidak terserap dengan baik karena kerusakan lingkungan atau berkurangnya kemampuan infiltrasi tanah, maka kelebihan air itu dapat menimbulkan bencana seperti banjir.
Seiring berjalannya waktu, aktivitas manusia yang semakin intensif dan perusakan lingkungan telah mengganggu keseimbangan alam. Tanah, yang semula diciptakan dengan kemampuan menampung dan menyerap air, kini kerap kehilangan fungsi alaminya akibat urbanisasi, deforestasi, dan pencemaran. Akibatnya, air hujan yang seharusnya terserap menjadi limpasan yang mengakibatkan genangan dan banjir. Di balik fenomena tersebut, tersimpan hikmah bahwa alam selalu mengingatkan kita untuk senantiasa menjaga amanah Allah. Sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-A’raf:56, “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (diciptakan) dengan baik.” Ayat ini sekaligus merupakan peringatan agar kita tidak lalai dalam menjaga keseimbangan lingkungan yang telah dijamin oleh Allah.
Tidak hanya itu, siklus air di bumi merupakan rangkaian proses yang menakjubkan. Air yang diserap oleh tanah dari sumber-sumber seperti danau atau laut, kemudian melalui proses penguapan, terangkat menjadi uap air yang berkumpul dan membentuk awan. Proses menguapnya air ke atmosfer inilah yang dikenal dengan istilah evapotranspirasi. Air yang kemudian jatuh kembali ke bumi sebagai hujan memiliki distribusi yang berbeda-beda di setiap daerah. Di satu sisi, fenomena ini merupakan rahmat Allah yang mengatur agar muka bumi mendapatkan pasokan air yang seimbang. Di sisi lain, di era global warming saat ini, perubahan iklim turut mempengaruhi distribusi air di bumi, bahkan menyebabkan peningkatan muka air laut. Hal ini dapat dilihat sebagai salah satu tanda kebesaran Allah, yang melalui rahmat-Nya, mengatur keseimbangan antara daratan dan lautan agar tidak terjadi ketidakseimbangan yang ekstrim.
Kita bisa merenungi, apakah mungkin air yang terangkat ke atmosfer melalui proses evapotranspirasi adalah salah satu bentuk rahmat Allah? Mungkin, dengan mengembalikan air ke atmosfer, Allah memberikan kesempatan bagi distribusi air yang lebih merata, sehingga meskipun terjadi peningkatan muka air laut, tidak akan selalu berdampak negatif pada daratan. Konsep ini sejalan dengan prinsip keseimbangan alam yang diajarkan oleh Islam. Allah menciptakan alam semesta dengan aturan yang sempurna, di mana setiap elemen memiliki peran penting dalam menjaga kehidupan. Seperti halnya yang tertulis dalam QS. Al-An’am:141, yang mengajarkan untuk tidak berlebihan dalam memanfaatkan nikmat alam. Dengan demikian, air yang terangkat ke atmosfer bukanlah suatu kebetulan, melainkan bagian dari tatanan ilahi yang mengatur peredaran air agar bumi tetap seimbang.
Dalam sunnah Nabi Muhammad SAW, terdapat pula anjuran untuk menjaga dan memanfaatkan alam dengan bijaksana. Salah satu hadits shohih yang diriwayatkan oleh Tirmidzi menyatakan, “Tidaklah seorang Muslim menanam pohon atau menanam tanaman, kemudian manfaatnya dinikmati oleh makhluk, melainkan baginya pahala yang terus mengalir (sedekah jariyah).” Meskipun hadits ini secara langsung menyebutkan tentang tanaman, prinsip yang terkandung di dalamnya mengajarkan kita untuk tidak merusak alam dan selalu menjaga kelestarian ciptaan Allah. Dengan merawat alam, termasuk menjaga fungsi tanah dalam menyerap air dan memelihara keseimbangan siklus hidrologi, kita sebenarnya sedang menjalankan amanah sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam konteks global warming, di mana aktivitas manusia telah mempengaruhi iklim bumi, kita harus semakin menyadari pentingnya peran setiap elemen alam dalam menjaga keseimbangan ekosistem. Peningkatan suhu global, perubahan pola hujan, dan naiknya muka air laut merupakan peringatan keras bagi kita untuk kembali merenungi dan memperbaiki cara kita mengelola lingkungan. Allah SWT menciptakan bumi dan segala isinya dalam keadaan seimbang, dan kita sebagai manusia memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga keseimbangan tersebut. Semoga melalui pemahaman ini, kita semakin termotivasi untuk berkontribusi dalam upaya pelestarian lingkungan, mulai dari hal-hal kecil seperti mengurangi sampah plastik, menghijaukan lingkungan, hingga mendukung kebijakan yang ramah lingkungan.
Akhirnya, mari kita jadikan setiap fenomena alam—bahkan bencana sekalipun—sebagai cermin untuk merenungi kekuasaan dan rahmat Allah. Banjir yang terjadi bukan semata-mata sebagai hukuman, melainkan sebagai salah satu cara Allah mengingatkan kita tentang pentingnya menjaga keseimbangan alam. Dengan memahami siklus air yang rumit ini, kita diingatkan bahwa setiap tetes air memiliki peran dalam mengatur kehidupan di bumi. Semoga dengan merenungi tanda-tanda kebesaran Allah dalam peredaran air dan siklus hidrologi, kita menjadi insan yang lebih bertanggung jawab dan selalu berusaha menjaga amanah yang telah diberikan kepada kita.(*)