Opini

Mengungkap Fenomena Banjir dan Longsor di Sukabumi dari Sudut Pandang Geografi

OPINI

Oleh : Yulia Enshanty, S.Pd

(Mahasiswa Magister Pendidikan Geografi Pascasarjana Universitas Siliwangi, Guru Geografi di SMAN 1 Warungkiara, Kabupaten Sukabumi)

Banjir bandang dan longsor melanda Kabupaten Sukabumi pada Rabu, 4 Desember 2024, setelah beberapa hari intensitas hujan yang tak kunjung reda. Curah hujan yang tinggi selama periode tersebut mengakibatkan sungai-sungai meluap, sementara tanah yang sudah jenuh air mengalami penurunan stabilitas. Kejadian ini menyebabkan aliran air yang deras dan longsoran tanah di berbagai titik, merusak infrastruktur, serta mengancam keselamatan warga. Banyak rumah yang terendam, jalan-jalan terputus, dan akses menuju daerah-daerah tertentu menjadi terhambat. Situasi ini menggambarkan betapa rentannya daerah ini terhadap perubahan cuaca ekstrem, yang diperparah oleh faktor-faktor manusia dan kondisi geografis setempat.

Dari sudut pandang geografi, terdapat beberapa faktor yang signifikan dalam mempengaruhi terjadinya bencana banjir bandang dan longsor di Kabupaten Sukabumi. Pertama, topografi daerah ini yang berbukit dan bergunung menciptakan tantangan tersendiri dalam distribusi aliran air. Dengan adanya kemiringan tanah yang curam, daerah-daerah tersebut menjadi lebih rentan terhadap longsor, terutama saat hujan deras mengguyur. Air hujan yang jatuh di wilayah tinggi tidak dapat diserap dengan baik oleh tanah yang jenuh, sehingga mengalir dengan cepat ke arah bawah. Proses ini membawa serta material tanah dan batuan, yang kemudian menyebabkan longsoran. Selain itu, struktur geologi daerah ini, yang terdiri dari lapisan tanah lempung dan batuan, juga berkontribusi pada tingginya risiko longsor (Sugianti et al., 2016). Tanah lempung memiliki daya serap air yang rendah, sehingga ketika terpapar hujan terus-menerus, ia cenderung kehilangan stabilitas. Kombinasi antara topografi yang curam, jenis tanah yang tidak mendukung, dan curah hujan yang ekstrem membuat Kabupaten Sukabumi sangat rentan terhadap bencana alam, menciptakan siklus berbahaya yang membahayakan kehidupan dan harta benda masyarakat.

Vegetasi memainkan peran yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem, terutama dalam konteks pencegahan bencana alam. Hutan dan tanaman tidak hanya berfungsi sebagai penyangga alami yang menyerap air hujan, tetapi juga membantu mempertahankan struktur tanah dan mencegah erosi (Lann et al., 2024). Akar tanaman berperan dalam mengikat tanah, sehingga mengurangi potensi longsor dan aliran air yang berlebihan. Namun, praktik penebangan hutan yang dilakukan secara terus-menerus untuk kepentingan pertanian dan pembangunan infrastruktur secara signifikan menghilangkan fungsi vital ini. Deforestasi yang tidak terencana menyebabkan hilangnya tutupan vegetasi, yang pada gilirannya meningkatkan aliran air ke permukaan tanah dan memperburuk erosi. Ketika hutan ditebang, tanah menjadi lebih rentan terhadap kejadian bencana seperti banjir bandang dan longsor, karena tidak ada lagi penahan yang efektif untuk menyerap air hujan. Selain dampak langsung terhadap ekosistem, hilangnya vegetasi juga berdampak pada keanekaragaman hayati dan mengganggu habitat alami bagi banyak spesies. Dengan demikian, penebangan hutan tidak hanya meningkatkan risiko bencana, tetapi juga membawa konsekuensi jangka panjang bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam tersebut.Iklim di Sukabumi memiliki kontribusi yang signifikan terhadap terjadinya bencana alam seperti banjir dan longsor. Daerah ini dikenal dengan iklim lembap dan curah hujan yang tinggi, yang merupakan karakteristik khas dari wilayah tropis (Aliyah et al., 2022). Curah hujan yang intens, terutama selama musim hujan, dapat menyebabkan akumulasi air yang berlebihan di tanah dan sungai-sungai. Namun, perubahan iklim yang sedang berlangsung menyebabkan fluktuasi ekstrem dalam pola curah hujan, dengan periode hujan lebat yang berdekatan dengan kekeringan yang berkepanjangan. Fluktuasi ini tidak hanya mengganggu keseimbangan ekosistem, tetapi juga meningkatkan risiko terjadinya bencana.

Di samping faktor alam dan geografi, peran manusia dalam memperburuk situasi bencana di Kabupaten Sukabumi sangat signifikan dan tidak dapat diabaikan. Salah satu tindakan yang paling merugikan adalah penebangan hutan yang dilakukan untuk kepentingan pertanian dan permukiman. Ketika hutan ditebang, daya dukung tanah berkurang secara drastis, mengurangi kemampuan tanah untuk menyerap air dan menahan material. Hal ini membuat tanah lebih rentan terhadap erosi dan longsor, terutama saat hujan lebat.

Penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan, seperti praktik pertanian monokultur, juga turut meningkatkan risiko bencana. Pertanian monokultur mengurangi keanekaragaman hayati dan mengganggu keseimbangan ekosistem, yang pada gilirannya mengurangi ketahanan tanah terhadap erosi. Tanaman yang ditanam secara bersamaan juga lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit, memaksa petani untuk menggunakan lebih banyak pestisida dan pupuk kimia yang dapat mencemari tanah dan air. Selain itu, pembangunan infrastruktur yang tidak terencana sering kali mengabaikan aspek lingkungan. Proyek seperti pembangunan jalan, jembatan, dan pemukiman baru sering dilakukan tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap aliran air dan ekosistem lokal. Ketika aliran air terganggu, air hujan dapat terakumulasi di area tertentu, meningkatkan risiko banjir. Dalam beberapa kasus, proyek-proyek ini juga dapat menyebabkan penumpukan material di sungai dan saluran drainase, yang memperburuk masalah banjir saat curah hujan tinggi.

Kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan merupakan faktor krusial yang mempengaruhi terjadinya bencana di Kabupaten Sukabumi. Pendidikan lingkungan yang minim menyebabkan masyarakat tidak sepenuhnya memahami hubungan antara tindakan mereka dan dampak yang ditimbulkan terhadap ekosistem. Banyak individu yang masih menganggap bahwa aktivitas sehari-hari, seperti penebangan pohon sembarangan atau penggunaan lahan yang tidak berkelanjutan, tidak memiliki konsekuensi jangka panjang. Tanpa pemahaman yang memadai tentang bagaimana tindakan mereka dapat merusak lingkungan, masyarakat cenderung mengabaikan praktik-praktik ramah lingkungan. Misalnya, kurangnya pengetahuan tentang pentingnya vegetasi dalam mencegah erosi tanah membuat banyak orang beralih ke metode pertanian yang merusak, seperti penebangan hutan untuk lahan pertanian. Selain itu, informasi yang terbatas mengenai mitigasi bencana dan langkah-langkah pencegahan membuat masyarakat tidak siap menghadapi risiko yang mungkin muncul akibat perubahan lingkungan.

Pendidikan yang lebih baik tentang isu-isu lingkungan sangat diperlukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Program-program penyuluhan yang melibatkan komunitas lokal, sekolah, dan organisasi non-pemerintah dapat membantu menyebarkan informasi mengenai pentingnya menjaga keseimbangan ekosistem dan dampak negatif dari tindakan yang tidak bertanggung jawab. Dengan meningkatkan pemahaman ini, masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi aktif dalam upaya pelestarian lingkungan, serta lebih siap dalam menghadapi risiko bencana yang mungkin timbul. Pendidikan lingkungan yang efektif tidak hanya akan menghasilkan masyarakat yang lebih sadar akan tanggung jawab mereka terhadap lingkungan, tetapi juga membangun ketahanan masyarakat terhadap bencana alam. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan kesadaran lingkungan harus menjadi bagian integral dari strategi mitigasi bencana dan pengelolaan sumber daya alam di daerah ini.

Upaya terintegrasi yang melibatkan pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta juga sangat diperlukan untuk mitigasi bencana. Langkah-langkah yang dapat diambil termasuk reboisasi dan penghijauan untuk mengembalikan fungsi hutan, serta meningkatkan pendidikan lingkungan untuk menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menjaga ekosistem. Perencanaan tata ruang yang berkelanjutan sangat penting untuk memastikan pembangunan infrastruktur mempertimbangkan aspek geografis. Selain itu, kolaborasi antara berbagai pihak dalam penelitian dan pengembangan teknologi ramah lingkungan dapat membantu menciptakan solusi inovatif untuk mengatasi masalah yang ada. Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, diharapkan upaya mitigasi dapat dilakukan secara lebih efektif, mengurangi risiko bencana, dan membangun ketahanan komunitas terhadap dampak perubahan lingkungan. (*)

Tag :
Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua