Pojokan 262: Wabah Roro

Kang Marbawi.
Kalau sekedar nampang, Geng Roro pun tak kalah dengan artis. Mereka biasa menghabiskan waktu di mal-mal dan butik ternama. Soal nongkrong pun tak ketinggalan. Bisa dipastikan, Geng Roro akan memadati area food court dengan harga yang terjangkau. Tak lupa mencari spot “ngonten” untuk bahan konten di akun media sosial (medsos) pribadinya.
Disebut geng, karena kelompok Roro yang terdiri dari Rombongan Jarang Beli (Rojali) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) datang ke mal bergerombol. Mereka sengaja datang ke mal untuk menikmati suasana mal yang dingin, atau hanya untuk berswafoto demi konten di medsos. Plus wifi gratis yang menjadi salah satu incaran geng Roro ini. Soal melihat tenant berbagai macam produk, itu nomor dua.
BACA JUGA: Pemberian Fatwa Haram Sound Horeg oleh Majelis Ulama Indonesia
Mampir ke tenant adalah ritual pertama dari geng Roro, ketika ke mal. Menjalankan tugasnya untuk hanya melihat-lihat produk tanpa membeli dan sesekali hanya menanyakan harga. Jika sudah tahu harganya, mereka akan mencari produk yang sama kualitas atau brandnya di toko on line. Bagi geng Roro, toko on line relative lebih murah harganya dibanding toko konvensional yang ada di pusat perbelanjaan.
Konon kata para pakar ekonomi, wabah Roro muncul akibat kondisi daya beli masyarakat menurun drastis. Percis, seperti gallon air yang bocor, airnya cepat surut. Pemasukan pas-pasan, kebutuhan meningkat, namun ingin tetap eksis di medsos. Jadilah untuk menjaga gengsi dan eksis di medsis, mal menjadi tujuan utama. Lorong mal atau tenant produk tertentu bisa dijadikan bahan konten medsosnya.
BACA JUGA: Pojokan 261 Sihir Gadget
Fenomena Roro akibat menurunnya daya beli masyarakat berbanding terbalik dengan peningkatan kekayaan geng konglomerat. Tengok laporan Celios (Center of Economic and Law Studies) tahun 2024. Jika para pakar menyebut wabah Roro akibat penurunan daya beli, justru berbanding terbalik dengan para triliuner Indonesia. Kenaikan kekayaan tiga triliuner teratas di Indonesia selama 2020-2023 mencapai 174%. Gila kan!
Dalam laporannya, kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia, setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia. Ini artinya kekayaan dan daya ungkit ekonomi hanya dikuasai oleh hanya 50 orang berbanding 280 juta rakyat Indonesia. 50 orang terkaya ini bisa menentukan arah ekonomi dan memperbesar pundi-pundi kekayaannya. Mereka menguasai sumber daya alam dan ekonomi yang menjadi hajat hidup orang banyak.
Coba saja tengok lagi laporan Celios. Kekayaan para triliuner tersebut memiliki potensi pajak Rp 81,6 T. Angka itu akumulasi dua (2) persen dari total kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia. Kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia jika disandingkan dengan biaya pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) hanya 21 % kekayaan lima (5) triliuner teratas di Indonesia.
Rakyat Indonesia yang 280 juta jumlahnya itu, bisa juga mencapai kekayaan yang sama dengan mereka. Pendapatan 280 juta rakyat Indonesia bisa mencapai setara kekayaan lima triliuner teratas dengan waktu bekerja 1 abad.