SUBANG-Presiden Prabowo Subianto resmi mengumumkan kenaikan rata-rata Upah Minimum 2025 sebesar 6,5 persen, yang tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2024. Meski langkah ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan pekerja, kebijakan tersebut memicu polemik, terutama di kalangan pengusaha, yang menganggapnya sebagai beban berat bagi sektor usaha, khususnya padat karya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Subang, Asep Rochman Dimyati (ARD), menyatakan kenaikan upah ini berpotensi memukul sektor padat karya di Subang, seperti industri garmen.
Menurutnya, perusahaan yang sudah berjuang keras bertahan kini dihadapkan pada situasi yang semakin sulit.
“Potensi hengkang perusahaan sudah banyak. Dengan kenaikan ini, tinggal yang masih bertahan, apakah mampu atau tidak,” ujar ARD.
Saat ini, Upah Minimum Kabupaten (UMK) Subang berada di angka Rp 3.294.485. Dengan kenaikan 6,5 persen, UMK diproyeksikan menjadi Rp 3.508.626. Menurut ARD, angka tersebut jauh dari kemampuan banyak pengusaha.
“Kenaikan ini sangat memberatkan. Kalau kemarin kemampuan pengusaha hanya bisa naik Rp 20 ribu, itu sudah maksimal. Kalau dipaksakan, banyak yang terancam tutup atau pindah ke daerah lain,” jelasnya.
Sektor padat karya, seperti industri tekstil dan garmen, menjadi yang paling terdampak. Perusahaan dengan jumlah karyawan ribuan harus menanggung biaya operasional yang jauh lebih besar, sementara keuntungan sering kali tidak sebanding dengan ongkos produksi.
ARD mengungkapkan dampak kebijakan ini bukan hanya mengancam keberlangsungan usaha, tetapi juga mengurangi minat investor untuk menanamkan modal di Subang.
“Bagi sektor padat karya, ini berat sekali. Untuk bertahan saja, banyak perusahaan yang mungkin akan mengurangi jumlah karyawan atau bahkan hengkang ke daerah lain. Investor pun pasti berpikir ulang,” kata ARD.
Direktur Operasional PT Kwanglim YH Indah, Otok Biantoro, menyebut bahwa kenaikan ini berpotensi memicu perampingan karyawan hingga 10 persen demi menekan biaya produksi. Dengan total 1.200 pekerja, perusahaan yang bergerak di sektor padat karya seperti Kwanglim harus mengambil langkah-langkah sulit untuk tetap bertahan.
“Untuk sektor padat karya, dampaknya sangat terasa. Perusahaan terpaksa memangkas jumlah pekerja agar cost pengeluaran tetap terjaga. Kalau tidak, produksi bisa terganggu,” ungkap Otok.
Ia juga menyoroti perlunya regulasi khusus yang lebih stabil dan tidak terpengaruh oleh perubahan kondisi politik.
“Harus ada kebijakan yang melindungi sektor padat karya ini. Kalau tidak, banyak perusahaan yang kolaps,” tambahnya.
Kenaikan UMK juga membawa risiko lain, yaitu meningkatnya angka pengangguran di Subang. Dengan pengusaha yang memilih mengurangi tenaga kerja atau memindahkan operasional ke daerah lain, banyak pekerja terancam kehilangan mata pencaharian.
“Kalau pengurangan karyawan terjadi di berbagai sektor, angka pengangguran akan naik. Ini perlu perhatian serius dari pemerintah,” kata Wisnu salah satu Mahasiswa Unsub.
Selain itu, lanjut Wisnu, investor yang biasanya tertarik dengan sektor padat karya kemungkinan besar akan mengalihkan investasinya ke wilayah dengan biaya tenaga kerja yang lebih rendah. Hal ini tentu berdampak negatif pada perekonomian lokal.
Untuk mengatasi polemik ini, Wisnu menyarankan agar ada titik temu antara kebutuhan pekerja dan kemampuan pengusaha.
"Solusi seperti penyesuaian bertahap atau pemberian insentif bagi sektor padat karya dapat menjadi opsi yang layak dipertimbangkan," jelas Wisnu.(hdi/ysp)