Urgensi Regulasi Pembinaan Penyelenggara Penilaian Kompetensi ASN

Urgensi Regulasi Pembinaan Penyelenggara Penilaian Kompetensi ASN

Annas Ahmad Laduni Ketua Umum HMI Cabang Subang.

Oleh : Annas Ahmad Laduni 

Ketua Umum HMI Cabang Subang

A. Tinjauan Filosofis, Sosiologis, dan Yuridis

Lahirnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan tonggak penting dalam reformasi birokrasi Indonesia. Secara filosofis, keberadaan UU ini diharapkan mampu mencetak ASN yang kompeten, handal, dan kompetitif. 

BACA JUGA: Tradisi Larangan Menjual Padi di Masyarakat Adat Kasepuhan Gelar Alam sebagai Strategi Ketahanan Pangan Berbasis Geografi Budaya

Sebelumnya, ketidaksesuaian antara kompetensi pegawai dan kualifikasi jabatan menjadi masalah utama yang merusak kepercayaan publik terhadap birokrasi. Dengan sistem manajemen berbasis merit yang diatur dalam UU ini, pengelolaan ASN diarahkan agar lebih profesional dan sesuai dengan kebutuhan jabatan.

Sistem merit merupakan pilar utama dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik (good government). Prinsip-prinsip meritokrasi, seperti kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, harus menjadi dasar dalam pengelolaan ASN tanpa diskriminasi atas dasar politik, ras, agama, gender, usia, atau kondisi disabilitas. Hal ini secara eksplisit dinyatakan dalam Pasal 51 UU ASN.

Oleh karena itu, seleksi dan penempatan pegawai seharusnya didasarkan pada kemampuan, bukan oleh faktor kedekatan atau kepentingan politik.

1. Realitas Sosiologis dan Tantangan Lapangan

BACA JUGA: Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2025 di Tingkat Kabupaten Subang

Secara sosiologis, penerapan sistem merit menunjukkan kemajuan positif. Banyak instansi pemerintah kini menyadari pentingnya assessment (penilaian kompetensi) sebagai sarana untuk memetakan kemampuan pegawai. Permintaan akan assessment pun meningkat tajam, tak hanya untuk jabatan pimpinan tinggi, tetapi juga untuk jabatan pelaksana dan fungsional tingkat pertama.

Kondisi ini melahirkan kebutuhan akan lembaga penilaian kompetensi yang kredibel serta tenaga Asesor SDM Aparatur yang berkualitas. Namun, variasi metode, alat ukur, dan prosedur pelaksanaan assessment dari berbagai Lembaga,baik pemerintah maupun swasta-menimbulkan tantangan dalam hal standarisasi dan pengawasan.

Maka dari itu, diperlukan pembinaan dan pengaturan yang jelas terhadap lembaga-lembaga penilai kompetensi ini.

Harapan terbesar dari pelaksanaan sistem merit dalam manajemen ASN adalah terciptanya proses seleksi jabatan yang transparan, objektif, dan adil bagi seluruh pegawai, tanpa adanya intervensi atau penyimpangan dalam bentuk apa pun. Namun, realitas di lapangan terkadang menunjukkan hal yang sebaliknya. Seleksi terbuka, yang idealnya menjadi sarana untuk menjaring sumber daya manusia terbaik berdasarkan kompetensi dan kualifikasi, justru kerap kali disusupi oleh kepentingan pribadi, kelompok, maupun politik tertentu.

Praktik jual beli jabatan di sejumlah instansi menjadi cerminan bahwa sistem yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip keadilan dan integritas telah dikompromikan oleh kepentingan  sempit dan penyalahgunaan kewenangan.

Hal ini sangat memprihatinkan karena tidak hanya merusak kredibilitas sistem birokrasi, tetapi juga melemahkan semangat reformasi dan kepercayaan publik terhadap aparatur negara. Untuk itu, diperlukan regulasi yang kuat, menyeluruh, dan berorientasi pada penegakan standar integritas, disertai dengan pengawasan yang ketat, sistematis, dan berkelanjutan.

Regulasi tersebut harus mampu menjangkau tidak hanya aspek prosedural dalam pelaksanaan seleksi jabatan, tetapi juga mencakup mekanisme pencegahan, deteksi dini dan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi. Dengan begitu, harapan untuk menghilangkan praktik transaksional dalam pengisian jabatan di lingkungan ASN dapat diwujudkan, serta menjamin bahwa setiap ASN yang terpilih benar-benar merupakan hasil dari proses seleksi dan penjaringan yang bersih, kompetitif, dan sesuai dengan prinsip-prinsip meritokrasi.

Melihat kondisi ini, KPK melalui Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) menjadikan penguatan penilaian kompetensi sebagai salah satu aksi penting untuk mencegah korupsi dalam proses seleksi jabatan.


Berita Terkini