Oleh
Karyono, S.Si, M.Si, (Alumni Fak Geografi Universitas Muhammadiyah Surakarta, S2 Ilmu Lingkungan UNS, Konsultan, Researcher, Trainer dan Pimpinan Pondok Pesantren Tahfidzul Quran (PPTQ) LAUHUL MAHFUZH di Wonosari, Klaten, Jawa Tengah)
Ketika istilah Baitul Mal dimunculkan, maka jangan disamakan dengan Baitul Mal wal Tamwil (BMT) yaitu suatu lembaga / koperasi syariah yang bergerak di berbagai lini kegiatan ekonomi umat, dalam kegiatan sosial, keuangan (simpan-pinjam), dan usaha pada sektor riil yang biasanya digunakan oleh sebuah lembaga khusus (perusahaan/instansi), menghimpun dan menyalurkan ZIS (zakat, infaq, shadaqah) dari para pegawai atau karyawan kemudian membudidayakannya dengan cara menyalurkan harta zakat kepada pedagang kecil dalam bentuk mudlorobah, murabahah, ijaraha dan lain sebagainya agar harta zakat tersebut bermanfaat maksimal bagi perekonomian ummat. Al Quran memang tidak secara tegas menyebut tentang “Baitul Mal”, kemudian istilah itulah yang kemudian dipahami paling mendekati perintah-perintah Allah, yang dimana merujuk pada QS At Taubah ayat 60 dan QS Al Baqarah ayat 282, dapat diketahui adanya perintah untuk membentuk suatu lembaga yang khusus menangani persoalan muamalah atau transaksi-transaksi keuangan di kalangan umat Islam. Al Quran juga menerangkan tentang pentingnya untuk melakukan pencatatan dan akad dalam melakukan transaksi – transaksi, baik mengenai keuangan maupun harta benda.
Baitul Mal berasal dari bahasa Arab bait yang berarti rumah, dan al-mal yang berarti harta. Jadi secara etimologis (ma‟na lughawi) Baitul Mal berarti rumah untuk mengumpulkan atau menyimpan harta. Adapun secara terminologis (ma‟na ishtilahi), sebagaimana uraian Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Al Amwaal Fi Daulah Al Khilafah, Baitul Mal adalah suatu lembaga atau pihak (Arab: al jihat) yang mempunyai tugas khusus menangani segala harta umat baik berupa pendapatan maupun pengeluaran negara. Jadi setiap harta baik berupa tanah, bangunan, barang tambang, uang, komoditas perdagangan, maupun harta benda lainnya di mana kaum muslimin berhak memilikinya sesuai hukum syara' dan dimana yang berhak atas harta tersebut menerimakannya sebagai pemasukan bagi Baitul Mal. Adapun sumbernya dari berbagai sektor pendapatan negara antara lain zakat, fai', ghanimah/anfal, kharaj, jizyah, usyuur, khumus dari rikaz, serta tambang (rikaz) dan lain-lain yang ditentukan negara demi kemaslahatan umum. Sedang pentasharrufannya pada enam sektor, yaitu: (1) mustahiq zakat, (2) pembiayaan angkatan perang (jihad), (3) membayar gaji pegawai negara, (4) untuk kemaslahatan umum, (5) pembangunan sarana umum, dan (6) untuk menanggulangi kondisi darurat, semisal bencana alam.
Dalam sejarah Islam Baitul Mal merupakan salah satu lembaga dalam negara yang tugas utamanya adalah mengelola segala pemasukan dan pengeluaran negara. Hanya saja, harta zakat diletakkan pada kas khusus Baitul Mal, dan tidak diberikan selain untuk delapan ashnaf (kelompok) yang telah disebutkan di dalam Al Qur'an. Harta itu diletakkan pada Diwan khusus Baitul Mal, dan tidak boleh dicampuradukkan dengan yang lain. Sedangkan harta-harta yang lain, yang merupakan hak Baitul Mal, diletakkan secara bercampur pada Baitul Mal dengan harta yang lain, serta dibelanjakan untuk urusan negara dan urusan umat, juga delapan ashnaf, dan apa saja yang penting menurut pandangan negara. Apabila harta-harta ini cukup untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan rakyat, maka cukuplah dengan harta tersebut. Apabila tidak, maka negara berhak mewajibkan pajak (dharibah) kepada seluruh kaum muslimin, untuk menunaikan tuntutan dari pelayanan urusan umat (An Nabhani, 1990). Adapun sejarah singkat perjalanan Baitul Mal telah dipraktekkan dalam sejarah Islam yaitu ; a. Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M); Pos masukan negara pada awal pemerintahan Rasulullah terdiri dari tiga Pos yaitu sumber pendapatan dari kaum muslimin, sumber pendapatan dari Non Muslim dan dari hal hal lain yang di syahkan secara syari. Berawal dari peristiwa Perang Badr, dimana saat itu para shahabat berselisih paham mengenai cara pembagian ghanimah tersebut sehingga turun firman Allah SWT dalam QS Al AnFaal ayat 72, bahwa Allah melalui Rosulnya memberikan penegasan hukum tentang pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum muslimin. Disisi lain Rosulullah juga memiliki otoritas untuk memberdayakan Harta tersebut untuk kemaslahantan umat bersama Waliyyul Amri sesuai kepentingan umum dan di bawah kendali Rosulullah SAW. b. Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M) ; Ketika pemerintahan beralih ke tangan Abu Bakar, tahun pertama maka Abu bakar masih menerapkan sistem sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rosulullah (11 H/632 M). Jika datang harta kepadanya dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, Abu Bakar membawa harta itu ke Masjid Nabawi dan membagi-bagikannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya. Baitul mal dalam fungsi dan arti yang lebih luas mulai dirintis pada tahun kedua kekahlifahan Abu bakr (12 H/633 M), dimana Baitul Mal bukan sekedar berarti pihak mendistribusikan harga yang menjadi hak ummat namu juga merupakan tempat kas negara sampai kewafatan beliau pada tahun 13 H/634 M. c. Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M) ; Pada masa Umar bin Khaththab menjadi khalifah kondisi yang di warisi dari abu bakr adalah kondisi yang sangat sederhana, sampai sampi kantor kas negara berada di rumah Abu Bakr, dan seluruh harta ini tergunakan tanpa ada sisa, sampai ada riwayat yang menyatakan ”Setelah Abu Bakar wafat dan Umar bin Khaththab menjadi Khalifah, beliau mengumpulkan para bendaharawan kemudian masuk ke rumah Abu Bakar dan membuka Baitul Mal. Dan kemudian membangun sebuah rumah khusus untuk menyimpan harta, membentuk diwan-diwannya (kantor-kantornya), mengangkat para penulisnya, menetapkan gaji-gaji dari harta Baitul Mal, serta membangun angkatan perang. d. Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M) ; Karena pengaruh yang besar dan kaum keluarganya, tindakan Usman banyak mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal karena Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa pemerintahannya. dan Ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. e. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M) ; Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir, mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan. f. Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya ; Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah, kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat. Keadaan di atas berlangsung sampai datangnya Khalifah ke-8 Bani Umayyah, yakni Umar bin Abdul Aziz (memerintah 717-720 M). Umar berupaya untuk membersihkan Baitul Mal dari pemasukan harta yang tidak halal dan berusaha mendistribusikannya kepada yang berhak menerimanya.
Adapun sumber pendapatan baitul mal dapat dibagi menjadi dua bagian, antara lain: 1. Sumber dauriyyah Yaitu sumber keuangan yang dikumpulkan dalam waktu-waktu tertentu dalam satu tahun berjalan. Di antaranya: Zakat ; kadar harta tertentu yang wajib dikeluarkan kepada orang yang membutuhkan atau yang berhak menerimanya dengan beberapa syarat tertentu sesuai dengan syariat Islam. Kharaj (pajak tanah); adalah jenis pajak yang dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukan oleh kekuatan senjata, terlepas dari apakah si pemilik itu seorang yang di bawah umur, seorang dewasa, seorang bebas, budak, muslim ataupun tidak beriman. Jizyah; Jizyah adalah pajak per kapita yang diberikan pada penduduk non-Muslim pada suatu negara di bawah peraturan Islam, karena mereka telah menikmati beberapa hak, termasuk memanfaatkan sarana-sarana umum, terjaminya keamanan diri dan harta mereka kepada pemerintahan Islam. Al Usyur (bea cukai); Usyur adalah pajak perdagangan yang dikenakan kepada pedagang muslim ataupun non muslim yang melakukan transaksi bisnis di negara islam. 2. Sumber ghair dauriyyah, Artinya sumber keuangan yang dimasukkan ke dalam baitul mal tanpa periode tertentu dalam tahun berjalan, diantaranya: Ghanimah dan fai; Ghanimah adalah harta kekayaan yang diperoleh orang-orang muslim dari non muslim melalui peperangan. Sedangkan Fa’I adalah harta rampasan yang diperoleh kaum Muslimin tanpa pertempuran atau dengan cara damai. Barang Tambang (ma’din) dan Harta Terpendam (rikaz) ; Ma’din adalah hasil tambang yang terdapat dalam kawasan tanah negara. Rikaz adalah harta yang didapat dari hasil temuan peninggalan masa lampau. Harta Warisan dan Wasiat ; Harta ini merupakan harta dari warisan orang yang sudah meninggal dan tidak memiliki ahli waris Shadaqah Tatawwu’ ; Harta yang diperoleh dari orang Islam yang ingin membantu orang yang lemah dengan niat mendapat pahala di sisi Allah SWT. Nazar dan Kafarat ; Nazar adalah harta yang diperoleh dari seseorang yang berniat untuk memberikannya setelah keinginannya terwujud. Kafarat adalah harta yang diperoleh seseorang dari denda karena telah melanggar aturan Allah.
Prinsip pengelolaan harta Baitul Mal menurut uraian Taqiyyuddin An Nabhani adalah : pertama, Harta yang mempunyai kas khusus dalam Baitul Mal, yaitu harta zakat. Harta tersebut adalah hak delapan ashnaf yang akan diberikan kepada mereka, bila harta tersebut ada, kedua Harta yang diberikan Baitul Mal untuk menanggulangi terjadinya kekurangan, serta untuk melaksanakan kewajiban jihad. Misalnya nafkah untuk para fakir miskin dan ibnu sabil, serta nafkah untuk keperluan jihad. Apabila harta tersebut ada, maka seketika itu wajib diberikan atau sebaliknya, ketiga Harta yang diberikan Baitul Mal sebagai suatu pengganti/kompensasi (badal/ujrah), yaitu harta yang menjadi hak orang-orang yang telah memberikan jasa, seperti gaji para tentara, pegawai negeri, hakim, tenaga edukatif, dan sebagainya. Apabila tidak ada, maka negara wajib mengusahakannya, dengan cara memungut harta yang diwajibkan atas kaum muslimin, keempat Harta yang dikelola Baitul Mal yang bukan sebagai pengganti/ kompensasi (badal/ujrah), tetapi yang digunakan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan secara umum, misalnya sarana jalan, air, bangunan masjid, sekolah, rumah sakit, dan sarana-sarana lainnya, yang urgen, kelima Harta yang diberikan Baitul Mal karena adanya kemaslahatan dan kemanfaatan, bukan sebagai pengganti/kompensasi (badal/ujrah), misalnya pembuatan jalan alternatif membuka rumah sakit baru, dan keenam Harta yang disalurkan Baitul Mal karena adanya unsur kedaruratan, semisal paceklik/kelaparan, angin taufan, gempa bumi, atau serangan musuh dan jika harta tidak ada wajib dikumpulkan dari kaum muslimin seketika itu juga.
Di masa sekarang, baitul mal dapat dikaitkan dengan beberapa lembaga yang sudah berdiri di Indonesia. Di masa kini seluruh fungsi Baitul Maal (menghimpun dana ZISWAF, sebagai bendahara, mengelola keuangan, menyejahterakan masyarakat, dan membuat kebijakan seputar ekonomi negara) dijalankan oleh badan negara secara terpisah, tidak tersentralisasi seperti di masa kekhalifahan. Jadi, Baitul Mal di masa kontemporer lebih menjadi beberapa pecahan dari fungsi lembaga Baitul Mal. Bukan menjadi sistem perekonomian yang terpusat kepada satu lembaga seperti saat masa Rasulullah SAW. Kini sistem perekonomian negara dipegang oleh beragam lembaga yang memiliki fungsi dan perannya masing masing yang terkadang overlay tupoksi dan rawan kepentingan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pertumbuhan pendapatan perekonomian domestik sebesar 3,69% pada tahun lalu. PDB per kapita Indonesia tahun 2023 mencapai Rp 75 juta per kapita. Sebagai informasi, pendapatan per kapita adalah ukuran jumlah uang yang diperoleh per orang di suatu negara atau wilayah geografis dan dapat digunakan untuk menentukan pendapatan rata-rata per orang untuk suatu daerah dan untuk mengevaluasi standar hidup dan kualitas hidup penduduk. Potensi tersebut baru berasal dari satu sumber pendapatan dauriyyah (padahal masih banyak sumber pendapatan dauriyah (Zakat, Kharaj, Jizyah dan Al Usyur ) dan pendapatan ghoir dauriyyah ( Ghanimah dan fai, ma’din, rikaz, Harta Warisan dan Wasiat Shadaqah Tatawwu’, Nazar dan Kafarat) yang belum dirilis. Apabila potensi pendapatan muslim Indonesia dapat diwujudkan dan dikelola Baitul Mal sebagaimana yang diterapkan Rosululloh SAW, baik obyek, subyek yang terkena pajak maupun aktifitas yang berada dikeduanya akan dapat membawa Indonesia menjadi “Negeri yang baik (Baldatun Thoyyibatun)” bisa mencakup seluruh kebaikan alamnya, dan “Rabb yang maha pengampun (Rabbun Ghafur)” bisa mencakup seluruh kebaikan perilaku penduduknya sehingga mendatangkan ampunan dan kebarokahan dari Allah SWT. Mengapa demikian ? karena Islam memang sudah mengatur sedemikian rupa siklus maupun aspek tatanan kehidupan ini yang terbaik buat manusia. Ambil saja contoh tafsir QS At Taubah ayat 60, Surat Al-Baqarah Ayat 282, Surat Al-Anfal Ayat 72 baik Tafsir Al-Muyassar, Tafsir Al-Madinah Al-Munawwarah, Zubdatut Tafsir Min Fathil Qadir, maupun Tafsir Ibnu Katsir menunjukan dengan jelas syarat yang berhak (orang islam/non islam) membagi, memungut, siapa yang terkena zakat, pajak, hutang piutang harus jelas pencatatan dan syaratnya mulai dari waktunya, tempatnya, yang terkena tuntutan, hukuman, manfaat maupun mudhorot, asal usul harta, saksi transaksi, pajak atau sumber dari Baitul Mal tersebut. InsyaAllah, islam mengatur semuanya dengan cantik dan rinci mulai dari hulu hingga hilir dalam semua aspek kehidupan tanpa diskriminasi tidak saja bisa melakukan fungsi Budgeting, Controlling dan Regulating tetapi juga mengacu pada penciptaan mekanisme distribusi ekonomi dilakukan secara adil, transparan dan accountable. Wallahualam Bissawab