Catatan Kritis untuk Laku Populisme Dedi Mulyadi di Jawa Barat

Oleh: Ade Munajat
(Anggota Masyarakat Pemerhati Sekolah dan Pendidikan)
Menarik. Dedi Mulyadi politisi. Ia meniti karir politik sejak 1999 menjadi anggota DPRD Purwakarta. 2003 Wakil Bupati Purwakarta. 2008-2018 menjadi Bupati Purwakarta dua kali. 2019 menjadi anggota DPR RI. 2024 Terpilih sebagai Gubernur Jawa Barat.
Telah sejak lama dia dikenal sebagai seorang pemilik elemen karakter politik populisme. Dia punya perhatian besar terhadap pendidikan. Dan dia memiliki banyak inisiatif untuk memajukan pendidikan di Jawa Barat. Inisiatif kekinian yang dilontarkannya ialah, melarang sekolah-sekolah di Jawa Barat untuk memungut biaya dari siswa untuk kegiatan seperti study tour, renang, jual baju seragam. Ia menegaskan, sekolah bukan tempat transaksi perdagangan. Sekolah harus fokus pada tugas utamanya mendidik tanpa membebani siswa secara finansial.
BACA JUGA: Leuit, Simbol Ketahanan Pangan dan Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kasepuhan Gelar Alam
Selain itu, Dedi Mulyadi berencana untuk mengalihkan pengelolaan keuangan sekolah dari kepala sekolah dan guru kepada tim administrasi khusus. Langkah ini bertujuan agar para pendidik dapat lebih fokus pada tugas mengajar tanpa terbebani oleh urusan administrasi keuangan. Ia juga menekankan pentingnya pendampingan administrasi untuk memastikan pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel.
Dalam upaya meningkatkan pendidikan karakter dan kesadaran lingkungan, Dedi Mulyadi berencana memasukkan pengelolaan sampah ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah Jawa Barat. Ia juga menambahkan bahwa pendidikan karakter lingkungan akan disesuaikan dengan keunggulan khas tiap daerah di Jawa Barat.
Dengan berbagai inisiatif tersebut, Dedi Mulyadi berharap dapat menciptakan sistem pendidikan di Jawa Barat yang lebih fokus pada pengembangan karakter, pengetahuan, dan keterampilan siswa tanpa membebani mereka dengan biaya tambahan.
Inisiatif Populisme
BACA JUGA: Pemerintah Daerah Jangan Hanya Audit Pemberian Dana Hibah Saja
Apa itu populisme? Populisme adalah pendekatan politik yang berfokus pada menarik dukungan masyarakat luas, terutama dengan mengklaim membela kepentingan "rakyat biasa" melawan "elit" yang dianggap korup atau tidak peduli.
Populisme sering kali menawarkan solusi yang tampak sederhana terhadap masalah yang kompleks, dengan bahasa yang emosional dan retorika yang menarik bagi masyarakat luas.
Ciri-ciri Populisme. Dikotomi "Rakyat vs. Elit" – Populis biasanya membingkai masalah sebagai perjuangan antara rakyat biasa yang tertindas dan elit yang dianggap tidak peduli atau korup. Janji Solusi Cepat dan Mudah – Menawarkan kebijakan yang langsung populer tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang atau kompleksitas implementasi. Gaya Komunikasi Sederhana dan Emosional – Menggunakan bahasa yang mudah dipahami, sering kali menyentuh emosi publik. Anti-Lembaga atau Anti-Kemapanan – Bisa bersikap skeptis terhadap birokrasi, akademisi, atau lembaga resmi yang dianggap menghambat perubahan. Personalitas Pemimpin yang Kuat – Tokoh populis sering kali membangun citra sebagai pemimpin yang dekat dengan rakyat dan berbeda dari politisi pada umumnya.
Populisme dalam Kebijakan Publik
Dalam konteks kebijakan, populisme sering kali menghasilkan keputusan yang terdengar menarik tetapi kurang memperhitungkan dampak jangka panjang. Misalnya: Kebijakan populis yang berhasil: Program bantuan sosial yang benar-benar efektif dalam mengurangi kemiskinan. Kebijakan populis yang berisiko: Subsidi besar-besaran tanpa perencanaan yang baik, yang bisa membebani anggaran dalam jangka panjang.
Apakah Populisme Baik atau Buruk?
Populisme tidak selalu buruk. Dalam beberapa kasus, populisme bisa menjadi alat untuk membawa perubahan yang dibutuhkan oleh rakyat, terutama jika sistem yang ada memang tidak adil. Namun, tanpa perencanaan yang matang, populisme bisa mengarah pada kebijakan yang tidak berkelanjutan atau bahkan merugikan dalam jangka panjang.
Dalam konteks Dedi Mulyadi dan pendidikan di Jawa Barat, kebijakannya harus dianalisis apakah lebih banyak didasarkan pada pertimbangan rasional atau hanya sekadar menarik simpati masyarakat tanpa solusi yang benar-benar efektif.