PASUNDAN EKSPRES- Honda, sebuah nama yang tak asing lagi di telinga pecinta sepeda motor di Indonesia.
Dengan dominasinya yang tak terbantahkan di pasar otomotif Tanah Air, baik dalam segmen motor matic maupun sport 150cc, Honda telah menjadi pilihan utama bagi banyak orang.
Namun, di balik popularitasnya, muncul pertanyaan mengapa sebagian besar orang tampaknya lebih cenderung mencaci daripada memuji Honda.
Honda memasuki pasar Indonesia sejak 1971 di bawah PT Federal Motor, dengan meluncurkan motor S90Z yang mendapat sambutan positif.
Kesuksesan awal ini membangun fondasi kuat bagi Honda, dan beberapa produknya, seperti Honda C70 atau yang lebih dikenal dengan sebutan SuperCup, bahkan menjadi legenda di masyarakat.
Namun, seiring berjalannya waktu, terdapat beberapa perubahan yang menggoyahkan citra Honda di mata konsumen.
Salah satunya adalah saat krisis moneter tahun 1997-1998, di mana PT Federal Motor terpaksa menjual sebagian sahamnya kepada Honda Jepang.
Meskipun akuisisi ini diharapkan meningkatkan kualitas produk Honda, tidak semua ekspektasi terpenuhi.
Salah satu masalah utama yang dihadapi pengguna Honda adalah penurunan kualitas dalam hal finishing dan material bodi.
Contohnya adalah pada model Honda Supra yang memiliki masalah getaran pada kepala motor. Meskipun kondisi jalan yang buruk di Indonesia turut memperparah masalah ini, namun tidak dapat dipungkiri bahwa beberapa bagian dari produk Honda memiliki kelemahan dalam hal ketahanan.
Selain itu, muncul pula berita-berita yang menimbulkan keraguan, seperti masalah CVT pada beberapa model Honda yang sering mengalami overheat dan bahkan terbelah dua.
Meskipun beberapa kasus tersebut disebabkan oleh kesalahan pengguna, namun hal ini tetap merusak reputasi Honda.
Faktor lain yang turut memperburuk citra Honda adalah praktik black campaign yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Black campaign menjadi senjata ampuh dalam menggoyahkan kepercayaan konsumen dan merusak citra produk pesaing.
Meskipun sulit untuk membuktikan siapa pelakunya, namun dampaknya terasa jelas dalam penurunan citra Honda.
Terakhir, ada masalah internal di Honda sendiri yang tidak bisa diabaikan. Pelayanan servis yang kurang memuaskan dan lambat dalam pemenuhan suku cadang menjadi sorotan tersendiri bagi konsumen.
Selain itu, terdapat kecenderungan Honda untuk lebih memprioritaskan kuantitas daripada kualitas, yang akhirnya mempengaruhi pengalaman pengguna secara keseluruhan.
Dengan demikian, kekecewaan terhadap produk Honda, praktik black campaign, dan masalah internal di perusahaan sendiri menjadi faktor utama mengapa Honda banyak yang dibenci di Indonesia.
Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa tidak semua pengalaman negatif berlaku secara universal, dan masih banyak konsumen yang setia pada merek ini.
Masing-masing individu memiliki pandangan dan pengalaman yang berbeda terhadap Honda, dan pada akhirnya, itu adalah pilihan pribadi masing-masing untuk mencintai, membenci, atau bahkan merasa biasa-biasa saja terhadap merek ini.