Hukum Demi Kebaikan

Pakar Komunikasi Politik Antonius Benny Susetyo.
Thomas Aquinas adalah salah satu filsuf dan teolog yang paling berpengaruh dalam sejarah pemikiran Barat. Pemikirannya tentang politik dan hukum sangat relevan untuk memahami dan mengkritisi penegakan hukum di Indonesia saat ini. Esensi dari politik dan hukum menurut Thomas Aquinas adalah mencapai “bonum commune” atau kebaikan bersama.
Namun, kenyataannya, penegakan hukum di Indonesia sering kali bersifat pragmatis dan tergantung pada pesanan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Thomas Aquinas berpendapat bahwa politik adalah seni mengatur masyarakat agar dapat hidup dalam harmoni dan mencapai tujuan bersama.
Menurutnya, manusia adalah “animal politicum” atau makhluk politik yang tidak bisa hidup sendiri dan selalu membutuhkan orang lain untuk mencapai kebahagiaan. Oleh karena itu, politik harus diarahkan untuk menciptakan kondisi di mana setiap individu dalam masyarakat dapat berkembang secara maksimal dan mencapai kebahagiaan.
BACA JUGA: Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia Tahun 2025 di Tingkat Kabupaten Subang
Hukum, dalam pandangan Thomas, adalah sarana untuk mencapai kebaikan bersama dengan memberikan aturan dan batasan yang jelas bagi tindakan manusia. Hukum bukan hanya sekadar perintah akal budi, tetapi juga aturan yang mengatur tindakan manusia secara keseluruhan. Hukum harus mencerminkan akal budi dan bertujuan untuk mencapai kebaikan bersama.
Akal budi adalah aturan yang menjadi ukuran tindakan manusia seutuhnya, dan akhir dari hukum berkaitan dengan kebaikan bersama. Oleh karena itu, hukum harus mencerminkan keadilan dan kemanusiaan, serta berfungsi untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan.
Saat ini, penegakan hukum di Indonesia cenderung bersifat pragmatis dan tergantung pada pesanan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan. Hukum sering kali digunakan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan praktis dan menghancurkan kekuatan demokrasi serta partai-partai politik yang seharusnya menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kekuasaan. Kekuasaan yang tidak dibatasi cenderung manipulatif, dan hukum dijadikan alat pembenaran terhadap praktek-praktek yang tersembunyi dan relasi kuasa yang timpang.
Perilaku koruptif telah menjadi budaya di Indonesia karena supremasi hukum yang lemah. Demokrasi di Indonesia kian tergerus oleh perilaku pihak-pihak tertentu yang membelenggu reformasi dan memperparah korupsi yang sudah menjadi budaya. Hal ini diperparah dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah diintervensi oleh penguasa dalam penanganan kasus-kasus korupsi.
BACA JUGA: Krisis Identitas di Era Media Sosial: Analisis Tahap Psikososial Remaja Menurut Erik Erikson
Hal ini menunjukkan bahwa independensi lembaga penegak hukum seperti KPK semakin tergerus oleh kepentingan politik, mengakibatkan penegakan hukum kehilangan keadabannya. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDI-P), Megawati Soekarnoputri, dalam pidato kebangsaan di Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) Partai Perindo, menyoroti bahwa supremasi hukum di Indonesia saat ini tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Menurut Megawati, perilaku koruptif telah menjadi budaya di Indonesia karena supremasi hukum yang lemah. Demokrasi di Indonesia kian tergerus oleh perilaku pihak-pihak tertentu yang membelenggu reformasi, dan independensi lembaga penegak hukum seperti KPK semakin tergerus oleh kepentingan politik. Megawati juga menilai bahwa KPK telah diintervensi oleh penguasa dalam penanganan kasus-kasus korupsi.
Supremasi hukum sangat penting untuk menjaga keadilan dan kebaikan bersama. Hukum harus berfungsi sebagai alat untuk menegakkan nilai-nilai kebaikan dan keadilan, bukan sebagai alat politik untuk mencapai tujuan praktis. Penegakan hukum yang sejati membutuhkan manusia-manusia penegak hukum yang memiliki karakter, komitmen, dan jiwa negarawan. Hukum yang berkeadilan adalah hukum yang memiliki hati nurani dan mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan.
Hukum yang berfungsi dengan baik akan mampu menjadi penyeimbang bagi kekuasaan dan mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang. Penegakan supremasi hukum memastikan bahwa setiap individu atau kelompok, tidak peduli seberapa kuat atau berkuasa mereka, tunduk pada hukum yang sama. Ini adalah fondasi penting dalam membangun masyarakat yang adil dan berkeadaban.
Kekuasaan yang tidak dibatasi cenderung menjadi manipulatif, dan hukum dijadikan alat pembenaran terhadap praktek-praktek yang tersembunyi. Relasi kuasa yang timpang antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif mengakibatkan kecenderungan manipulatif dalam penegakan hukum. Kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan cenderung menggunakan hukum untuk membungkam lawan-lawan politik dan orang-orang yang tidak seide.
Pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah prinsip dasar dalam sistem demokrasi untuk mencegah terjadinya tirani dan penyalahgunaan kekuasaan. Namun, ketika salah satu cabang kekuasaan terlalu dominan atau ada intervensi yang tidak semestinya, keseimbangan ini rusak dan penegakan hukum menjadi tidak efektif.
Fungsi silang antara ketiga cabang kekuasaan harus dijaga agar tercipta sistem pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan adil. Penegakan hukum yang berkeadilan adalah penegakan hukum yang mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan adalah cermin dari penegakan hukum yang sejati. Penegakan hukum yang sejati membutuhkan manusia-manusia penegak hukum yang memiliki karakter, komitmen, dan jiwa negarawan. Hukum yang berkeadilan adalah hukum yang memiliki hati nurani dan mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan.