News

Kontroversi Draf UU Penyiaran, Ancaman Serius bagi Kebebasan Pers

Kontroversi Draf UU Penyiaran, Ancaman Serius bagi Kebebasan Pers
Kontroversi Draf UU Penyiaran, Ancaman Serius bagi Kebebasan Pers

PASUNDAN EKSPRES - Dunia pers Indonesia kembali diguncang isu besar dengan munculnya draf revisi Undang-Undang (UU) Penyiaran yang dinilai mengandung pasal kontroversial.

Draf ini, yang kini tengah dibahas di DPR, menimbulkan kekhawatiran luas bahwa kebebasan pers bisa terancam.

Kritik datang dari berbagai kalangan, terutama terkait pelarangan penayangan produk jurnalistik investigasi.

 

Kontroversi Draf UU Penyiaran, Ancaman Serius bagi Kebebasan Pers 

 

Sorotan Utama: Pelarangan Jurnalistik Investigasi

Dalam draf revisi UU Penyiaran, terdapat pasal yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Langkah ini menuai protes dari berbagai organisasi jurnalis dan pegiat pers di seluruh Indonesia.

Mereka menilai bahwa pasal ini dapat digunakan sebagai alat untuk membungkam suara pers yang kritis dan independen.

 

 

Sejumlah organisasi profesi jurnalis yang menjadi konstituen Dewan Pers menilai bahwa pelarangan ini tidak hanya mengancam kebebasan pers,

tetapi juga bisa diartikan sebagai upaya pembungkaman terhadap kemerdekaan pers di tanah air.

 

 

Tumpang Tindih Regulasi

Salah satu poin kontroversial dalam draf revisi ini adalah pasal 56 ayat 2.c, yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Dewan Pers menegaskan bahwa revisi UU Penyiaran seharusnya menciptakan keadilan bagi industri penyiaran di era digital, bukan malah membahayakannya.

 

 

Selain itu, draf ini juga memuat pasal 25 ayat 1 huruf q, yang menetapkan penyelesaian sengketa jurnalistik oleh KPI.

Hal ini dianggap bertentangan dengan UU Pers, yang mengamanatkan bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik adalah wewenang Dewan Pers.

 

 

Penolakan dan Kritik

Penolakan terhadap draf revisi ini datang dari berbagai kalangan jurnalis dan organisasi pers.

Mereka berpendapat bahwa pengaturan dalam draf ini tumpang tindih dengan UU Pers dan undang-undang lain yang sudah ada, seperti UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

 

 

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Wahyudi Djafar, pengaturan platform digital dan konten berbasis user-generated content (UGC) sudah diatur dalam PP 71/2019 dan Permenkominfo nomor 5 tahun 2020.

Mengatur kembali dalam UU Penyiaran dinilai tidak perlu dan dapat menimbulkan masalah baru.

 

 

Respons DPR

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan bahwa DPR masih menunggu masukan dari berbagai pihak sebelum menyelesaikan revisi UU Penyiaran.

Ia menekankan bahwa proses ini belum sepenuhnya dibuka untuk publik dan masih dalam tahap harmonisasi.

 

 

Beberapa pasal kontroversial, seperti larangan jurnalistik investigasi, berasal dari kekhawatiran masyarakat bahwa konten tersebut dapat mengganggu proses penyelidikan hukum.

Namun, banyak pihak menilai alasan ini sebagai dalih untuk mengontrol kebebasan pers.

 

 

 

Revisi UU Penyiaran yang tengah dibahas DPR menciptakan kontroversi besar dan memicu penolakan dari berbagai kalangan pers.

Pasal-pasal yang membatasi penayangan jurnalistik investigatif dianggap sebagai ancaman serius bagi kebebasan pers dan hak publik untuk mendapatkan informasi yang akurat dan terpercaya.

DPR diharapkan mampu memastikan bahwa revisi undang-undang ini tidak menghambat kebebasan pers dan tetap menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan.

 

 

Dengan adanya masukan dan kritik dari berbagai pihak, DPR perlu berhati-hati dalam menyusun undang-undang ini agar tidak mengorbankan kebebasan pers yang menjadi pilar penting demokrasi di Indonesia.

Untuk info lebih lanjut bisa kalian klik ini

Berita Terkait