PASUNDAN EKSPRES- Bandung, kota metropolitan di Jawa Barat, memiliki masalah lalu lintas yang kronis. Kemacetan lalu lintas di Bandung menjadi momok bagi penduduk setempat dan pengunjung.
Dalam beberapa tahun terakhir, wacana pembangunan jalan tol dalam kota di Bandung kembali mencuat sebagai upaya untuk mengatasi masalah kemacetan yang semakin parah.
Namun, apakah pembangunan tol dalam kota merupakan solusi yang tepat?
Pemerintah pusat berinisiatif untuk membangun tol dalam kota, dengan harapan dapat mengurai kemacetan yang terjadi di Bandung, mirip dengan kondisi di Jakarta.
Namun, pertanyaannya adalah apakah pembangunan tol dalam kota benar-benar akan mengatasi masalah kemacetan, atau justru hanya akan menambah masalah baru?
Pembangunan tol dalam kota seolah menjadi solusi purbakala yang belum teruji keberhasilannya.
Pengalaman dari berbagai kota besar di dunia menunjukkan bahwa penambahan jalan atau tol tidak selalu berhasil mengatasi kemacetan.
Sebaliknya, peningkatan jumlah jalan dan mobil justru cenderung meningkatkan kemacetan. Pembangunan tol dalam kota juga berpotensi meningkatkan penggunaan mobil pribadi.
Orang-orang mungkin akan lebih memilih menggunakan mobil daripada transportasi umum, karena mengira bahwa kemacetan akan berkurang dengan adanya tol dalam kota.
Namun, pengalaman di Jakarta menunjukkan bahwa tol dalam kota tidak menyelesaikan masalah kemacetan, bahkan bisa membuatnya semakin parah.
Penting untuk diingat bahwa mengatasi kemacetan bukan hanya tentang menambah jumlah jalan atau tol. Perlu adanya solusi yang holistik dan berkelanjutan.
Salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah meningkatkan transportasi publik seperti LRT (Light Rail Transit) atau BRT (Bus Rapid Transit).
Pembangunan infrastruktur transportasi publik yang efisien dan terintegrasi dapat mengurangi ketergantungan pada mobil pribadi dan mengurangi kemacetan.
Selain itu, perlu juga peningkatan dalam sistem transportasi berkelanjutan seperti berjalan kaki dan bersepeda.
Dengan membangun trotoar yang aman dan nyaman serta jalur sepeda yang terpisah, orang-orang akan lebih termotivasi untuk menggunakan moda transportasi ini, yang pada gilirannya akan mengurangi jumlah kendaraan di jalan raya.
Lebih dari sekadar membangun jalan atau tol, pemimpin kota harus mempunyai visi yang jelas dalam membangun kota yang berkelanjutan.
Mereka harus memprioritaskan transportasi umum yang efisien, infrastruktur untuk pejalan kaki dan sepeda, serta kebijakan yang mendukung pengurangan penggunaan mobil pribadi.
Ridwan Kamil, yang memiliki latar belakang sebagai arsitek dan urban designer, seharusnya dapat memimpin Bandung menuju arah yang lebih berkelanjutan.
Namun, perlu diakui bahwa upaya untuk membangun kota yang berkelanjutan tidaklah mudah. Hal ini membutuhkan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Pemilihan pemimpin kota dalam Pilkada mendatang menjadi kesempatan bagi penduduk Bandung untuk memilih pemimpin yang memiliki visi dan komitmen untuk membangun kota yang berkelanjutan.
Pemimpin yang tidak hanya berfokus pada solusi cepat seperti pembangunan tol dalam kota, tetapi juga memperhatikan solusi yang lebih holistik dan berkelanjutan untuk mengatasi masalah kemacetan.
Membangun kota yang berkelanjutan bukanlah tugas yang mudah, tetapi hal ini merupakan investasi jangka panjang yang akan memberikan manfaat bagi seluruh penduduk kota.
Dengan upaya bersama dan visi yang kuat, Bandung dapat menjadi contoh kota yang maju dan berkelanjutan bagi Indonesia.