Punya imaginasi itu penting. Sepenting udara yang kita hirup. Kalau hidup tanpa imaginasi, hambar hidup ini. Seperti sayur tanpa garam. “Asrep”, kata orang. Konon dari imaginasi lahirlah produk yang memanjakan manusia dan membuat ketagihan. Hasil imaginasi manusia yang dikemas dengan modern dan stylish ini, melahirkan budaya global dalam; film, food, fashion, financial, fun, faith. Termasuk industri musik (sing), sex, sport, smoke dan yang tercanggih adalah AI -artificial intelegent. Singkat kata, hasil imaginasi manusia, menjadikan hidup lebih berwarna, seperti pelangi dan mudah ala lampu Aladin.
Kita pun tak kalah keren punya imaginasi. Sebut saja imaginasi ingin cepat kaya tanpa usaha dan kerja keras, jadi terkenal dan segala hal yang hebat-hebat lainnya. Menariknya, untuk mewujudkan imaginasi tersebut, kebanyakan dari kita “ogah” bersusah payah.
Orang lain, imaginasi nya menghasilkan hal produktif dan bermanfaat, walau kadang melahirkan adiksi dan residu sosial. Nah kebanyakan kita untuk mewujudkan imaginasi itu dilakukan dengan cara instan. Melahirkan manusia bermental kopi sachet/mie instan, mental instan. Penghayal berat.
Manusia yang bertudung mental instan biasanya tak mau susah payah dalam menginginkan sesuatu. Maunya cepat, “ngga” mau cape, apa pun dilakukan -menghalalkan segala cara untuk meraih keinginannya. Hiasan orang yang berselendang mental instan itu, mengabaikan moralitas, adab, sopan-santun, etika, norma atau nilai-nilai. Bahnkan tak tahu malu. Semua angus dan larung dalam arus deras syahwat hedonis. Mengerikan!
Orang dengan topi mental instans, memang berani melakukan apa saja, tanpa perhitungan. Jalan pintas menjadi hobinya. Psikologi pikiran instan itu yang dilihat adalah kesenangan yang akan diraih. Sehingga menumpulkan nalar kritis. Mudah tergoda iklan yang menawarkan kekayaan, keuntungan dengan cepat.
Coba saja lihat korban pinjol (pinjaman online), judol (judi on line) atau investasi bodong, bisa jadi disebabkan karena mereka berteduh di bawah duli mental instan. Seolah, hayalan cepat kaya dan hedonis ini adalah kanopi indah dalam hidup. Jika berada di bawah payung hayalan instan, seolah semuanya akan mudah, enak, indah dan segala keinginan terwujud dengan cepat dan mudah, tanpa kerja keras.
Dan hasil memancing dari mental penghayal, tak kurang Rp. 1.200 triliun yang diraup bandar judol tahun 2025 ini. Begitu kata Kepala PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) Ivan Yustiavandana.
Angka itu dikail dari 8,8 juta penduduk Indonesia yang didominasi dari kelas ekonomi menengah ke bawah. 97 ribu di antaranya adalah anggota TNI-Polri, 1,9 juta pekerja swasta, dan tercatat 80 ribu berusia di bawah 10 tahun. Tidak hanya itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kerugian masyarakat akibat investasi ilegal atau bodong mencapai Rp139,67 triliun sepanjang 2017 hingga 2023.
Mirisnya, dari 8,8 juta, korban judol, pinjol atau investasi bodong, ada orang-orang dekat kita. Kita lebih takut pada imaginasi kita dari pada kenyataan yang harus dihadapi dan diperjuangkan. Laku kita dituntun oleh hayalan hedon kita tentang sesuatu, bukan atas dasar imaginasi kreatif berbasis moral dan kebutuhan faktual. Laku kita bukan didasarkan pada apa yang kita butuhkan, tapi bertumpu pada nafsu "apa yang aku inginkan. Keinginan yang dimantrai oleh iklan yang menawarkan surga hedon, glamour, viral dan kekuasaan yang memabukkan. Kadang, kita pun jadi korban dari hayalan kita sendiri. (Kang Marbawi, 070525)