SUBANG–Pengusaha dan buruh di Subang berbeda pendapat merespon kenaikan upah minimum 6,5 persen tahun 2025 yang telah ditetapkan pemerintah. Pengusaha mengaku keberatan, sedangkan buruh belum puas dengan kenaikan 6,5 persen tersebut.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Subang, Asep Rochman Dimyati (ARD), menyatakan kenaikan upah ini berpotensi memukul sektor padat karya di Subang, seperti industri garmen.
Menurutnya, perusahaan yang sudah berjuang keras bertahan kini dihadapkan pada situasi yang semakin sulit.
“Potensi hengkang perusahaan sudah banyak. Dengan kenaikan ini, tinggal yang masih bertahan, apakah mampu atau tidak,” ujar ARD, beberapa waktu lalu.
Saat ini, Upah Minimum Kabupaten (UMK) Subang berada di angka Rp3.294.485. Dengan kenaikan 6,5 persen, UMK diproyeksikan menjadi Rp 3.508.626. Menurut ARD, angka tersebut jauh dari kemampuan banyak pengusaha.
“Kenaikan ini sangat memberatkan. Kalau kemarin kemampuan pengusaha hanya bisa naik Rp 20 ribu, itu sudah maksimal. Kalau dipaksakan, banyak yang terancam tutup atau pindah ke daerah lain,” jelasnya.
Sektor padat karya, seperti industri tekstil dan garmen, menjadi yang paling terdampak. Perusahaan dengan jumlah karyawan ribuan harus menanggung biaya operasional yang jauh lebih besar, sementara keuntungan sering kali tidak sebanding dengan ongkos produksi.
ARD mengungkapkan dampak kebijakan ini bukan hanya mengancam keberlangsungan usaha, tetapi juga mengurangi minat investor untuk menanamkan modal di Subang.
“Bagi sektor padat karya, ini berat sekali. Untuk bertahan saja, banyak perusahaan yang mungkin akan mengurangi jumlah karyawan atau bahkan hengkang ke daerah lain. Investor pun pasti berpikir ulang,” kata ARD.
Direktur Operasional PT Kwanglim YH Indah, Otok Biantoro, menyebut bahwa kenaikan ini berpotensi memicu perampingan karyawan hingga 10 persen demi menekan biaya produksi. Dengan total 1.200 pekerja, perusahaan yang bergerak di sektor padat karya seperti Kwanglim harus mengambil langkah-langkah sulit untuk tetap bertahan.
“Untuk sektor padat karya, dampaknya sangat terasa. Perusahaan terpaksa memangkas jumlah pekerja agar cost pengeluaran tetap terjaga. Kalau tidak, produksi bisa terganggu,” ungkap Otok.
Ia juga menyoroti perlunya regulasi khusus yang lebih stabil dan tidak terpengaruh oleh perubahan kondisi politik.
“Harus ada kebijakan yang melindungi sektor padat karya ini. Kalau tidak, banyak perusahaan yang kolaps,” tambahnya.
Sementara itu, kelompok buruh dari FSBP KASBI Subang menyebut, kenaikan 6,5 persen masih jauh dari tuntutan buruh Subang.
“Kenaikan 6,5 persen belum sesuai harapan. Buruh Subang menuntut kenaikan sebesar 30 persen, yang merupakan hasil survei kebutuhan hidup layak (KHL) internal serikat buruh,” kata Rahmat, Sabtu (14/12).
Rahmat menjelaskan, tuntutan kenaikan 30 persen bukan tanpa alasan. Ia menyoroti sejak diberlakukannya Omnibus Law dan aturan turunannya melalui PP 36 Tahun 2020, kenaikan upah minimum tidak pernah signifikan. Bahkan, pada tahun 2021, Kabupaten Subang tidak mengalami kenaikan upah minimum sama sekali.
“Kenaikan upah sejak Omnibus Law selalu di bawah 1 persen. Maka, tuntutan 30% ini sangat wajar, mengingat kondisi buruh yang semakin tertekan oleh tingginya biaya hidup,” ujarnya.
Menurut Rahmat, kenaikan 6,5 persen tidak mampu menutupi kebutuhan hidup buruh, terutama mereka yang sudah berkeluarga. Kenaikan harga kebutuhan pokok yang terus terjadi menambah beban buruh, sehingga upah saat ini dianggap tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan hidup layak.
“Bagi buruh lajang saja kenaikan ini tidak mencukupi, apalagi bagi buruh yang sudah berkeluarga. Biaya hidup riil terus meningkat,” tegasnya.
Rahmat berharap pemerintah lebih peka terhadap kondisi buruh, khususnya di Kabupaten Subang. Ia menekankan pentingnya dialog antara pemerintah, pengusaha, dan serikat buruh untuk memastikan upah yang layak bagi pekerja.
“Upah yang layak bukan hanya tentang angka, tetapi tentang menjaga kesejahteraan buruh dan keluarganya. Kami berharap pemerintah mendengarkan aspirasi kami,” tutup Rahmat.(hdi/ysp)