BANDUNG-Keterlibatan masyarakat memiliki peran penting dalam penanganan persampahan di Jawa Barat. Terlebih, seiring meningkatnya jumlah penduduk, berpengaruh pada jumlah dan jenis sampah yang dihasilkan.
Sampah yang tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan berbagai masalah kesehatan. Tumpukan sampah menjadi sarang bakteri, virus, dan parasit yang menjadi sumber penyakit. Yang paling umum, penularan penyakit infeksi seperti diare akut (kolera), typus, cacingan serta hepatitis A dan B.
Pun dengan kerusakan lingkungan. Sampah anorganik seperti plastik, kaca, keramik, kain, dan logam dapat mencemari air, tanah, dan udara. Sedangkan ditinjau dari segi keindahan, tumpukan sampah tentu saja menurunkan estetika.
Ironisnya lagi, perilaku buang sampah sembarangan masih terjadi. Hal ini, menunjukkan masih rendahnya kesadaran sebagian masyarakat. Diperlukan sanksi tegas bagi para pelakunya.
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Sampah di Jawa Barat, disebutkan sanksi membuang sampah sembarangan adalah pidana kurungan paling lama tiga bulan atau denda paling banyak Rp 50 juta.
Berdasarkan data Pemprov Jabar, produksi sampah di Jawa Barat per hari mencapai 35.000 ton, dengan komposisi 60 persen sampah organik dan 40 persennya sampah non-organik.
Semakin meningkatnya produksi sampah, pada akhirnya kapasitas tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah akan semakin terbatas umurnya. Oleh karena itu, harus diupayakan berbagai cara untuk mengurangi timbulan sampah.
Berdasarkan Peraturan Menteri (Permen) PUPR No 3 tahun 2013, tentang Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga, dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, menekankan bahwa pengurangan sampah mulai dari sumber, merupakan tanggung jawab dari semua pihak. Baik pemerintah maupun masyarakat.
Untuk itu, diperlukan perubahan paradigma pengelolaan sampah yang bermula dari sumbernya, yakni masyarakat itu sendiri. Dimulai dari pengurangan sampah, kemudian pemanfataan sampah serta pengelolaan sampah itu sendiri. Atau yang dikenal reduse, reuse, recycle.
Sementara itu, Pemprov Jabar melalui Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) Jawa Barat menggulirkan program pengolahan sampah berbasis masyarakat. Yakni, Kawasan Tuntas Sampah. Program ini, sebagai pilot project pengurangan timbulan sampah di hulu dengan pemilahan dan pengolahan di Tempat Pengelolaan Sampah Reduse, Reuse, Recycle (TPS3R).
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) Provinsi Jawa Barat Dr Indra Maha ST MT mengatakan, pembangunan Kawasan Tuntas Sampah, meliputi pengadaan sarana dan prasarana pendukungnya. Di antaranya, mesin conveyor feeder, mesin conveyor pilah, mesin pemilah sampah, motor roda tiga dan incinerator dengan teknologi ramah lingkungan.
Hingga 2024 ini, pengurangan sampah di sumber sudah menjadi fokus Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang ada di Jawa Barat baik melalui pendanaan APBD Kabupaten/Kota, Bantuan Keuangan Provinsi dan juga APBN Kementerian PUPR. Namun demikian, berbagai infrastruktur yang sudah dibangun dalam kerangka menuntaskan sampah di hulu tentu membutuhkan dukungan dan peran aktif masyarakat baik dalam upaya mengurangi sampah di rumah juga membentuk kelompok masyarakat yang dapat mengelola infrastruktur yang sudah dibangun Pemerintah.
“Kawasan tuntas sampah berbasis masyarakat ini, dapat meminimalisir volume sampah yang diangkut ke TPA. Sedangkan prosesnya, berupa pemilahan, pengolahan sampah organik, pengumpulan dan penyaluran sampah yang masih dapat didaur ulang, serta pemusnahan sampah residu yang tidak dapat diolah lagi,” beber Indra.
Indra berharap, kawasan tuntas sampah menjawab kebutuhan lahan yang semakin kritis untuk penyedia TPA sampah di perkotaan. Hal ini sejalan dengan kebijakan nasional untuk meletakkan TPA sampah pada hierarki terbawah, sehingga meminimalisir residu sampah di TPA sampah.
Adapun alur konsep kawasan tuntas sampah, diawali melalui pemilahan dan pewadahan sampah dari sumber atau masyarakat. Selanjutnya, di kawasan tuntas sampah, untuk sampah organik diolah menjadi pupuk maupun budidaya magot (pakan ternak).
Selain itu, sampah organik diolah menjadi biogas, yakni energi terbarukan yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai kebutuhan, seperti memasak dan listrik.
Sementara itu, sampah anorganik yang memiliki nilai jual, dikelola melalui bank sampah. Sampah anorganik seperti plastik, kertas, dan logam bisa dimanfaatkan melalui proses daur ulang. Misalnya saja, dijadikan pot bunga, tempat pensil maupun kerajinan tangan lainnya.
Dan terakhir, sampah yang tidak bisa didaur ulang, akan dimusnahkan mengunakan incenerator, yakni teknologi ramah lingkungan untuk pemusnah sampah residu. Sehingga, residu yang akhirnya dikirim ke TPA hanya berkisar 20 persen saja di setiap kawasan tuntas sampah.
“Tentunya, agar program ini berhasil, diperlukan peran serta aktif masyarakat,” ujar Indra. (red)