Oleh: Rendy Jean Satria
Penyair dan Mahasiswa Lobachevsky University, Nizhny Novgorod, Russia
Indonesia memang demokrasi, tapi demokrasi macam apa? Demokrasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata kini berubah menjadi sekadar formalitas lima tahunan.
Jika dulu rakyat khawatir akan kecurangan pemilu, kini yang lebih menakutkan adalah kecurangan yang dilakukan dengan aturan yang "sah". Kasus pengangkatan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden menjadi salah satu ironi terbesar demokrasi kita: demokrasi prosedural yang dipermak demi kepentingan keluarga.
Mahkamah Konstitusi (MK), yang seharusnya menjadi benteng terakhir demokrasi, malah berubah menjadi panggung sulap. Dalam sekejap, aturan batas usia capres-cawapres bisa diubah demi seorang anak presiden. Putusan ini dibuat secara kebetulan? Tentu tidak.
Fakta bahwa ketua MK saat itu adalah ipar Presiden Jokowi membuatnya tak ubahnya seperti sidang keluarga. Rakyat pun akhirnya sadar: hukum di Indonesia tidak bekerja atas dasar keadilan, tetapi atas dasar siapa yang sedang berkuasa.
Setelah putusan MK yang penuh rekayasa, muncul berbagai narasi pembenaran. Ada yang bilang Gibran dipilih karena “anak muda harus diberi kesempatan.” Tentu saja, tidak ada yang salah dengan anak muda berpolitik, tetapi pertanyaannya: apakah anak muda lain mendapat kesempatan yang sama, atau hanya mereka yang lahir di dalam lingkaran kekuasaan?
Di belahan dunia lain, banyak anak muda yang memang berhasil menjadi pemimpin, tetapi bukan karena warisan politik. Lihat saja Sebastian Kurz, yang menjadi Kanselir Austria di usia 31 tahun karena rekam jejak dan kemampuannya.
Atau Gabriel Boric, yang menjadi Presiden Chili pada usia 35 tahun setelah bertahun-tahun berjuang sebagai aktivis dan politisi progresif. Mereka naik ke panggung nasional karena ide dan gagasan.
Jika dulu Orde Baru terkenal dengan sentralisasi kekuasaan di tangan Soeharto dan kroninya, kini kita melihat fenomena serupa dalam kemasan yang lebih “modern”.
Putra Presiden bukan hanya bisa melenggang menjadi cawapres tanpa hambatan, tetapi juga didukung penuh oleh elite politik yang justru seharusnya menjadi pengawas jalannya demokrasi.
Politik dinasti bukan lagi sekadar gejala, melainkan sistem yang terlembaga.
Masa depan demokrasi Indonesia kini lebih mirip reality show: penuh kejutan, kontroversi, dan skenario yang sudah ditulis jauh-jauh hari. Demokrasi yang seharusnya berdasarkan meritokrasi kini bergeser menjadi sistem warisan. Jika tren ini terus berlanjut, kita tidak perlu repot-repot mengadakan pemilu—cukup siapkan acara "Indonesia’s Next Political Heir" di televisi.
Jadi, masihkah kita percaya bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan? Atau kini kita harus menerima kenyataan bahwa suara keluarga lebih menentukan arah bangsa?
Setelah dilantik sebagai wapres, banyak yang bertanya: apa yang akan dilakukan Gibran? Reformasi kebijakan? Perubahan besar untuk bangsa? Tidak.
Yang viral justru kegiatannya membagi-bagikan susu kotak dan sembako, seolah-olah jabatan wapres adalah kepala bagian CSR.
Sementara di belahan dunia lain anak muda membangun negara dengan visi besar, di Indonesia, "pemimpin muda" hanya sibuk membagikan susu kotak.
Jadi, ini demokrasi atau dinasti? Atau sekadar festival bansos berkedok politik?
Rusia, 14 Maret 2025.