PASUNDAN EKSPRES - Simak selengkapnya informasi mengenai apakah benar imunisasi dapat merusak sel dan DNA menurut penjelasan Kemenkes (Kementerian Kesehatan).
Sebuah video beredar di media sosial baru-baru ini yang menyampaikan informasi keliru tentang bahaya imunisasi bagi anak-anak.
Narasi dalam video tersebut menyebutkan, imunisasi dapat merusak sel dan DNA, sehingga menyebabkan penyakit autoimun, meningitis, dan penyakit lainnya.
Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan RI dr. Prima Yosephine, M.K.M. menegaskan, narasi dalam video tersebut sangat keliru dan menyesatkan.
Ia mengimbau masyarakat untuk mencari informasi yang valid dari sumber terpercaya, seperti situs resmi Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC).
"Narasi ini sangatlah salah. Imunisasi tidak dapat merusak sel dan DNA. Kami menyarankan masyarakat untuk mencari informasi yang benar dari website Kemenkes, WHO, CDC," ucap Prima, dikutip dari laman resmi Kementerian Kesehatan, Selasa (9/7).
Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI) Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari, SpA(K), M.Trop.Paed. menambahkan, narasi tentang kerusakan sel dan DNA akibat imunisasi sudah lama beredar.
Hingga saat ini, tidak ada bukti ilmiah yang mengaitkan imunisasi dengan kerusakan sel dan DNA, penyakit autoimun, maupun meningitis.
"Isu ini sudah ada sejak tahun 2002, dan sampai saat ini belum ada bukti yang mengaitkan kerusakan DNA, autoimun dan meningitis dengan vaksinasi yang diberikan," papar Prof. Hindra.
Faktanya, imunisasi adalah upaya pemberian vaksin untuk melindungi seseorang dari penyakit tertentu dan meningkatkan kekebalan tubuh terhadap berbagai penyakit menular pada masa mendatang.
Imunisasi tidak hanya melindungi individu dari serangan penyakit serius, tetapi juga melindungi masyarakat dengan membantu membangun kekebalan komunitas dan meminimalkan penyebaran penyakit.
Kemenkes RI telah menekankan bahwa imunisasi tepat waktu pada masa anak-anak sangat penting.
Hal ini karena imunisasi membantu memberikan kekebalan sebelum anak-anak terpapar penyakit yang berpotensi mengancam jiwa.
Selain itu, vaksin yang diberikan telah teruji aman dan efektif untuk anak-anak pada usia yang direkomendasikan.
Efek samping imunisasi yang umum terjadi adalah nyeri, demam, atau sakit kepala. Efek samping ini dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI).
Akan tetapi perlu diingat bahwa KIPI tidak selalu terjadi dan manfaat imunisasi jauh lebih besar dibandingkan risiko efek sampingnya.
Imunisasi juga membantu mengurangi kecemasan orang tua terhadap penyakit berbahaya dan menular pada anak-anak.
Dengan imunisasi, orang tua dapat merasa lebih yakin bahwa anak-anak mereka akan tumbuh kembang dengan sehat dan aman.
Beberapa penyakit yang dapat dicegah melalui imunisasi antara lain hepatitis B, tuberkulosis (TB), tetanus, difteri, pertusis, polio, meningitis, pneumonia, campak, dan rubella.
Di Indonesia, imunisasi merupakan bagian dari program kesehatan masyarakat.
Hal ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal 44 UU Kesehatan menyatakan, pemerintah bertanggung jawab untuk menyediakan imunisasi bagi bayi dan anak.
Setiap bayi dan anak berhak memperoleh imunisasi untuk memperoleh perlindungan dari berbagai penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Sayangnya, narasi keliru yang menyebutkan bahwa UU Kesehatan telah mencabut informed consent untuk imunisasi beredar di media sosial.
Narasi keliru itu menyebutkan bahwa imunisasi dianggap sebagai bentuk pemaksaan kepada masyarakat.
Menanggapi narasi tersebut, Direktur Pengelolaan Imunisasi dr. Prima Yosephine, M.K.M. menjelaskan, imunisasi adalah program kesehatan masyarakat yang bertujuan melindungi seluruh warga negara dari penyakit berbahaya.
"Imunisasi adalah hak setiap anak. Dengan demikian, imunisasi merupakan kewajiban bagi negara, keluarga dan masyarakat untuk memberikan hak anak tersebut," imbuhnya.
"Pemberian imunisasi sebagai bagian dari program kesehatan masyarakat tidak memerlukan informed consent perseorangan. Namun, sebelum pemberian imunisasi, orangtua atau sasaran imunisasi diberikan informasi yang jelas terkait imunisasi yang akan didapatkan," pungkasnya. (inm)