Bagaimana Nasib SMA/SMK/PK ketika Ditangan Provinsi?

Bagaimana Nasib SMA/SMK/PK ketika Ditangan Provinsi?

(Catatan Sewindu SMA/SMK/PK Dikelola Provinsi)
 
Oleh:
 H. Agus Prasmono, M.Pd.

BACA JUGA: Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2025 di Tingkat Kabupaten Subang

(Pemerhati Pendidikan Kab. Magetan)
 
Penanganan pendidikan silih berganti sesuai undang-undang yang mengaturnya yaitu saat ini diatur oleh Undang-undang Sisdiknas atau UU No: 20 tahun 2003 serta Undang-undang lain yang juga ikut menentukan.  Sektor unggulan yang menangani pendidikan juga silih berganti mulai Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sampai  tahun 2000, tahun 2000 sd 2017 untuk pendidikan dasar dan menengah dikelola oleh Kabupaten, sedangkan sesuai dengan UU Otoda atau UU no 23 tahun 2014 maka pengelolaan pendidikan juga mengalami perubahan lagi. Perubahan itu meliputi TK dan SD tetap dikelola oleh Dinas Pendidikan Kabupaten sedangkan SMA, SMK dan SLB dikelola oleh Dinas Pendidikan Provinsi sementara itu Perguruan Tinggi/Univeritas/Akademi dan Politehnik dikelola oleh Pemerintah Pusat. 
 

BACA JUGA: Krisis Identitas di Era Media Sosial: Analisis Tahap Psikososial Remaja Menurut Erik Erikson

Lalu bagaimana riwayat perjalanan dan nasib lembaga yang menangani peningkatan kualitas sumber daya manusia tersebut? Tentu ada plus-minusnya sesuai dengan perkembangan jaman dan pengelolanya. Ketika Pendidikan masih sentralistik yaitu sebelum tahun 2000, urusan pendidikan ditangani Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang mempunyai kepanjangan tangan secara vertikal sampai tingkat kecamatan yaitu apa yang disebut dengan Dikbudcam yang ada di tingkat kecamatan. Tentunya urusan pendidikan akan linier sejalan dengan keputusan pusat dan relatif tidak ada hambatan dalam pengelolaannya. Bahkan konon di negara majupun pengelolaan pendidikan cenderung sentralistik dari pusat seperti Indonesia saat itu termasuk Amerika Serikat dan Eropa.
 
Ketika mamasuki masa otonomi daerah dimana pendidikan dasar dan menengah dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, terjadi beberapa perbedaan yang sangat mencolok dibanding sebelumnya. Misalkan sering terjadi mutasi dari guru menjadi pegawai di dinas lain bahkan sampai ada sebuah kota pada masa itu yang pejabatnya mayoritas berasal dari guru. Pada masa ini guru yang sebelumnya tersebar se Indonesia ketika masa sentralistik, menjadi sempit ruang lingkupnya hanya meliputi satu kabupaten/kota saja. Sehingga masa otonomi ini membuat sulit mutasi guru antar kabupaten/kota walaupun sebenarnya juga bisa, apalagi antar propinsi yang prosedurnya akan semakin panjang dan lama.
 
Disisi lain pada masa ini, nasib dunia pendidikan tergantung pada induk semangnya atau pemerintah kabupaten/kota yang menaunginya. Pada daerah yang surplus (PAD-nya besar) seperti Surabaya, Kota Malang, Kota Batu, Kota Madiun dan sebagainya, dunia pendidikan sangat “dimanjakan” plus gurunya mendapat tunjangan tambahan penghasilan yang layak dari Pemerintah Kabupaten/Kota tentunya selain Gaji yang sama sebagai PNS dengan Guru di Kabupaten/kota yang lain.
Tambahan penghasilan daerah itu kadang besarnya sangat lumayan sehingga diirikan kabupten/kota yang miskin. Bahkan pendanaan dan pembiayaan satuan pendidikan juga demikian, tidak sedikit kabupaten kota yang mengalokasikan pendidikan untuk pengembangan pendidikan di kabupaten kotanya bahkan melebihi amanat UU yaitu 20% dari APBD nya. Demikian juga dengan peserta didik, tidak sedikit kabupaten yang memberi seragam, buku, tas sekolah bahkan laptop kepada seluruh peserta didik, atau perlengkapan pendidikan lain. Namun karena banyaknya masalah pendidikan yang ditangani Pemerintah Kabupaten/Kota, maka tidak mustahil ada beberapa permasalah pendidikan yang belum dikomunikasikan dengan stakesholder yang ada, sehingga beban pemerintah Kabupaten/kota untuk menangani pendidikan dasar dan menengah terlalu besar. 
 
Seiring dengan berjalannnya waktu dan perkembangan demokrasi di Republik tercinta, maka muncullah UU Otoda No 23 tahun 2014 dimana pengelolaan pendidikan SMA, SMK dan SLB/PK diserahkan ke Pemerintah Propinsi dari pemerintah Kabupaten/Kota, sementara TK, SD dan SMP tetap dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Tentunya bagi Pemerintah Kabupaten/kota semakin ringan tanggungjawabnya karena berkurang pendidikan tingkat SMA, SMK dan SLB yang semula ditanganinya menjadi lepas tanggungjawab. Sebetulnya dengan perubahan tanggungjawab penanganan pendidikan ini mestinya tidak banyak perubahan mengingat kurikulumnya tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah Pusat, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Namun dengan perbedaan penangan ini ternyata ada beberapa dampak yang berubah. Kecuali kurikulum untuk muatan lokal misalkan Jawa Timur Peraturan Gubernur (Pergub) Jawa Timur Nomor 19 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Jawa sebagai Muatan Lokal Wajib di Provinsi Jawa Timur, atau mungkin daerah lain mempunyai aturan yang sejenis tentang penambahan muatan lokal.

  • Tag:

Berita Terkini

Tengok saja, bagaimana Presiden Prabowo menyambut Megawati seperti menyambut saudara yang telah lama tak bersua. (Dok Setneg)

Pojokan 255: Ketemu

13 jam yang lalu