Pojokan 257: Hokiau

Kang Marbawi.
Bagi orang yang mengalami masa muda di tahun 1980-an, pasti kenal “Pil Kita”. Pil yang dibuat dari campuran ekstrak tumbuhan herbal yang termasuk dalam familia Zingiberaceae, seperti Lempuyang Gajah (Zingiberis Zerumbeti Rhizoma), Temu Hitam (Curcumae Aeroginosa Rhizoma), dan Temulawak (Curcumae Rhizoma) ini, dikenal sebagai obat pegel linu. Pil Kita sangat terkenal pada zaman itu hingga sekarang sebagai obat herbal dalam bentuk tablet, sebagai obat penghilang rasa sakit, encok, pegal-pegal setelah bekerja seharian.
Pil Kita, obat herbal untuk segala penyakit ini, diproduksi oleh PT. Marguna Tarulata APK Farma. Pil Kita laris manis di pasaran. Murah dan berkhasiat itu penyebab utama disukai masyarakat bawah.
Pil dengan kemasan merah menyala ini, pertama kali dipasarkan tahun 1952, oleh penemunya Ki Hajar Sukowijono alias Tan Hong Boen,-wartawan dan penulis asal Banjaran, Kabupaten Tegal. Padahal tahun 1952 masa dimana anti Cina mulai tumbuh subur di Indonesia. Puncaknya dengan keluarnya Peraturan Presiden nomor 10 tahun 1959 tentang larangan Etnis Tionghoa berdagang di pedesaan.
Pun aturan kewarganegaraan ius soli atau kewarganegaraan orang Tionghoa akan hilang jika tidak memberikan bukti bahwa orang tua mereka telah tinggal di Indonesia selama 10 tahun. Aturan ini secara tidak resmi menolak kewarganegaraan Cina. Diteruskan dalam regulasi diskriminatif dijaman Orde Baru. Dan ditutup dengan peristiwa rasial tahun 1998-masa kejatuhan Orde Baru.
BACA JUGA: Hari Hutan Sedunia Tahun 2025
Tapi Tan Hong Boen, tetap mencintai Indonesia, bahkan sejak lahir. Dia dan orang-orang Tionghoa lainnya terus mencintai Bumi Pertiwi ini dengan caranya sendiri. Sebelum Cindy Adams menerbitkan “Soekarno Sang Penyambung Lidah” - Sukarno: An Autobiography as Told to Cindy Adams yang diterbitkan oleh Bobbs-Merrill pada 1965, Tan telah menulis biografi pertama Soekarno Sebagi Manoesia yang diterbitkan oleh Boekhandel “Ravena” di Solo tahun 1933. Saat menulis biografi tersebut, Tan Hong Boen menggunakan nama pena Im Yang Tjoe. Tan adalah orang pertama yang memopulerkan Bung Karno, tiga dasawarsa sebelum Cindy Adams.
Seperti Tan Hong Boen, Oei Tjoe Tat, Liem Koen Hian, Oey Tiang Tjoei, Oey Tjong Hauw, dan Tan Eng Hoa, hingga era Kweek Kian Gie, mereka pun mencintai Indonesia. Empat orang yang terakhir tercatat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Mereka mendengarkan dan mendukung Pancasila yang diusulkan Soekarno sebagai dasar negara Indonesia pada 1 Juni 1945.
Cinta mereka kepada Ibu Pertiwi, kepada Indonesia tetap tumbuh subur dan nyata. Dan diwariskan kepada keturuannya. Seperti halnya yang dilakukan Yayasan Terang Surabaya, pimpinan Yasin Wijaya. Yasin Wijaya adalah orang Indonesia dari suku Cina. Yayasannya fokus pada pendampingan pendidikan untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah swasta di Indonesia, khususnya di daerah pinggiran.
Program pendampingan dalam bentuk program bimbingan belajar gratis yang berfokus pada literasi dan matematika ini, telah menyasar puluhan ribuan siswa, ratusan sekolah swasta dan guru tingkat dasar di Surabaya, Madura, kota Manokwari, Papua Barat dan beberapa kota lainnya. Mereka bergerak tanpa dibebani dendam sejarah kelam atas perlakukan rasial dan diskriminatif di masa lalu.
BACA JUGA: Transformasi Belanja Pemerintah Yang Ramah Lingkungan
Pramodya Ananta Toer, memprotes sikap rasial terhadap orang Cina dalam “Hokiau Di Indonesia” -terbit tahun 1960. Sastrawan yang pantas meraih nobel sastra ini, menilai prasangka kepada Cina teramat besar, hingga mengabaikan peran penting mereka dalam sejarah perjuangan dan kehidupan bangsa. Melahirkan sikap anti pati, diskriminatif dan rasial. Pram dan bukunya, juga orang-orang yang membacanya, diberangus oleh penguasa yang takut. Memang diskriminasi datang dari prasangka dan pikiran pengecut yang takut menerima keberagaman dan tak berani setara dalam kehidupan. Apalagi berkongsi.
Bahkan bangsa ini telah berinteraksi dengan bangsa Cina sejak jaman Kubilai Khan-yang mengirim Laksamana Cheng Ho, seorang Muslim! Dan jauh sebelumnya, I-Tsing biksu Budha dari Tiongkok melakukan perjalanan ke Sriwijaya pada abad ke 7, untuk mengenal Indonesia.
Etnis/suku Cina sama dengan Etnis Sunda, Jawa, Batak, Melayu dan lainnya adalah sama sebangsa dan setanah air Indonesia. Peran dan kontribusi mereka -dalam lapangan kehidupan sosial, ekonomi, politik, tak bisa diabaikan begitu saja sejak dulu hingga sekarang.
Akan kah, keterlibatan mereka dalam sejarah bangsa ini, diabaikan, diasingkan? Seperti ditulis Sumit Kumar Mandal, Cina di Indonesia akan tetap dianggap “Orang Asing yang Tidak Asing” ? Dan adakah bab sejarah Orang Hokiau di Indonesia dalam versi Penulisan Sejarah Resmi Indonesia? Kita tidak bisa lari dari masa lalu. Beberapa dari kita ditakdirkan untuk mengulanginya dalam bentuk yang baru. (Kang Marbawi, 220625)