Opini

Bagaimana Nasib SMA/SMK/PK ketika Ditangan Provinsi?

opini
(Catatan Sewindu SMA/SMK/PK Dikelola Provinsi)
 
Oleh:
 H. Agus Prasmono, M.Pd.
(Pemerhati Pendidikan Kab. Magetan)
 
Penanganan pendidikan silih berganti sesuai undang-undang yang mengaturnya yaitu saat ini diatur oleh Undang-undang Sisdiknas atau UU No: 20 tahun 2003 serta Undang-undang lain yang juga ikut menentukan.  Sektor unggulan yang menangani pendidikan juga silih berganti mulai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sampai  tahun 2000, tahun 2000 sd 2017 untuk pendidikan dasar dan menengah dikelola oleh Kabupaten, sedangkan sesuai dengan UU Otoda atau UU no 23 tahun 2014 maka pengelolaan pendidikan juga mengalami perubahan lagi. Perubahan itu meliputi TK dan SD tetap dikelola oleh Dinas Pendidikan Kabupaten sedangkan SMA, SMK dan SLB dikelola oleh Dinas Pendidikan Provinsi sementara itu Perguruan Tinggi/Univeritas/Akademi dan Politehnik dikelola oleh Pemerintah Pusat. 
 
Lalu bagaimana riwayat perjalanan dan nasib lembaga yang menangani peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut? Tentu ada plus-minusnya sesuai dengan perkembangan jaman dan pengelolanya. Ketika Pendidikan masih sentralistik yaitu sebelum tahun 2000, urusan pendidikan ditangani Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mempunyai kepanjangan tangan secara vertikal sampai tingkat kecamatan yaitu apa yang disebut dengan Dikbudcam yang ada di tingkat kecamatan. Tentunya urusan pendidikan akan linier sejalan dengan keputusan pusat dan relatif tidak ada hambatan dalam pengelolaannya. Bahkan konon di negara majupun pengelolaan pendidikan cenderung sentralistik dari pusat seperti Indonesia saat itu termasuk Amerika Serikat dan Eropa.
 
Ketika mamasuki masa otonomi daerah dimana pendidikan dasar dan menengah dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, terjadi beberapa perbedaan yang sangat mencolok dibanding sebelumnya. Misalkan sering terjadi mutasi dari guru menjadi pegawai di dinas lain bahkan sampai ada sebuah kota pada masa itu yang pejabatnya mayoritas berasal dari guru. Pada masa ini guru yang sebelumnya tersebar se Indonesia ketika masa sentralistik, menjadi sempit ruang lingkupnya hanya meliputi satu kabupaten/kota saja. Sehingga masa otonomi ini membuat sulit mutasi guru antar kabupaten/kota walaupun sebenarnya juga bisa, apalagi antar propinsi yang prosedurnya akan semakin panjang dan lama.
 
Disisi lain pada masa ini, nasib dunia pendidikan tergantung pada induk semangnya atau pemerintah kabupaten/kota yang menaunginya. Pada daerah yang surplus (PAD-nya besar) seperti Surabaya, Kota Malang, Kota Batu, Kota Madiun dan sebagainya, dunia pendidikan sangat “dimanjakan” plus gurunya mendapat tunjangan tambahan penghasilan yang layak dari Pemerintah Kabupaten/Kota tentunya selain Gaji yang sama sebagai PNS dengan Guru di Kabupaten/kota yang lain.
Tambahan penghasilan daerah itu kadang besarnya sangat lumayan sehingga diirikan kabupten/kota yang miskin. Bahkan pendanaan dan pembiayaan satuan pendidikan juga demikian, tidak sedikit kabupaten kota yang mengalokasikan pendidikan untuk pengembangan pendidikan di kabupaten kotanya bahkan melebihi amanat UU yaitu 20% dari APBD nya. Demikian juga dengan peserta didik, tidak sedikit kabupaten yang memberi seragam, buku, tas sekolah bahkan laptop kepada seluruh peserta didik, atau perlengkapan pendidikan lain. Namun karena banyaknya masalah pendidikan yang ditangani Pemerintah Kabupaten/Kota, maka tidak mustahil ada beberapa permasalah pendidikan yang belum dikomunikasikan dengan stakesholder yang ada, sehingga beban pemerintah Kabupaten/kota untuk menangani pendidikan dasar dan menengah terlalu besar. 
 
Seiring dengan berjalannnya waktu dan perkembangan demokrasi di Republik tercinta, maka muncullah UU Otoda No 23 tahun 2014 dimana pengelolaan pendidikan SMA, SMK dan SLB/PK diserahkan ke Pemerintah Propinsi dari pemerintah Kabupaten/Kota, sementara TK, SD dan SMP tetap dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Tentunya bagi Pemerintah Kabupaten/kota semakin ringan tanggungjawabnya karena berkurang pendidikan tingkat SMA, SMK dan SLB yang semula ditanganinya menjadi lepas tanggungjawab. Sebetulnya dengan perubahan tanggungjawab penanganan pendidikan ini mestinya tidak banyak perubahan mengingat kurikulumnya tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun dengan perbedaan penangan ini ternyata ada beberapa dampak yang berubah. Kecuali kurikulum untuk muatan lokal misalkan Jawa Timur Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Timur Nomor 19 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Jawa sebagai Muatan Lokal Wajib di Provinsi Jawa Timur, atau mungkin daerah lain mempunyai aturan yang sejenis tentang penambahan muatan lokal.
 
Secara logika dengan pemisahan penanganan pendidikan ini mestinya akan semakin fokus dengan dampak akan semakin meningkat kualitas pendidikan di masing-masing jenjang. Peningkatan ini bisa dilihat dari berbagai segi, meliputi peningkatan kualitas pendidikan dalam hal ini kualitas peserta didik dengan prestasinya, kualitas guru dan tenaga kependidikan dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan.
 
Untuk Provinsi Jawa Timur sebagai contoh dari segi prestasi peserta didik, banyak prestasi sekolah menengah baik SMA maupun SMK yang mengalami peningkatan prestasi. Contoh OSN (Olimpiade Sains Nasional) selama ini Jawa Timur tidak pernah juara namun tiga tahun terakir selalu juara umum. Demikian juga O2SN (Olimpiade Olahraga dan Seni Nasional) juga mengalami hal yang sama dengan meraih juara Nasional. Di tingkat SMK, ada LKS (Lomba Kompetensi Siswa) SMK tahun ini Jawa Timur juga mengalami peningkatan  dan juara umum. Serta masih banyak lagi di beberapa bidang lomba tingkat nasional ternyata prestasinya terus meningkat. Demikian juga dari alumninya yang diteriam di PTN, tiga tahun berturut-turut Jawa timur memegang jumlah terbanyak baik dari SNBP (seleksi Nasional Berbasis Prestasi), SNBT (Seleksi Nasional Berbasis Tes, Maupun jalur mandiri. Keseluruha dari ketiga jalur tersebut Jawa Timur terus unggul.
 
Dari segi pendanaan memang belum tentu mendapat kucuran dana yang besar dari Propinsi. Jawa Tumr misalkan selama ini berdasarkan pantauan penulis, namun sejak menjadi bagian dari propinsi setiap sekolah (SMA/SMK/SLB) mendapat bantuan dana tambahan yang disebut dengan BPOPP (Bantuan Penunjang Operasioanl Penyelenggaraan Pendidkan) walaupun besarnya setiap tahun tidak bisa dipastikan besarnya sesuai dengan kemampuan anggaran Daerah yang ada. Namun walau ada bantuan ini, biaya pendidikan masih memerlukan tambahan sesuai dengan banyaknya program yang ada di satuan pendidikan.
 
Sehingga untuk itu masih memerlukan bantuan dana penyelengaraan pendidikan dari Wali murid melalui Komite Sekolah. Dan ini sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah. Dalam peraturan ini, komite sekolah dilarang melakukan pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya namun Komite Sekolah boleh melakukan penggalangan dana untuk mendukung peningkatan mutu pendidikan, bantuan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana sekolah. Penggalangan dana ini dapat dilakukan dalam bentuk sumbangan dan bantuan yang sifatnya tidak mengikat dan tidak memaksa (sukarela) dari wali murid. Tentunya bantuan ini sangat berguna untuk menunjang perkembangan Satuan Pendidikan termasuk peningkatan mutu pendidikan didalamnya.
 
Disisi lain untuk pendidik dan tenaga kependidikan mengalami nasib yang sangat beragam. Sebelum menjadi tanggungjawab Provinsi beberapa Kabupaten kota banyak yang memberi tambahan kesejahteraan untuk guru dan tenaga kependidikan.
 
Namun sayang sejak menjadi tanggungjawab Provinsi belum ada tambahan penghasilan bagi guru PNS secara signifikan kecuali GTT dan PTT yang mendapat tambahan honor Rp. 900.000/per bulan dari Propinsi untuk guru dan tenaga kependidikan yang tercatat di Dapodik sebagai GTT/PTT Propinsi. Kecuali itu tenaga kependidikan juga mendapat tunjangan mamun setiap bulan yang sebesarnya hampir setara dengan HT PTT/GTT. Sementara untuk Guru dan Kepala sekolah (PNS) selama ini tidak mendapat tambahan apapun dari Propinsi walaupun tugas dan tanggungjawabnya semakin berat dalam membangun karekater anak bangsa. Bahkan selisih tunjangan guru dengan kepala sekolah hanya selisih Rp. 250.000,- , sehingga kepala sekolah semakin tidak diminati oleh guru sedangkan tugas dan tanggungjawabnya semakin berat. Bahkan berpuluh SD Negeri di Kabupaten Ponorogo kosong kepala Sekolahnya karena tidak ada guru yang berminat menjadi kepala sekolah termasuk guru penggerak sekalipun.
 
Memang ada beberapa provinsi lain yang memberi tambahan penghasilan untuk guru PNS dengan jumlah yang cukup signifikan. Sementara prestasi pendidikan di Provinsi itu masih biasa-biasa saja. Inilah yang kelihatanya banyak ditunggu di Propinsi Jawa Timur ataupun guru di seluruh Indonesia. Demikian juga sesuai dengan janji Presiden terpilih Prabowo Subiyanto akan menambah penghasilan guru. Kelihatanya janji ini juga akan segera diluncurkan karena Menteri Pendidikan dasar sudah menghitung-hitung (Jawa Pos 29 Okt 2024). Semoga saja segera turun dengan harapan kerja pendidik dan tenaga kependidikan juga meningkat yang akan bermuara pada meningkatnya prestasi dan kualitas pendidikan. Karena majunya dunia pendidikan adalah indikator majunya sebuah negara. Bukankah tugas dunia pendidikan adalah menyiapkan generasi pengisi republik ini. semoga.(*)
 
 
Tag :
Berita Terkait
Terkini Lainnya

Lihat Semua