Akhir-akhir ini seringkali istilah "Kambing Hitam" dirujuk sebagai obyek yang sebenarnya bukan pelaku sesungguhnya, hanya pengalihan, mencari sesuatu agar bisa disalahkan. Inilah bentuk sikap tidak bertanggunjawab, kebocah-bocahan lebih tepatnya.
Dirinya atau kawannya, golongannya, gerbongnya, atau partainya sendiri yang bersalah, tetapi melemparkan kesalahan kepada orang lain, pihak lain, golongan lain, lembaga lain, dan partai lain.
Sikap tersebut dalam politik disebut sebagai "Politik Kambing Hitam". Politik kambing hitam menonjolkan sikap tak mau bertanggung jawab, lari dari kesalahan diri, tetapi melemparkan kepada orang lain atau golongan lain.
Kebiasaan menuding orang lain bukan hanya menunjukan tiadanya sikap ksatria, tetapi juga mengurangi kesadaran terhadap akar masalah. Biasanya, orang yang rentan terjangkit sikap ini adalah orang-orang frustasi, sudah lemah mengevaluasi diri, akhirnya membuat pelarian dengan mencari kambing hitam dari prasangka dan agresinya. Apa yang kita saksikan belakang ini, mengarah ke arah pemraktikan teori politik kambing hitam. (Kambing Hitam Teori Rene Girard, Sinhunata 2006)
Fenomena demikian terjadi dalam kontestasi di Pilkada Subang 2024. Pasca penetapan rekapitulasi hasil suara pemilihan oleh KPU Subang, kemudian diketahui siapa yang menang dan kalah. Imbasnya terjadi guncangan politik yang luar biasa. Kubu yang menang Jumawa, kubu yang kalah sibuk mencari kambing hitam ke penyelenggara. Apa segini saja kualitas demokrasi di Kabupaten Subang? Miris sekali!
Sulit sekali mengatakan bahwa para elit politik Subang bisa tampil bak ksatria yang siap menerima hasil di sebuah kontestasi. Mereka malah mempertontonkan intrik dan gimik klise atas ketidakpuasan dari gagalnya mendapatkan kekuasan yang akhirnya sikap tersebut malah mengkikis nilai-nilai demokrasi.
Hal ini sejalan dengan penulis dan kolumnis politik Amerika Serikat, Cal Thomas, dalam bukunya America’s Expiration Date: The Fall of Empires, Superpowers and The United States, menyatakan, ”Kebenaran jarang jadi tujuan utama para politikus, tapi pemilihan umum dan kekuasaanlah yang menjadi tujuan utama mereka”.
Menang dan Kalah Adalah Adat Pertandingan
Sangat sulit menilai kedewasaan dan kematangan berpolitik para kontestan yang bertarung di pilkada subang 2024. Bagi kubu yang menang, mereka tergelicir oleh syahwat kekuasaan yang menggebu-gebu, mereka saat ini masih terhanyut oleh polarisasi yang tegang selama kontestasi kemarin, mereka lupa meng-addres bahwa politik persatuan menjadi kunci kondusifitas transisi pemerintahan kedepan.
Alih-alih menjadi sang jawara yang merangkul berbagai kutub untuk kemajuan subang kedepan, mereka malah tampil jumawa, sibuk membuat catatan pinggiran, menentukan siapa saja orang yang akan diakomodir dan ditendang dari sisa-sisa kekuasan kemarin. Sungguh miris!!
Bagi kubu yang kalah, menang dan kalah adalah adat pertandingan, termasuk pilkada. Mereka yang kalah perlu legowo dan yang menang harus merangkul semuanya. Bagaimanapun, pilkada hanyalah proses untuk mencapai tujuan kemajuan daerah yang lebih besar.
Karena itu, tak perlu menyikapi hasil pilkada dengan emosional, membuat kegaduhan, menjadikan penyelenggara KPU dan Bawaslu Subang sebagai kambing hitam, tak usah mengorkestrasi sedemikian rupa seakan mereka yang paling terintimidasi hingga merasa tidak diperlakukan dengan adil oleh penyelenggara pemilihan.
Padahal, penyelenggara sebagai wasit hanya menjalankan tahapan sebagaimana aturan yang ada, bukan meng-ada adakan aturan yang belum ada. Toh, lagian sistem kita sudah memberi ruang bagi yang merasa diperlakukan tidak adil, silahkan tuntaskan dengan pendekatan penegakan hukum.
Pilkada telah usai, saatnya bagi kita untuk merajut kembali persatuan dan menjaga keutuhan sebagai daerah yang ingin maju.
Mari kita bersama-sama membangun Subang ini menjadi lebih baik. Ingat, pemimpin yang terpilih harus mampu mengakomodir kepentingan rakyat dan memenuhi janji politiknya. Dan yang kalah, bisa berperan menjadi watch dog untuk mengawal berjalannya pemerintahan 5 tahun mendatang dengan semata-mata demi kepentingan kesejahteraan masyarakat Subang.
(Penulis adalah Aldo Muhamad Derlan, Mahasiswa Pasca UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)