MotoGp

Mengapa Moto2 Lebih Membosankan dari MotoGP dan Moto3?

Mengapa Moto2 Lebih Membosankan dari MotoGP dan Moto3?
Mengapa Moto2 Lebih Membosankan dari MotoGP dan Moto3?

PASUNDAN EKSPRES- Dulu, GP250 adalah balapan favorit kita semua sebelum nonton MotoGP. Namun, semuanya berubah sejak kelas ini digantikan oleh Moto2 mulai tahun 2010.

Dalam beberapa musim saja, Moto2, yang awalnya jadi hiburan terbaik sebelum MotoGP, tiba-tiba berubah menjadi kelas yang sering membuat kita ketinggalan start MotoGP gara-gara ketiduran.

Ya, karena saking membosankannya itu kelas. Pertanyaannya, kenapa Moto2 yang berkonsep one-spec race justru malah membosankan?

Untuk melihat seberapa membosankannya balapan Moto2, kita nggak bisa cuma asal teriak boring. Data dan perhitungan harus ada.

Kalau kita lihat data gap waktu antara rider posisi satu sampai ke sepuluh dalam 5 musim terakhir, jawabannya jadi jelas.

Di musim 2018, gap rata-rata Moto2 sedikit lebih baik dibanding MotoGP, namun masih jauh lebih membosankan dibanding Moto3.

Misalnya, di Brno, gap antara rider pemenang dan posisi ke-10 adalah 5 detik, sementara di Moto3 Phillip Island gapnya hanya 0,4 detik.

Musim 2019 sebenarnya menjadi titik terang buat Moto2 dengan perubahan suplier mesin dari CBR600RR ke Triumph Daytona 765 yang lebih modern.

Ini membuat rata-rata gap laptime turun 2,4 detik. Namun, dibanding Moto3, Moto2 masih kalah jauh.

Uniknya, di musim 2020, Moto2 justru lebih membosankan dibanding MotoGP.

Dan sejak saat itu, Moto2 tidak bisa menyamai data defisit laptime dari Moto3 dan MotoGP, baik di musim 2021 maupun 2022.

Perbandingan gap posisi pertama sampai kelima antara Moto2 dan MotoGP juga tidak jauh berbeda.

Kenapa Moto2 bisa jadi membosankan? Padahal hampir semua komponen motor Moto2 itu sama, kecuali sasis, dan mesinnya juga sudah diganti ke spek yang lebih powerful dan modern.

Untuk mengetahui sumber masalahnya, kita cek dulu aspek teknikalnya.

Saat Moto2 pertama diresmikan tahun 2010, semua tim wajib pakai mesin CBR600RR yang disuplai Honda dengan Race Kit dari HRC.

Baru di 2019, regulasi mesinnya diubah ke Triumph Daytona 765cc Inline 3 silinder dengan spek yang lebih modern.

Mesin Triumph ini dipertahankan seperti versi jalanannya dengan tuning ulang oleh ExternPro, namun regulasi ketat membatasi modifikasi mesin.

Masalah terbesar di Moto2 adalah ketatnya regulasi yang membuat motor sangat seragam, sehingga perbedaan antar rider menjadi tipis.

Semua tim harus mengikuti aturan yang sama, mulai dari mesin, gearbox, hingga ban. Hal ini membuat balapan jadi kurang menarik karena minimnya variasi teknis dan strategi.

Sebagai contoh, ECU dan kontrol elektronik di Moto2 sangat terbatas.

Tim tidak boleh memasang software Traction Control atau Anti Wheelie, hanya Launch Control, Engine Mapping, dan Engine Brake Control yang bisa diutak-atik.

Ini berbeda jauh dengan MotoGP yang memiliki dukungan elektronik yang lebih canggih.

Selain itu, ban yang digunakan di Moto2 adalah kompon keras yang sama dengan balapan Endurance, yang lebih mengutamakan durability ketimbang performa maksimum.

Hal ini membuat rider kesulitan mendapatkan kepercayaan diri dengan ban depan, yang berujung pada balapan yang terlihat membosankan dengan gap antar rider yang jauh.

Regulasi ketat ini memang membuat Moto2 jadi lebih murah dan efisien, tapi juga membuat balapan kurang menarik.

Moto2 diciptakan sebagai penjenjangan calon rider MotoGP, dengan budget yang seefisien mungkin, bukan untuk menjadi kelas yang super kompetitif seperti Moto3.

Jadi, meski Moto2 terbukti membosankan dibanding Moto3, secara data tidak beda jauh dengan MotoGP.

Bedanya, di MotoGP kita punya rider idola masing-masing, sementara di Moto2, mau melihat siapa kalau balapannya seperti touring?

Moto2 diciptakan bukan untuk perang spek full factory racer, tapi sebagai penjenjangan dengan budget efisien.

Berita Terkait