Opini

Literasi di Luar Seremoni

Literasi di Luar Seremoni
Slamet Wahyudi Yulianto

Oleh
Slamet Wahyudi Yulianto
Kepala Pusat Bahasa Universitas Subang

Sebut saja Mang Engkus, penjual sayur rumahan yang sudah lebih tiga tahun menjajakan berbagai jenis sayuran dan bahan masakan rumahan mentah di teras rumahnya di daerah Cijambe, Subang. Satu hari, saat saya dapat giliran belanja (iya, saya dan istri sepakat bergantian belanja bahan masakan dan hanya boleh belanja ke warung sekitaran rumah) bahan masakan untuk stok kebutuhan di rumah, saya melihat banyak barang jualan Mang Engkus yang menumpuk dan sebagian besar sudah busuk. Sebagai pembanding, saya sering kehabisan stok belanjaan di Mang Engkus karena bisa dibilang sebagai seorang pembeli sayuran dan bahan masakan, saya selalu jadi orang terakhir yang beliau layani di hari ketika saya dapat giliran belanja. Dengan kata lain, biasanya, dagangan beliau laris dan cepat habis.

Dari perbincangan ringan kami saat itu, Mang Engkus mengeluhkan bahwa beberapa minggu terakhir banyak pelanggan yang mengaku memilih membeli masakan jadi untuk kebutuhan rumah mereka daripada membeli bahan masakan karena dirasa lebih murah. Itu menjadi penyebab utama dagangan beliau menumpuk hingga sebagian membusuk. Padahal, sepengetahuan saya, dan dikonfirmasi Mang Engkus, cukup banyak komoditas sayuran dan bahan makanan seperti waluh, terong, telor ayam negeri, cabai, dan tomat, yang harganya turun beberapa ratus rupiah.

Ternyata, setelah mencuri dengar pembicaraan tetangga saat ngopi sambil menemani anak bermain dengan sebaya di halaman depan warung Teh Anah (tentu juga bukan nama sebenarnya), tetangga rumah yang membuka warung kecil-kecilan, cukup banyak kondisi ekonomi warga kampung tempat saya tinggal yang sedang tidak baik-baik saja. Ada supir angkot yang sehari hanya dapat tiga-empat penumpung. Ada pegawai pabrik tekstil yang kena PHK. Ada buruh harian lepas yang hampir setahun tidak dapat panggilan dari dunungan. Ada penjaga kolam ikan yang kebingungan karena langganan tempat mengirimkan hasil panennya memutus ‘kontrak’ tiba-tiba. Sempat juga mendengar cerita dari pegawai BPJS bahwa cukup banyak peserta BPJS ketenagakerjaan yang mencairkan ‘tabungan’ mereka dengan alasan pemutusan hubungan kerja.

Kemudian secara makro diketahui bahwa ada sekian juta kelas menengah di negara kita yang turun mendekati garis kemiskinan karena berbagai sebab di mana salah satun di mana salah satunya adalah rencana kenaikan Pajak Penambahan Nilai (PPN) menjadi 12% di awal tahun 2025. Singkatnya, meminjam istilah para pakar dan pengamat ekonomi, terdapat penuruan daya beli masyarakat kita secara perlahan dan konsisten. Ini bukan kabar yang menyenangkan, baik secara makro maupun mikro.

Banyak hal bisa jadi penyebab fenomena yang mengkhawatirkan ini. Sudah banyak artikel ilmiah, berita, dan esai populer yang menganalisis pelemahan daya beli masyarakat ini dari sudut pandang ekonomi, politik, bahkan budaya. Ada kesamaan antara minat baca dan daya beli kebanyakan kita akhir-akhir ini. Keduanya merosot dan terus anjlok. Bedanya, kabar minat baca yang rendah sudah bertahun kita ketahui dan sikapi (meski mesti diakui tidak banyak berdampak); turunnya daya beli belum lama ini kita sadari. Dalam tulisan ini, saya akan coba kaitkan kondisi ini dengan kenyataan miris lain yang telah lama kita ketahui tapi hampir tidak ada tindakan berarti yang bisa kita lakukan untuk mengakhiri; rendahnya minat baca sebagian besar masyarakat kita.

Minat Baca dan Daya Beli
Umum diketahui bahwa minat baca memiliki kaitan dengan banyak sekali bidang, termasuk kemampuan mengelola keuangan. Secara selintas memang tidak bisa dilihat hubungan langsung antara deflasi (yang menjadi salah satu indikator rendahnya daya beli masyarakat) dengan rendahnya minat baca di masyarakat kita. Tidak juga bisa dikatakan bahwa jika minat baca masyarakat kita tinggi maka deflasi tidak akan sampai terjadi, karena banyak sekali penyebab dan penanda menurunnya daya beli suatu komunitas.

Tetapi, saya bisa dengan yakin katakan bahwa ketika minat baca masyarakat kita tinggi, fenomena turunnya daya beli tidak akan berakhir pada apa yang ditakutkan banyak pihak; krisis ekonomi. Dengan minat baca yang tinggi, di mana bisa diasumsikan bahwa kapasitas berpikir dan memahami situasi yang juga mumpuni, masyarakat kita dapat menyikapi dengan, misal, membelanjakan uang untuk membeli produk-produk lokal demi menjaga perputaran ekonomi.

Dengan minat membaca masyarakat kita tinggi, kita tentu bisa berasumsi bahwa kapasitas berpikir dan berpikir rasional masyarakat kita tinggi, berbagai tindakan tidak masuk akal seperti iseng main judi online sampai terjerat pinjaman online tentu bisa dihindari. Masyarakat tentu akan lebih memilih melakukan belanja produktif daripada mengadu nasib. Tragedi judi online penting dibahas meski selintas ketika berbicara tentang turunnya daya beli masyarakat kita sebab cukup banyak penelitian yang berhasil menyimpulkan kaitan antara transaksi judi online yang mencapai ribuan triliun rupiah turut berkontribusi terhadap meningkatnya persentasi masyarakat miskin di negara kita. Di mana, salah satu indikatornya adalah menurunnya daya beli. 

Kenyataannya, kemampuan warga negara kita dalam memahami teks sederhana masih mengkhawatirkan. Kenyataan ini diperparah dengan temuan penelitian terbaru yang menyimpulkan bahwa banyak siswa sekolah menengah kita tidak mampu menunjukkan bahwa mereka memiliki kompetensi literasi dasar yang mumpuni.

Selain itu, banyak juga penelitian yang membuktikan bahwa bahkan untuk melakukan operasi matematika sederhana pun banyak dari mereka yang mengalami kesulitan. Meski demikian, di tengah berbagai kesuraman kondisi sosial dan ekonomi yang mengepung, cukup banyak hal yang saya kira bisa menahan kita untuk sepenuhnya pesimis akan masa depan. Paling tidak, beberapa dari kita tidak menyerah dan terus berbuat untuk memperbaiki kondisi.

Literasi Esensi
Membincangkan minat dan kemampuan membaca tidak bisa lepas dari kata yang selama ini sudah mencapai titik jenuh dan menjadi buzz word karena terus digaungkan meski sering luput menyentuh inti persoalan. Kata tersebut adalah literasi. Sejak tahun 2016 negara kita melalui Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan telah mencanangkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) di mana literasi finansial merupakan salah satu dari enam jenis literasi yang mendapatkan fokus perhatian.

Tetapi, sangat disayangkan, bahkan gerakan yang diinisiasi pemerintah pusat tersebut pun belum banyak membuahkan hasil. Bahkan setelah dihadirkan Binda Literasi di setiap kabupaten/kota. Menyikapi ini, ada baiknya jika upaya peningkatan literasi ini lebih massif dan personal. Jadikan program-program peningkatan literasi lebih sederhana dan membumi. Jadikan setiap ibu sebagai Bunda Literasi. 

Di luar gegap gempita program penguatan literasi, ada yang kerap luput dari perhatian berbagai pihak dan penggiat; literasi esensi. Seyogyanya, literasi bukan hanya tentang membaca dan menulis. Literasi juga tentang cara berpikir dan memandang suatu fenomena secara logis dan wajar; tentang bagaimana sebuah informasi dapat dicerna dan dimanfaatkan untuk kepentingan banyak orang.

Menyadarkan lingkup komunitas terkecil termasuk keluarga dan lingkar pertemanan untuk membangun dan membiasakan setiap kita mempertanyakan informasi baik lisan maupun tulisan sepertinya lebih penting daripada keterlibatan selintas pada ingar bingar kegiatan literasi seremonial yang diselenggarakan pemerintah bahkan sekolah.

Tag :
Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua