Opini

Pesantren dan Masjid dalam Pusaran Kekuasaan

Muhammad Awod Faraz Bajri
Muhammad Awod Faraz Bajri Dosen Sosiologi Agama/Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Muhajirin Purwakarta

KOMISI Pemilihan Umum telah menentukkan bahwa 27 November 2024 merupakan pemilihan kepala daerah baik gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota di seluruh indonesia secara serentak. 

Pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan dengan demokratis, azas langsung, umum, jujur, bebas, rahasia dan adil. Adapun pendaftaran calon kepala daerah 2024 pada  27-29 Agustus 2024 serta penetapan pasangan calon kepala daerah 2024 pada 22 September 2024. 

Pemilihan kepala daerah merupakan agenda demokrasi lima tahunan, setiap warga yang sudah cukup umur berhak menentukkan hak pilihnya secara demokratis.

 Dengan waktu yang sangat terbatas, para kandidat kepala daerah baik calon gubernur, calon wakil gubernur, calon bupati, calon wakil bupati, calon wali kota dan calon wakil wali kota terus mengampanyekan dirinya bersama tim sukses dan tim partai politiknya kepada masyarakat luas.

Ini, termasuk mendatangi para ulama, tokoh agama dan masyarakat untuk mendapatkan dukungan politik supaya bisa dipercaya oleh masyarakat untuk bisa memimpin sebuah provinsi, kabupaten dan kota madya.

Tak terkecuali para kandidat mendatangi para kiai yang ada di pesantren, karena pesantren memiliki magnet tersendiri bagi kalangan elite politik yang akan mengikuti pesta demokrasi.

 Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang memiliki peran dalam membentuk karakter bangsa tidak luput dari gempuran para elite politik untuk memobilisasi masa guna mendapatkan dukungan politik demi meraih kekuasaan. 

Pesantren tempat mengajar kitab-kitab klasik kepada santri sudah dijadikan magnet pertarungan para elite politik. Seorang kiai yang memiliki peran dalam membina serta membimbing umat, santri dan masyarakat pun tidak luput dari syahwat godaan politik. 

Dahulu, ulama sangat menjaga jarak dengan pusaran politik kekuasaan dan menjaga eksistensi pesantren dari gempuran para petualang politik serta mempertahankan kredibilitas pesantren dalam godaan kekuasaan. 

Magnet kekuasaan terlalu silau sehingga mampu merobohkan nilai-nilai Idealiasme yang selama ini dijaga oleh para kiai yang berada di ruang lingkup pesantren. Menurut Abdurrahman Wahid atau yang biasa disebut Gus Dur, mantan presiden Ke 4 beliau pernah mengungkapkan bahwa kiai sebagai broker culture memiliki peran ganda. 

Di satu sisi kiai mempunyai tugas mulia dalam membimbing, mengarahkan, serta memberikan dialektika pencerahan kepada umat tetapi di satu sisi sebagai asimilator untuk membendung kekuatan luar masuk ke dalam lingkungan pesantren. 

Khutbah moral dalam dunia politik tidak akan memiliki dampak yang signifikan untuk merubah sistem yang korup. Agama cukup berat untuk mendobrak kekuasaan yang hegemonik yang pro status quo, karena magnet kekuasaan lebih kuat.

 Ada sebuah pertanyaan yang menjadi pertanyaan publik. Apakah kuasa moral bisa mengalahkan amoral yang sekarang terjadi dalam lingkaran kekuasaan? Tesis ini pernah diungkapkan oleh presiden Abdurahman Wahid. Dan ungkapan ini pernah ditulis oleh Masdar Helmy seorang intelektual dalam bukunya tentang "lslam Profetik"Subtansi Nilai-Nilai Agama dalam Ruang Publik".

Agama yang bersifat sakral pun bisa dijadikan sebagai sebuah tameng untuk meraih kekuasaan. Agama menjadi entry point paling empuk yang dijadikan legitimasi oleh para elit politik untuk mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan.

Dalam Diskursus Sosiologi Agama bahwa agama tidak dibangun dengan logika kekuasaan melainkan agama dibangun dengan logika kepercayaan. Agama mengajarkan kesantunan, etika, moral, ajakan kebaikan. 

Teringat sebuah pernyataan Nabi Muhammad SAW bahwa siapa saja orang yang mengemis-ngemis kepada orang kaya dan meminta jabatan maka dirinya sudah keluar dari setengah agama. 

Masjid yang merupakan tempat ibadah,  memohon ampunan kepada Allah, tempat yang sangat suci, berzikir dengan khusyuk, membaca Alquran sudah dijadikan tempat memprogandakan ujaran kebencian. 

Yakni, dengan memiliki agenda politik pihak-pihak terkait sehingga, umat terbawa emosi dan membenci saudaranya yang berbeda pandangan politik serta dengan mudah menebarkan berita hoax yang belum tentu kebenarannya. 

 Persaingan politik memang keras, tetapi harus mengedepankan kewarasan serta nalar sehat supaya terus digelorakan dalam perhelatan demokrasi lima tahunan. 

Meminjam teori Mus'a Asyari dalam buku"Revolusi kebudayaan Tanpa Kekerasaan" Absurditas politik bisa dikalahkan oleh hawa nafsu berkuasa sehingga nalar sehat tidak berjalan dengan baik. 

Logika kekuasaan yang sempit akan mengakibatkan perpecahaan diantara kelompok masyarakat yang akhirnya polarisasi sudah tidak bisa dihindarkan lagi akibat kepentingan politik.

 Saya teringat ungkapan Pernyataan Muhammad Natsir "The Loyalty to the Party end when the loyalty to the state begins." Politik saling mengerti adalah rujukan dialogis antara-antara kepentingan-kepentingan politik untuk mencari kesepahaman dalam membangun negara bangsa-bangsa sejahtera, adil dan makmur. 

Mungkinkah politik saling mengerti bisa terjadi pada pilkada serentak 2024? Politik saling mengerti seperti diungkapkan Habermas akan tercipta bila kelompok-kelompok kepentingan elite politik menyadari bahwa debat tak akan kunjung usai tentang parsialitas kepentingan harus segera diakhiri.

 Pemimpin yang berkarakter dan amanah akan menjadi mata air yang terus mampu memompa spirit pencerahan dan komitmen bagi seluruh  warga. Ruh seperti itu sangat dibutuhkan oleh negara dan bangsa kita manakala pemimpin berada dalam gejolak dan ketidakpastiaan. 

Lingkaran kekuasaan adalah tembok besar yang sangat sulit ditembus oleh nilai agama. Kolaborasi antara otoritas keagamaan dan otoritas negara dikhawatirkan akan melahirkan tafsir- tafsir palsu develomentalis yang akan menindas masyarakat. 

Secara normatif agama adalah The Quarium of Society yang memiliki tugas untuk mengkritisi struktur kekuasaan, karena ketika agama tersubordinasi oĺeh struktruk kekuasaan maka agama akan kehilangan fungsinya. 

Proses mistifikasi dalam dunia politik itu hal yang biasa dalam rangka mengkonstruksi realitas sosial dalam mencari dukungan seluas-luasnya. Bahkan Geerz mengungkapkan tidak ada satu pun dalam dunia politik yang tidak ada proses mistifikasi politiknya di negara mana pun juga termasuk indonesia yang penuh dengan mitos dan mistik.

 Ketika kelompok agamawan masuk dalam lingkaran kekuasaan. Pertanyaannya adalah apakah ada jaminan kuasa moral bisa mengalahkan amoral realitas politik sekarang? Belum lagi oknum-oknum politik yang mengunakan agama untuk kepentingan politik jangka pendek dan sesaat. 

Harus diakui bahwa agama adalah entry point yang paling empuk dimanfaatkan oleh para petualang politik. Masyarakat masih memiliki keyakinan bahwa ada banyak ulama yang berpolitik bertujuan untuk memberikan dialektika pencerahan dan berkontribusi penuh dalam mencerdaskan bangsa indonesia serta menjaga jarak dengan lingkaran kekuasaan serta mengontrol jalannya kekuasaan. 

Termasuk saya masih memiliki keyakinan masih banyak kyai pesantren dan masjid yang  mampu mempertahankan eksistensinya dari godaan politik sesaat serta menjaga umat dari perpecahaan.(*)

Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua