Oleh
Ayu Nur Oktavia | Hafizah Aqilah
Mahasiswa S2 Pendidikan Matematika
Universitas Pendidikan Indonesia
Sangat penting untuk mampu menjelaskan keabsahan inferensi induktif karena kita menggunakannya sepanjang waktu untuk memperoleh pengetahuan. Aktivitas para ilmuan dalam melakukan percobaan, kemudian kesimpulan yang terlibat hampir secara eksklusif bersifat induktif, karena kesimpulan tersebut sering beranjak dari premis yang menyangkut sampel yang diamati, meskipun representatif ke klaim yang sepenuhnya umum yang melampaui klaim terbatas yang ditemukan dalam premis tersebut.
Kesimpulan induktif tampak sepenuhnya sah asalkan sampel yang digunakan cukup besar dan representatif. David Hume (1711-1776) menyatakan bahwa bagaimana kita yakin bahwa keteraturan yang diamati dalam sampel representatif harus meningkatkan kemungkinan bahwa generalisasi yang tidak terbatas adalah benar. Tampaknya satu-satunya pembelaan kita dalam klaim ini adalah induktif. Seperti contoh tentang burung Emu, kita akan melihat bagaimana penarikan kesimpulan yang dapat disahkan.
1) Setiap emu yang di amati tidak bisa terbang.
Karena itu:
C) Semua emu tidak bisa terbang.
Untuk menerima sepenuhnya kesimpulan tersebut, pengamatan terhadap buru emu dilakukan dalam rentang kasus yang representatif dan terdapat jumlah pengamatan yang cukup besar. Maka perlu kita membaca 1) sebagai sesuatu seperti 1*).
1*) Banyak burung emu telah diamati selama bertahun-tahun diberbagai lingkungan, dan mereka selalu tidak bisa terbang.
Dari poin 1*) ke C) menurut Hume bermasalah kecuali jika dilengkapi dengan premis lebih lanjut, yaitu:
2) Keteraturan tertentu telah diamati pada sampel yang cukup besar dan representatif yang berarti kemungkinan besar keteraturan tersebut berlaku secara umum.
Secara intuitif, satu-satunya cara seseorang dapat mengetahui klaim tersebut adalah melalui inferensi induktif lainnya dengan mengamati korelasi antara keteraturan yang diamati di seluruh sampel yang cukup besar dan representatif dan keteraturan yang tidak dibatasi itu sendiri. Hume menyimpulkan jika inferensi tersebut menghasilkan keyakinan yang dibenarkan dalam kesimpulan asalkan seseorang telah menggunakan inferensi induktif lebih lanjut. Akibatnya, tidak mungkin ada pembenaran induksi yang tidak melingkar. Ini di kenal sebagai masalah induksi. Berdasarkan yang sebelumnya telah dipaparkan maka terdapat respon dari masalah induksi ini dimana respon tersebut antara lain:
1. Dengan mengklaim bahwa induksi tidak membutuhkan pembenaran dan dengan demikian kita dapat menggubakan secara sah tanpa khawatir tentang apakah pembenaran non-sirkuler tersedia atau tidak.
2. Dengan mengklaim bahwa selama induksi berfungsi, tidak masalah jika kita memiliki alasan non-melingkar untuk berpikir bahwa itu adalah cara yang sah.
Langkah seperti itu dapat dilakukan oleh seseorang yang berpendapat bahwa sesuatu dapat dibenarkan jika memegang suatu keyakinan, dan dengan demikian memiliki pengetahuan, meskipun tidak memiliki landasan pendukung, selama kondisi terpenuhi.
Selain itu terdapat dua teori yang membahas mengenai masalah induksi ini adalah sebagai berikut:
Hidup dengan Masalah Induksi I: Falsifikasi
Hidup dengan Induksi I ini digagas oleh Karl Popper. Karl Popper merupakan seorang filsuf ternama pada abad ke-20 dengan sebuah teori yang dikembangkannya, yaitu teori falsifikasi. Prinsip falsifikasi yang digagas oleh Popper menganut faham bahwa suatu teori hanya akan bermakna apabila telah dapat difalsifikasi (dibuktikan salah), bukan hanya melalui proses pembuktian kebenaran dengan melalui verifikasi. Popper berpendapat bahwa manusia tidak mungkin mengetahui semesta pengetahuan jika hanya mengandalkan verifikasi empirik. Sebagai contohnya adalah pada kasus angsa putih dan angsa hitam. Semua orang Eropa secara merara selama ratusan tahun percaya bahwa semua angsa berwarna putih, karena mungkin berdasarkan pengalaman mereka tidak pernah melihat angsa selain yang berwarna putih. Namun, keyakinan tersebut runtuh ketika para peloncong Eropa menemukan angsa hitam di sungai Victoria di Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan tersebut, keyakinan yang selama ini dipegang oleh orang Eropa terbukti salah. Oleh karena itu, bagi Popper teori pengetahuan selalu bersifat bergerak, opsional, hipotesis, dan konjektual.
Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah hanya bersifat hipotesis (dugaan sementara) atau tidak ada kebenaran yang mutlak. Popper mengatakan bahwa suatu hipotesis atau proposisi dikatakan ilmiah maka secara prinsip harus memiliki kemungkinan untuk disangkal atau difalsifikasikan. Contoh logisnya, Popper memberikan pandangan dalam kasus angsa. Dengan meninjau terhadap angsa-angsa putih, berapa besar pun jumlahnya, orang tidak akan sampai pada konklusi bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi dengan hanya satu kali tinjauan terhadap angsa hitam, maka konklusi mengenai angsa putih telah menerima falsifikasinya. Dengan contoh ini, hukum ilmiah yang sudah berlaku bukan hanya dapat dibenarkan tetapi juga dapat dibuktikan salah.
Dalam masalah induksi, Popper menentang bahwa pengaplikasian keabsahan-generalisasi yang ditendensikan pada prinsip induksi belaka. Misalnya, sejumlah burung Emu telah diamati selama bertahun-tahun dari berbagai lingkungan, dan mereka selalu tidak bisa terbang, maka semua burung Emu tidak bisa terbang.
Proses induksi tersebutlah yang dipandang oleh para kaum positivism logis sebagai prinsip pembentukan pengetahuan yang nyata. Proses induksi ini yang dijadikan patokan untuk memastikan sebagai kemutlakan akan dasar kriteria yang bermakna dan ketidakbermaknaan. Kemudian, Popper mengajukan metode falsifikasi empirik sebagai pengganti metode empirik. Falsifikasi Popper dilakukan melalui pengujian yang sifatnya empiris yang terlahir dari pengetahuan apriori yang digali dari pengetahuan apriori Kant sehingga Popper mencoba melanjutkan ide tersebut dengan menambahkan prinsip falsifikasi. Tujuannya, yaitu mencoba melihat bukti dari sebuah fakta empirik yang lebih kuat, dimana teori pengetahuan yang lama secara otomatis bisa terbukti salah. Namun, jika bukti empirik baru dinilai lemah, maka teori pengetahuan lama justru semakin dikuatkan oleh bukti empirik yang baru. Berdasarkan hal inilah pengetahuan bisa berkembang dan terhindar dari pembakuan yang membuat ilmu pengetahuan jatuh dan menjadi mitos.
Teori falsifikasi Popper telah berkontribusi banyak untuk perkembangan pengetahuan meskipun masih banyak kelemahan dari teori tersebut. Falsifikasi tidak membuktikan batalnya suatu teori kompleks dan tidak menunjukan gugurnya teori lain. Dengan kata lain, falsifikasi hanya terbatas pada suatu teori tanpa meninjau hubungan teori satu dengan teori lainnya.
Hidup dengan Masalah Induksi II: Pragmatisme
Hidup dengan masalah induksi II ini digagas oleh Hans Reichenbach yang menyebutkan bahwa induksi tetap rasional karena jika kita tidak menggunakan induksi maka kita akan berakhir dengan sedikit keyakinan benar tentang dunia, namun jika menggunakan induksi maka kita setidaknya memiliki kesempatan untuk membentuk banyak keyakinan yang benar tentang dunia melalui induktif. Menurut Reichenbach dengan menggunakan induksi tetaplah rasional meskipun tidak memiliki justifikasi bahwa pikiran itu akan berhasil. Oleh karena itu, Reichenbach menawarkan respon praktis atau bisa disebut pragmatis terhadap masalah induksi.
Salah satu contoh yang digunakan oleh Reichenbach adalah rasional jika seseorang yang sakit parah dengan waktu yang sedikit memilih untuk mencoba operasi eksperimental baru meskipun seseorang tersebut tidak memiliki alasan untuk berpikir bahwa operasi tersebut akan menyelamatkan hidupnya. Intinya pada kasus ini pilihannya adalah antara kematian yang pasti atau kemungkinan samar untuk hidup. Mengingat seseorang tersebut dihadapkan pada suatu pilihan, maka rasional jika ia memilih untuk operasi meskipun ia tidak memiliki alasan yang kuat untuk berpikir operasi itu akan berhasil. Hal tersebut tentu rasional meskipun tidak memiliki justifikasi sama halnya dengan induksi. Reichenbach menyebutkan nasihat untuk mempercayai induksi sama halnya seperti taruhan Pascal dimana inti dari taruhan tersebut adalah jika Tuhan ada, seseorang tidak akan kehilangan apapun dengan mempercayai-Nya, sedangkan jika Tuhan ada, seseorang akan kehilangan segalanya karena tidak mempercayai-nya.]
Pembelaan Reichenbach terhadap induksi tidak memberikan kita alasan untuk berpikir bahwa klaim tersebut benar, hanya saja kita memiliki banyak keuntungan dengan mengandaikan bahwa itu benar tanpa dasar.
Namun, dalam pertimbangan ini mungkin cara Reichenbach dalam menangani masalah induksi tidak sepenuhnya pragmatis seperti yang diperkirakan banyak orang termasuk Reichenbach sendiri.(*)